Terima Kasih

5.9K 1.1K 331
                                    

Biru masih tak percaya. Ia memegang tangan Langit dan mereka berjalan menyusuri gang seperti dulu walau itu bukan gang rumah mereka lagi. Rasanya Biru tak ingin melepaskan tangan istrinya. Dia tak ingin mereka terpisah lagi seperti dulu. Biru bahkan tak bisa melepas pandangannya pada Langit. Dia tak ingin Langit yang ini hanya bayangan yang akan hilang ketika dirinya berpaling.

"Kamu baik?" tanya Biru. Kembali ia usap rambut panjang dan hitan istrinya. Rambut Langit yang terurai tampak lurus dan rapi. Jauh lebih panjang dibanding dulu. Langit mengaitkan sisi rambutnya ke telinga. Wanita itu selalu cantik walau tak memakai polesan make up. Biru tersenyum. Ia sangat bahagia melebihi apa pun. Rasanya sama seperti saat Langit menerima lamaran dan menikah dengannya.

Langit mengangguk. "Masih sulit jalan sedikit. Hanya sudah bisa lari. Terus sudah nggak suka pusing lagi. Pokoknya nanti Langit mau bilang makasih sama dokter Syaila. Ouh iya, dia yang nolong Langit. Katanya itu harusnya obat tidur dan dia juga takut mau kasih obat itu. Cuman kalau dia enggak nekat, mungkin Langit enggak akan ada di sini. Langit akan selalu terjebak di sana. Makanya, nanti kita ketemu Dokter Syaila juga, ya?" cerita Langit yang langsung dibalas anggukan Biru.

"Kamu sudah makan belum?" tanya Biru.

Langit menggeleng. "Tadi baru pulang kerja. Jadi enggak sempat makan. Langit takut telat datang ke warnet."

"Kamu kerja? Kamu masih sakit, Sayang," keluh Biru.

"Langit harus punya uang untuk ke warnet. Enggak enak juga kalau minta Mas Parmin dan Mbak Surtini. Tinggal di rumahnya saja sudah ngerepotin. Lagian Langit bingun mau nyari Aa gimana. Habis orang-orang di Bamantara menakutkan. Kalau mereka enggak izinin Langit ketemu sama Aa gimana?"

Biru kecup kening istrinya. "Maafkan aku, ya? Aku lama sekali datangnya. Harusnya aku dari dulu buka hastag itu. Aku nyesel kenapa aku lambat."

Langit peluk lengan suaminya. "Enggak, kok. Lagian siapa juga yang bakalan mikir kalau ada pesan di sana, 'kan? Aku juga lihat kayaknya Aa lama enggak pakai hastag itu untuk bikin postingan."

Langit belum menceritakan semuanya pada Biru. Ia baru akan menceritakan semua setelah mereka berada di tempat yang aman. Ia hanya bilang sempat koma dan Syaila yang mengobatinya hingga sadar dan membantunya keluar rumah sakit.

"Kalau nggak kuat jalan, biar Aa yang gendong kamu," tawar Biru.

Langit menggeleng lagi. "Aku malah bisa kerja di pasar. Sudah kuat, kok," jawab Langit sambil tersenyum.

Biru merasa miris. Selama ini ia hidup enak di rumah mewah. Sementara istrinya harus terpenjara di suatu tempat tak tahu di mana dan begitu keluar malah bekerja keras. Biru menarik napas. Terasa nyeri di dalam batin. Ia melihat lengan istrinya yang agak kurus. "Pasti kamu melewati hari yang sulit selama ini. Dan saat itu aku enggak ada," batin Biru.

Tanpa persetujuan Langit, Biru menggendong istrinya seperti pengantin baru. Langit berteriak minta diturunkan, pria itu tetap menggendongnya. "Aa malu, nanti dilihat orang. Langit bisa jalan, kok. Beneran. Turunin Langit, dong," pinta wanita itu. Ia melirik orang-orang yang lewat di gang. Mereka menunduk seakan risi melihat Biru menggendong Langit ke samping.

"Aku nggak pernah gendong orang lagi selain Minara, lho. Harusnya kamu senang digendong orang ganteng kayak gini," canda Biru. Ia kecup kening istrinya.

David yang berjalan di belakang tak hentinya menggelengkan kepala. Ia tahu sudah sangat lama mereka tak bertemu. Harusnya mereka sadar kalau David bisa saja terluka karena sudah lama memiliki title seorang jomlo. Melihat kemesraan itu jiwa kesepiannya bergejolak. "Memang dasar enggak punya perasaan," batin David. Pria itu mencoba memalingkan pandangan ke berbagai sisi asal jangan melihat Biru dan Langit.

Langit menunjuk sebuah kontrakan kecil. Ada Mbak Surtini di sana baru menepikan roda jamunya. "Mbak!" panggil Langit sambil melambai lalu memaksa turun dari gendongan Biru. Wanita itu berjalan menghampiri Mbak Surtini.

Wanita paruh baya itu melihat pria yang datang bersama Langit. "Biru! Ya Allah, lama nggak ketemu," sapa Mbak Surtini dengan wajah senang.

Biru menyalami Mbak Surtini, sedang David hanya menunduk hormat. "Masuk dulu ke gubukku. Maaf cuman rumah kecil," ucap Mbak Surtini sambil membuka pintu rumah.

"Nggak apa, Mbak. Rumah kecil gini justru membuat Biru rindu. Sayang kampung kita sudah nggak ada," balas Biru.

Biru rindu dengan Pak RT, tetangganya termasuk keluarga Sapta. Ia juga rindu dengan sawah dan saung tempat ia mengasuh Minara. Semua kenangan itu hilang dan Biru bersyukur, kenangan paling indahnya kini kembali, Langitnya.

Pukul delapan malam, Mas Parmin baru tiba. Ia sampai menangis ketika bertemu Biru dan memeluknya. Tentu saja, Mas Parmin dan Biru dulu sahabat bagai kepompong. Mereka sering ghibah, main catur hingga meronda bersama.

"Aku bersyukur Langit ketemu dengan Mas dan Mbak. Kalau nggak, aku tak tahu lagi bagaimana keadaan dia. Jujur Biru syok tahu dia sampai tak tahu jalan pulang."

Langit duduk di samping Biru sambil bersandar pada suaminya. Matanya sesekali berpindah pada orang yang bicara. Dia terlihat sangat ingin bermanjaan dengan Sang suami. Maklum, sudah lama mereka tak bertemu.

"Kita ini saudara dari sananya. Tentu harus saling membantu. Selama ini Mas Parmin mencoba jualan dekat kantor kamu. Nggak ada satu saja karyawan bisa dimintai pertolongan. Mas bersyukur Langit bisa ketemu kamu."

Biru mengangguk-angguk. "Biru sangat berterima kasih dengan Mas Parmin. Biru janji akan bukakan stand bakso Mas di kantor. Kalau ada apa-apa Mas Parmin bisa hubungi Biru ke ruangan. Apa yang Mas Parmin lakukan ini sungguh sangat berarti untuk Biru. Langit itu segalanya. Kalau nggak ada Ara, Biru nggak tahu lagi gimana cara bertahan tanpa dia." Tangan Biru mengusap rambut Langit lagi.

Pasangan itu akhirnya pamitan. Langit berjalan di samping Biru sementara David jalan lebih dulu agar tak melihat kemesraan mereka. Sampai di mobil yang terparkir di depan toko kelontong dekat monumen, David naik di kursi kemudi sementara Langit dan Biru duduk di jok belakang.

"Apa Ara bakalan ngenalin aku?" tanya Langit.

Biru mengangguk. "Tentu. Setiap malam dia selalu meluk foto kamu. Dia juga sering bertanya kamu itu seperti apa. Dia pasti senang melihat kamu di rumah," jawab Biru.

David mengintip dari spion belakang. "Apa Nyonya Langit ingat rumah sakit tempat anda di rawat?" tanya David.

Langit mengangguk. "Itu rumah sakit milik keluarga Bamantara."

Jawaban Langit itu membuat Biru dan David tergemap. "Sial!" maki Biru.

"Harusnya Tuan Surya tahu semua itu," celetuk David.

"Sudah kuduga tak semua orang bisa dipercaya."

Langit menatap David dan Biru bersamaan. "Sekilas aku bisa dengar orang itu saat sedang berbicara. Mereka ingin menukarku dengan tahta Bamantara. Katanya Aa pasti akan mau turun jabatan demi aku," cerita Langit.

"Jadi itu maksudnya?" Biru mengusap dagu.

"Iya, tapi aku enggak sadar juga. Aku juga dengar mereka bilang Aa belum bisa menaklukan Haris Marga. Artinya mereka juga enggak suka sama keluarga Marga, 'kan?"

"Mereka? Berarti bukan cuman sendiri?" tanya David.

Langit mengangguk. "Iya, kadang lelaki dan kadang perempuan. Tapi orang di rumah sakit tahu aku ada di sana."

"Apa ada kemungkinan Surya terlibat dengan kejadian lima tahunlalu?"

David menggeleng. "Tidak, tapi sepertinya dia sudah tahu kejadian itu akan terjadi."

Bride Of The Heir 2 (Season 2 Mr Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang