Biru mengantarkan Ara ke kamarnya. Anak itu tertidur dalam pangkuan Langit sebelum pukul sepuluh malam. Tentu Minara tak sehebat itu untuk bergadang hingga esok pagi. Dia tetap anak-anak yang langsung mengantuk setelah dibuatkan susu vanila hangat. Apalagi jika dinyanyikan lagu tidur oleh ibunya dan ditepuk-tepuk pelan oleh Papanya. Dalam hitungan menit, Minara langsung menguap dan menutup matanya.
"Selama tidur peri Bunda yang cantik," ucap Langit lalu mengecup kening Minara. Biru mengusap rambut putrinya. Meski mereka kadang seperti kucing dan anjing, tetap saja Biru adalah ayah sekaligus ibu yang membesarkan Minara selama ini.
"Dia kayaknya pules banget. Biasanya kalau tidur gini kedenger suara orang, langsung bangun," cerita Biru.
Langit menatap wajah suaminya. "Aa kayaknya tahu banget anak kita, ya? Pantes Kang David bilang kalau selama ini Aa sering nolak kalau Minara diasuh orang lain. Kelihatan banget, Aa lebih kenal dia bahkan lebih dari aku," puji Langit.
"Karena dia anak kita. Cinta kita berdua. Aku kenal dia kayak kenal kamu," timpal Biru. Keduanya tertegun karena Minara tiba-tiba saja memegang tangan keduanya. Biru menatap wajah putrinya yang masih tidur pulas. "Kamu bangun?" tanya Biru. Minara masih diam.
"Kayaknya hari ini dia lelah banget. Habis dari tadi lari-larian. Cuman Langit masih seram kalau dia sudah main ngeluarin binatang yang merayap gitu. Kan Langit takut," keluh Langit.
"Dia memang aktif. Waktu kecil saja dia bikin pelayan di rumah pusing. Waktu belajar jalan, dia sampai hampir tenggelam di kolam renang. Anehnya, dia enggak pernah celaka. Kata Ibu, anak enggak mau diem gitu biasanya emang jarang celaka. Aku juga waktu kecil gitu," cerita Biru.
"Ibu?" tanya Langit.
"Bu Fitri, Ibu kamu," jawab Biru.
"Ibu tahu Aa waktu kecil?" tanya Langit.
"Ibu cerita katanya dia pernah ngasuh aku karena Mama dan Papa pergi. Jadi aku main sama kamu. Biasa ngasuh kamu yang diem, Ibu pusing karena aku lari ke sana ke sini. Padahal Ibu baru selesai ngepel. Anehnya aku enggak kepeleset."
"Tunggu. Manis banget enggak, sih? Waktu kecil kita pernah ketemu." Mata Langit dan Biru saling bertatapan.
"Kita emang jodoh dari kecil kayaknya."
Minara berbalik. Ia lepaskan tangan dari kedua orang tuanya. "Kalau sudah ngebalik gini, dia sudah pulas. Iya, 'kan?" tanya Langit yang langsung diiyakan oleh Biru.
Tubuh Minara mereka selimuti lalu lekas keduanya pergi ke kamar mereka. Tak lupa pintu kamar Minara mereka tutup.
"Jadi Bu Tantri, Aa tempatkan di mana?" tanya Langit begitu Biru kembali dan menutup pintu kamar. Matanya terus mengikuti Biru yang berjalan mendekat.
Langit duduk bersila di atas tempat tidur. Kini Biru duduk di sampingnya dengan kaki diselonjorkan. Keduanya hanya berjarak beberapa senti. Biru sengaja menyelimuti setengah badannya akibat malam terasa dingin. Musim hujan di Kota Bandung memang membuat suhu kota ini turun drastis hingga terasa dingin walau di rumah tak menyalakan AC.
"Ada sebuah rumah kosong. Dia disekap di sana sementara waktu. Setidaknya sampai polisi selesai mengusut kasus-kasus yang aku laporkan," cerita Biru. Wajahnya terlihat sangat serius.
"Apa Kak Surya juga akan dilibatkan?" Langit merasa tak enak sudah membuat hubungan adik dan kakak itu menjadi buruk kembali. Padahal kata Minara belakangan hubungan Biru dan Surya membaik. Bahkan Surya tak pernah absen datang ke acara ulang tahun Minara.
Dengan tegas Biru mengiyakan. "Dia sudah memisahkan kita. Mau tidak mau dia harus menanggungnya." Mata Biru terlihat tajam. Sepertinya dia memang tak bisa lagi menahan amarah. Bukan hanya tentang penculikan Langit, di sini Biru merasa dikhianati. Bukan oleh orang lain, tetapi kakaknya sendiri.
"Apa Aa yakin Kak Surya pelakunya?" Langit sendiri tidak terlalu curiga dengan Surya. Bisa saja itu orang lain dan Surya mungkin juga tidak tahu.
"Siapa lagi? Dia Dirut di rumah sakit itu. Mana mungkin dia tak tahu adik iparnya dirawat di sana. Dia memanfaatkanku sejak awal untuk melawan Marga dan ingin menikmati hasilnya. Selama ini dia selalu kalah oleh keluarga Marga, karena itu dia butuh aku."
Dalam hati Biru masih merasa terganjal. Dia ingat ucapan Papanya tentang kondisi Surya. Belum lagi hasil tes kesehatan Surya yang berhasil Biru dapatkan. Keadaan jantungnya semakin parah.
"Meski aku memaafkannya, orang yang akan menikmati semua bukan Surya, tapi Nindy. Dia hanya tinggal menunggu kakakku tiada," batin Biru.
Ekspresi kesedihan yang dalam di wajah Biru bisa begitu mudah terbaca Langit. Hanya satu yang bisa wanita itu lakukan, memberikan pelukan untuk sedikit meringankan beban suaminya.
"Waktu Langit berhasil kabur dari rumah sakit dan tahu sudah lima tahun berlalu, terus kepikiran gimana keadaan kalian. Apalagi sama Ara. Belum lagi Mas Parmin bilang semua orang tahunya Langit sudah meninggal. Langit takut Aa dan Ara kenapa-kenapa. Ibu juga."
Biru memegang tangan Langit. Kadang itu masih terasa mimpi baginya. Wangi tubuh Langit, suara lembut dan wajah cantik istrinya yang dulu hanya bisa ia ingat dalam mimpi kini kembali nyata.
Tak lama Biru teringat sesuatu. "Kalau itu bukan kamu, lalu siapa yang ada di dalam makam?" Sejak kemarin ia tak memikirkan itu.
Jelas sekali Biru ingat Langit terjebak dalam mobil lalu mobil itu didorong hingga terjatuh ke sungai besar. Sedang Biru pingsan di tempat karena bius. Hanya menurut saksi mata, mereka ditemukan di pinggir sungai.
Biru melepaskan pelukan pada istrinya. Ia lekas menelpon grup detektif yang bekerja sama dengannya untuk memberi keterangan.
"Lakukan besok malam. Aku pastikan makam keluarga tanpa penjaga. Lakukan tes secepatnya. Besok istriku akan memberi kesaksian." Biru berbicara melalui ponsel buatan Swiss agar tak mudah disadap.
Tak lama setelah mematikan ponsel itu, Biru kembali ke atas tempat tidur. "Besok aku tak akan pergi kerja. Pak Yanto akan datang ke sini untuk mengajukan pertanyaan padaku. Katakan apapun yang kamu ingat termasuk yang kamu dengar selama di rumah sakit," nasehat Biru.
Dengan mantap Langit menjawab. Jika itu dirinya yang dulu, pasti ia sudah ketakutan. Apa yang ia lewati selama ini membuatnya semakin kuat.
Sebuah ide muncul. "Apa keadaan Nila semakin parah? Langit bersedia menakutinya lagi," saran Langit.
"Dia sudah dibawa ke rumah sakit Bamantara agar mendapat pengawasan psikiater. Lagian kamu dan Ara klop banget sampai dia ketakutan begitu," puji Biru.
Langit terkekeh. "Dosa nggak sih ketawa di atas penderitaan dia? Dia tadinya takut lihat Langit pakai baju putih sampai nggak sadar iguana Minara ada di depannya. Kaget dua kali." Langit cekikikan.
"Nggak apa. Dia saja tertawa di atas penderitaan kita nggak takut dosa. Mungkin karena sadar dosanya nggak bisa hilang dengan cara dicicil."
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir 2 (Season 2 Mr Tajir Jatuh Cinta)
RomantizmSeason ke 2 Mr. tajir Jatuh cinta Apapun itu, aku akan terjang asal bisa bertemu dengan kamu lagi.