Setelah keluarga Marga dan orang-orang di bawahnya tertangkap, keadaan mulai terasa aman. Pagi itu Biru mengantar Langit dan Minara ke rumah Fitri. Langit tak sabar ingin bertemu dengan ibunya.
"Bunda, nanti di sana banyak orang. Enggak kayak di rumah kita. Banyak orang, tapi pelayan semua," ucap Minara.
"Memang kenapa? Pelayan juga keluarga kita. Semua profesi itu baik. Kalau tidak ada pelayan, siapa yang siapkan makanan kita, bersihin rumah kita? Pasti lelah beresin rumah sebesar itu sendiri, 'kan?" tanya Langit.
"Iya juga, ya." Minara menepuk-nepuk buku cerita di pangkuannya.
"Terus, Bunda juga dulu pelayan di restoran. Kalau Bunda enggak masuk, restoran kotor dan banyak pelanggan mengeluh karena makanan mereka diantar lama sekali."
"Iyakah, Bunda dulu jadi pelayan restoran?" tanya Minara tak percaya. Langit menganggukkan kepala. "Ara juga mau jadi pelayan restoran, ah. Biar cantik kayak Bunda," ucap anak itu.
"Bunda dulu kerjanya bikin makanan Jepang," timpal Biru.
"Iya, terus ada pelanggan yang pesan makanan aneh," cerita Langit.
"Makanan apa?" tanya Minara penasaran.
"Dia pesan cinta, kasih sayang dan kekasih. Terus maunya Bunda lagi yang sediain," celetuk Langit.
"Siapa tuh orang? Gokil banget," komentar Biru.
Langit menepuk lengan suaminya. "Kamu, A!" tunjuk Langit sambil terkekeh.
"Iyakah? Kapan?" Biru lupa betapa bucinnya ia pada Langit sampai melakukan hal-hal konyol.
"Waktu pertama kamu dateng ke restoran dan nanyain ATM buat uang lima ribuan."
Mendengar itu, barulah Biru tertawa. "Astaga, aku lupa. Maklum faktor umur."
"Mana ada ATM isinya uang lima ribu. Aneh saja nih Papa!" sindir Minara.
"Eh, Papa kamu malah enggak tahu cara buka toples sama botol minuman," tambah Langit. Minara sampai tertawa.
"Ih, Papa terus kalau itu dibukain siapa? Pelayan? Manja!" tunjuk Minara.
"Maklum, dulu Papa anak kesayangan." Biru bisa saja berkilah.
"Bohong banget. Aa dulu kalau ilang saja enggak dicari sama Papa Angga."
Biru mencubit gemas pipi Langit. "Kamu tuh, jangan bilang gitu sama anak kita, dong! Dia nanti makin jadi ngeledekin akunya."
Saat sedang menyetir, Biru melihat angkringan yang menjual sate usus. "La, beli itu dulu, ya? Aku mau." Dia menepikan mobil.
"Jangan banyak-banyak. Koresterol dijaga, Aa."
Biru turun dulu dari mobil. Langit mengikuti suaminya sambil menuntun Minara. Mereka membeli beberapa sate usus dan ayam goreng. "Pak, sambelnya kasih lebihan. Aku bayar double, nih. Ouh iya, aku beli semua saja. Nanti kalau ada yang beli, kasih gratis, ya? Berapa ini semua?" tanya Biru.
"Nanti dihitungin, Pak," jawab si pedagang dengan wajah senang. Dia tak menyangka ada orang dermawan yang mau memborong dagangannya.
"Saya dulu tinggal dekat sini. Masuk ke DU, ada gang. Sekarang jadi kampus, sih," cerita Biru sambil menjadi mandor ketika penjual usus menggoreng. Sedang Langit duduk di lesehan sambil memangku Minara. Dia merasakan suasan pinggiran jalan di mana dulu dia tumbuh besar. Langit rindu dengan suasana penuh kesederhanaan ini.
"Duh, masih tetangga, Pak," timpal penjual usus.
"Tuh, di bank itu dulu saya kerja. Jadi satpam," tambah Biru.
Tukang usus sampai geleng kepala. Ia sempat melihat saat Biru keluar dari mobil mewah. Benar-benar membuat kagum, dari satpam langsung menjadi orang sekaya itu. "Waduh, bisnis apa sampai kaya, Pak? Mau, ajarin, dong."
"Pakek tuyul," celetuk Biru. Dia langsung tertawa sementara penjual usus kaget luar biasa.
Sampai di depan pagar, mereka turun dari mobil. Rumah itu lumayan luas, memiliki garasi yang cukup untuk satu mobil. Di dalamnya ada tiga kamar besar dengan kamar mandi masing-masing, ruang tamu, ruang keluarga dan dapur. Di lantai atas ada kamar pembantu dan balkon tempat menjemur pakaian.
Langit melihat sekitar rumah itu. "Aku mau beliin ibu rumah lebih besar, tapi ibu nolak. Dari semua rumah aku tawari, rumah ini yang ibu iyakan," jelas Biru.
"Ini besar banget, A. Aku jadi nggak enak sudah repotin kamu selama ini," timpal Langit sambil memegang lengan Biru.
"Ibu sudah kasih kamu buat aku saja itu nggak sebanding sama rumah ini." Biru membuka pagar rumah.
Ara tak sabaran. Ia langsung berlari masuk ke dalam. Sebelum datang, Ara sudah bersitegang dengan Biru. Semua karena gadis kecil itu ingin memakai sepatu berhak tinggi. Ia juga ingin membawa kelinci juga sekoper mainan. Tentu Langit langsung menengahi. Jika tak begitu sampai tahun depan mereka tak akan jadi ke rumah Fitri.
"Nenek! Ateu Mega!" Minara menerobos masuk ke dalam pintu yang terbuka.
"Ala! Ucapin salam dulu, woy!" panggil Biru. Terlambat, Minara sudah masuk dan memeriksa isi ruangan. Ia mencari tante dan neneknya. Hingga keluar lewat pintu belakang, Minara menemukan mereka duduk di teras belakang.
"Nenek! Tebak ada siapa di luar!" panggil Ara dengan suara keras hingga Nenek dan Tantenya terkejut.
"Ya Allah, kamu datang sama siapa ke sini, Ala?" tanya Mega.
Minara menarik lengan neneknya agar ikut ke tempat yang ia tunjuk. "Ayo, ada yang mau ketemu Nenek, loh!" paksanya.
Fitri bangkit. Dituntun Mega, mereka masuk ke dalam rumah. Melewati dapur, mereka berjalan ke ruang tamu. Baik Mega dan Fitri sama terkejutnya. Mereka melihat Langit berdiri di ruang tamu sambil tersenyum.
"Langit? Kamu Langit?" tanya Mega tak percaya.
Sedang Fitri menutup mulut dengan telapak tangan. Ia mematung dan air matanya jatuh menetes ke pipi. Langit menghampiri. Ia rangkul ibunya dengan erat. "Ibu, Langit sudah pulang. Langit rindu dengan Ibu," ucapnya.
Kini Langit tak bisa menahan air mata. Fitri balas memeluk Langit. Ia menangis sambil menutup mata karena begitu lama menahan rindu pada putri keduanya. "Ibu pikir nggak bisa lihat kamu lagi, Ila. Ibu rindu. Kamu kemana saja? Kenapa baru pulang?" tanya Fitri.
Langit melepas pelukan. Ia hapus air mata ibunya. "Langit diculik, Bu. Untungnya ada orang nolong Langit. Mas Parmin sama Mbak Sur nolong Langit sampai ketemu Aa Biru. Maaf Langit nggak bisa langsung nemuin Ibu, Langit harus sembunyi dulu," jelas Langit.
"Kami pikir kamu beneran sudah nggak ada, La. Setiap hari kami rindu dan nyebut kamu dalam doa kami," timpal Mega.
Kini Langit memeluk Mega dengan erat. "Teteh, makasih sudah jaga ibu selama Langit nggak ada. Maafin Langit belum sempat menemui Teteh dulu. Langit juga kangen sama Teteh."
Mega ikut menangis. Begitu pulang dan melihat adiknya berada di dalam peti mati, Mega histeris. Ia tak menyangka adiknya pergi secepat itu. Apalagi melihat ibunya menangis hampir setiap malam, Mega seperti mendapat tamparan akan sikapnya selama ini. Ia mulai belajar bersikap lebih baik dan menjaga ibunya.
"Aku senang banget, La. Senang banget bisa meluk kamu lagi. Akhirnya ya Allah. Syukur kamu baik-baik saja," tambah Mega sambil menangis haru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir 2 (Season 2 Mr Tajir Jatuh Cinta)
RomanceSeason ke 2 Mr. tajir Jatuh cinta Apapun itu, aku akan terjang asal bisa bertemu dengan kamu lagi.