Biru dan David seperti biasa terjebak di ruangan mereka. Beberapa kali Biru mengeluh tentang pekerjaan yang tak kunjung selesai. "Lebih baik aku jadi satpam saja. Datang, menyapa orang, membukakan pintu dan beraksi kalau ada penjahat. Itu lebih menyenangkan," protesnya. Sesekali terdengar suara lenguhan. Tak jelas bagaimana kini bentuk wajah Biru. Matanya menurun telah hilang semangat.
"Bayangin! Gimana manusia enggak depresi harus melakukan hal yang sama berkali-kali. Proposal ini, laporan ini, jurnal ini ... Meski nama perusahaannya beda-beda, tetap saja intinya sama. Kenapa harus ada beginian, sih? Menghabiskan kertas saja! Kita harus menghemat kertas karena mengurangi populasi pohon di alam. Artinya apa? Pemanasan global," omel Biru. Dia lebih semangat mengeluh dibandingkan mengerjakan tugasnya.
David tak melirik Biru sama sekali. Pria itu masih duduk di depan Biru sambil memeriksa laptop. Ia masih mencari data yang ia butuhkan dan mengumpulkan untuk dilaporkan ke pemerintah. Celotehan Biru sama sekali tak bisa mengganggunya. Konsentrasi David memang hebat, lain dengan Biru yang fokus sedikit saja langsung buyar ke hal lain. Walau IQ Biru lebih tinggi tetap ia tak sehebat David. Alasannya karena konsentrasi. Biru merasa kesal diacuhkan begitu. Biru yang tukang cari perhatian memang sangat tak cocok dengan David yang kurang peka. Anehnya, mereka bisa berteman dekat.
"Kalau dipikir-pikir kaca matamu itu aneh, ya? Apa jangan-jangan itu kaca mata tembus pandang? Yang bisa lihat dalaman wanita?" Ada saja cara Biru menganggunya. Dia selalu berusaha keras untuk menjatuhkan konsentrasi David.
David tetap saja diam, tak menggubris apa yang dikatakan Biru. Dalam keadaan ini, mereka benar-benar seperti bertukar jabatan. Malah David yang terlihat berwibawa sedang Biru? Memang sejak awal sikap dia tak cocok dengan jabatan yang dia pegang.
"Kalau benar tembus pandang, kamu bisa melihat celana pendek little poniku, dong?" Biru semakin menjadi.
Kali ini David berhenti mengetik. Ia berpaling pada Biru sambil mengedip-ngedipkan kedua matanya. "Sebaiknya anda jangan terlalu banyak bermain dengan Nona Minara," sarannya. David tak pernah cocok dengan putri Biru itu seperti dia tak pernah cocok dengan Biru. Kutub es tak cocok disatukan dengan sop beraneka ragam isi.
"Kenapa kamu tahu yang membelikan celana pendek ini Minara? Namanya juga sayang anak, dia belikan secara online tentu aku memakainya," alasan Biru. Dia merasa bangga karena putri kecilnya sudah bisa menggunakan aplikasi belanja online padahal usia anak itu masih lima tahun.
David hanya menggeleng. Ia masih syok saat ulang tahunnya sebulan lalu dan Minara membelikannya kemeja hawai bergambar buah-buahan. Bahkan anak itu memaksa. Jika saja Minara tak mengeluarkan hamsternya, David akan menolak. Akhirnya David pasrah memakainya hingga difoto dan menjadi viral di media sosial.
David merasa harga dirinya jatuh saat itu juga. Dia heran bagaimana Biru bisa bertahan dengan kondisi seperti itu. "Kalau aku jadi anda, aku akan didik anakku menjadi normal walau aku agak belok," celetuk David.
Biru menyipitkan mata. "Hei, mana mungkin aku tidak menghargai perhatiannya. Dia anakku satu-satunya. Lihat wajah lucu dia saat memintaku memakai apa yang dia belikan. Lucu sekali." Biru menatap foto Minara di atas meja.
"Sebaiknya anda belajar untuk menolak," tegas David. Pria itu menatap ke luar jendela. "Sebaiknya anda kembali bekerja. Kita harus lekas menyelesaikan masalah ini agar tidak terus berlarut-larut."
Obrolan itu langsung David hentikan. Biru kembali memeriksa laporan serta proposal yang masuk. Semakin dikerjakan tak tahu kenapa Biru merasa jumlahnya malah semakin bertambah. "Ini laporan ngomong-ngomong bisa membelah diri, ya?" Kembali Biru protes. Sepertinya pria itu tak bisa untuk tidak bicara walau sedetik saja.
Ia lekas membuka ponselnya. "Biasanya di twitter sering ada ghibahan seru. Kadang kala isinya video panas," celetuknya. Biru mencari-cari keberadaan aplikasi dengan lambanh burung putuh itu.
Lagi-lagi David mendengkus. "Andai jika putri anda sendiri yang di sana rasanya bagaimana?" Pertanyaan pria itu telak menusuk perasaan Biru yang punya anak perempuan.
Biru menepuk jidat. "Kenapa hidupmu begitu lurus, sih? Kamu ini tinggal di Hongkong apa di Arab? Sudah, aku nggak jadi mencari hastag laknat. Mana Minara sangat sulit dikendalikan. Pantas saja dulu Papaku kesal padaku. Rasanya pasti seperti ini." Senakalnya Minara tak akan sampai memakai sepatu boot ke dalam rumah sambil membawa seember lumpur dan membuat lukisan di dinding dengan lumpur itu, atau membuat ibu tirinya kesal akibat memasukan ratusan kecoa ke dalam lemari. Itu hanya Biru Bamantara.
Biru memutar kursinya. Ia melirik jendela yang ada di sisi meja. Pemandangan Kota Bandung terlihat dari sana dengan mataharinya yang sedang terik. "Pasti Papaku juga sulit membesarkanku tanpa Mama. Seperti aku yang sulit membesarkan Minara tanpa Langit. Apalagi aku lahir dalam hubungan tanpa cinta." Walau Angga sudah menikah lagi, wanita itu tetap bukan ibu kandung Biru. Dia tak bisa memberi kasih sayang layaknya Mira.
Beberapa kali Biru menarik napas lalu mengembuskannya. Ia sandarkan punggung ke kursi. Iseng ia kembali buka twitter dan melihat hal viral apa yang sering terjadi. Isinya masih tentang dunia perkpopan dan masalah politik. Biru menguap. Ia usap wajahnya.
"Mungkin karena hastag yang kita gunakan sulit, tak ada orang yang bisa mengakses selain kita. Eh, kamu tak mengirim apa-apa lagi, kan?" tanya Biru. Iya ingat caranya dulu berkomunikasi dengan David agar tidak ketahuan.
Biru membuka hastag yang sering ia kirimkan pada David melalui akun fakenya. Biru terkejut karena ada akun lain yang mengirim postingan di sana. Akun yang sama sekali tidak ia kenal.
"Siapa orang kurang kerjaan yang mengirim artikel ke sini?" tanya Biru. Tangannya menggaruk kepala. Mana mungkin ada orang yang kepikiran membuat cuitan dengan hastag serumit ini selain dia dan David.
David kembali mendongak. Untun urusan seperti ini, David memang peka. Biru lekas memperlihatkan ponselnya. David juga agak aneh bagaimana bisa hastag itu diakses orang karena katanya yang rumit seperti password berisi angka, tanda baca dan huruf terdiri dari empat puluh karakter.
Ada tiga artikel di sana, tentang kebangkitan dari kematian, bangun dari koma juga manfaat sebuah obat tidur. David terpaku pada alamat di cuitan ke empat. Iya, ada nama jalan, kampung dan nomor hingga RT dan RW. Pasti itu sebuah alamat.
"Anda tahu ini?" tanya David.
Biru melihat alamat itu baik-baik. Alamat itu berada di daerah Baleendah. "Ini alamat saudaranya Langit ...." Kalimat Biru terpotong. Seketima kedua matanya terbuka.
"Aku dan Langit tadinya akan pergi ke tempat ini. Sayangnya kami diculik di tengah perjalanan dan ...." Biru berusaha mengingat rangkaian peristiwa yang terjadi.
"Tahu Abimanyu dan Parikesit? Itu tokoh pewayangan kesukaanku." Biru ingat apa yang pernah ia katakan pada kakek dan istrinya dulu. Nama itu kini menjadi akun pemilim cuitan ini.
Biru lekas membuka laptopnya. "Aku mau telusuri IP komputer ini. Dari jam postingan yang sama, aku yakin orang ini akan memberi kita petunjuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir 2 (Season 2 Mr Tajir Jatuh Cinta)
RomanceSeason ke 2 Mr. tajir Jatuh cinta Apapun itu, aku akan terjang asal bisa bertemu dengan kamu lagi.