Mata Minara begitu tajam menatap ibu dan ayahnya satu per satu. Kaki mungilnya tak sampai ke lantai saat duduk di kursi makan. Kedua kaki itu bergerak-gerak bersamaan napasnya yang cepat. Terlihat sekali dia sangat kesal menghadapi semua ini. Mata Minara mendelik ke kanan dan kiri. Wajahnya memerah.
Seorang pelayan menyiapkan mereka sarapan. Biru sudah rapi dengan kemeja kerja. Sedang Langit memakai dress yang dibelikan staff perempuan secara mendadak kemarin. Hari ini salah satu toko pakaian akan datang ke rumah untuk memberikan Langit pakaian. Tinggal Langit pilih untuk mendapatkan pakaian yang cocok.
"Aa pulang jam berapa?" tanya Langit sambil menyobek roti dan memakannya.
"Sore, sayang. Jam empatan mungkin kalau David nggak numpuk kerjaanku," jawab Biru. Kalau ingat pekerjaan yang menggunung, rasanya Biru ingin mundur dari jabatan saja. Sayang, dia harus tetap di sana untuk menyelesaikan masalah keluarganya. Ditambah musuh yang dia lawan bukan orang-orang biasa, mereka kumpulan orang pintar dan berkuasa. Jika tak jadi seorang Chairman, bagaimana Biru bisa melawan mereka? Dunia ini memang tempat untuk bekerja keras, bahkan untuk orang yang seperti Biru sekalipun.
"Kalau ada Bunda pulang sore. Kalau Bunda nggak ada tengah malam," celetuk Minara dengan nada kesal.
Langit tertawa ia usap rambut Minara. Sedang Biru melotot sambil menggerakkan bola mata minta Ara tak membuka kedoknya. Namun, Minara malah memeletkan lidah ke arah Biru. Terlihat di sini, dia tak mau kalah saing dalam merebut perhatian Bundanya.
"Aa kenapa jahat sekali. Anakku ditinggal sendirian di rumah. Kalau ada yang jahatin gimana?" omel Langit sambil menuangkan air putih ke gelas Biru.
Minara tak mau kalah. Ia menunjuk-nunjuk wajah Papanya. "Dengar, tuh! Papa macam apa kayak Bang Toyib." Anak itu semakin menjadi dan Biru semakin terpohok di sini.
"Bang Toyib nggak pulang-pulang Ara sampai tiga kali puasa tiga kali lebaran. Papa pulang tengah malam lebih tepat kayak maling," ralat Biru. Ia menyimpan sendok di atas piring. "Lagian Ara mana bisa dijahatin orang. Pasukannya tangguh semua." Biru mencubit gemas pipi putrinya.
Langit lagi berpaling ke arah putrinya. "Anak Bunda punya pasukan apa?" tanya Langit penasaran. Wajahnya begitu teduh menatap putri mungilnya.
"Bunda nggak lihat kotak-kotak di kamar Ara? Itu isinya tokek, kadal gurun sama cecak," celetuknya membuat Langiy kaget bukan main.
Langit bergidik. Ia pukul lengan Biru. "Putriku kenapa Aa biarin melihara yang begituan? Aku ngeri ngedengernya," omel Langit dengan nada tinggi. Tak bisa ia bayangkan putri kecilnya yang manis tinggal dengan makhluk-makhluk itu.
"Dia tangkap sendiri, La. Kemarin aja ada kadal pohon dia tangkap sampai nekat naikin pohon jambu di belakang," jawab Biru santai seakan Minara itu bocah petualang. Dia kadang lupa fakta kalau Minara hanya bocah perempuan yang masih duduk di bangku TK.
"Astagfirullah. Ara jangan gitu, ya? Bahaya binatang itu. Apalagi cecak sama kadal, kalau gigit Ara infeksi nanti. Bunda nggak mau Ara sakit," nasihat Langit.
"Nggak apa, Bun. Aligatornya Ara saja nggak pernah gigit. Masa cecak kecil gitu gigit." Minara dengan santai memakan sayurnya. Jangankan takut, Minara malah sangat menyayangi binatang peliharaannya. Terutama reptil.
"Aligator apa?" Langit merasa tak enak hati saat putrinya mengatakan nama hewan itu. Dari namanya saja sudah terdengar sangar. Langit harap itu bukan sesuatu yang aneh-aneh.
"Buaya Amerika. Sekarang sudah dua meter," jawab Biru sama santai dengan putrinya.
Langit terkejut bukan main. Baik anak dan suaminya justru santai saja saat mengatakan itu. Langit merentangkan tangannya. Dua meter itu sampai dua kali rentangan tangannya bahkan lebih.
Binatang peliharaan Minara disimpan dalam box dan aquarium di ruangan sendiri. Sebagian ada yang Minara simpan di kamar. Kecuali buaya dan aligator yang dia simpan di kandang sendiri di halaman belakang dan dirawat oleh keeper profesional. Sesekali petugas kebun binatang akan datang memeriksa keadaan hewan-hewan itu.
Setiap hari pun hewan itu akan diberi makan dan kandangnya akan dibersihkan. Jadi sudah pasti mereka semua aman dan sehat dalam perlindungan Biru dan Minara.
"Dia lebih tinggi dari Langit? Terus Aa biarin Minara melihara monster? Pokoknya buang semua. Bunda nggak suka, itu bahaya!" tegas Langit. Wanita itu sampai berdebar tak karuan membayangkan ada binatang buas di dalam rumahnya.
"Nanti, Bun. Kalau Bibi siluman ular kedok lele sudah musnah dari dunia, baru Ara kasihin ke kebun binatang. Iya kan, Pa?" Baru kali ini ayah dan anak itu sepakat sambil saling tos di depan Langit. Mereka berdua memang memiliki satu kesatuan dalam memberantas Nila Kastara Marga.
"Siapa lagi Bibi siluman ular berkedok lele?" tanya Langit bingung. Dia yang baru bergabung dengan grup ini belum tahu istilah yang digunakan Biru dan Minara.
"Nila Kastara Marga," jawab Biru sambil cekikikan.
"Istri mudanya Papa." Jawaban Ara begitu mengena hingga ia kena lemparan potongan tomat dari papanya. Walau Biru tak suka, nyatanya memang begitu. Pernikahannya masih sah di mata hukum.
Langit menutup mata. Ia menarik napas panjang dan mencoba menenangkan diri. "Tunggu!" Kini mata Langit kembali terbuka. Dia sepertinya terus-terusan terkena olahraga jantung akibat perilaku anak dan suaminya.
"Maksudnya putri kecilku ini, Aa suruh lawan perempuan jahat itu? Minara kecilku yang kaki saja nggak sampai nyentuh lantai kalau duduk di kursi, Aa suruh lawan sosiopat?" Suara Langit begitu lantang hingga Biru menunduk takut. Mereka semua tahu seberapa berbahayanya Nila. "Dibanding monster aligator, Nila jauh lebih bahaya, A. Wanita itu pikirannya enggak normal. Dia bisa saja kapan pun nyelakain Minara."
"Nyatanya dia bisa ngusir perempuan itu sampai kapok balik lagi ke sini." Suara Biru terdengar kecil saking takut dengan istrinya.
"Aa mau Ila pukul pakai sapu lidi? Langit nggak ada, harusnya Aa itu jagain Ala. Kenapa malah nyuruh Ala jadi tameng? Perempuan itu nggak normal, dia itu sadis. Satu lagi, kenapa Aa tega nikahin dia dan bikin aku dimadu kayak begini?" Langit semakin menjadi mengomeli suaminya.
Minara cekikikan. "Rasain itu!" ucapnya puas. Minara sampai memegang perut melihat ekspresi wajah Papanya.
Sedang Biru menunduk pasrah. "Nggak ada cara lain, La. Lagian juga aku nggak bawa Ara satu rumah dengannya, kan? Terus aku juga nggak macam-macam sama dia. Beneran. Aku nikahin dia cumab urusan bisnis dan permintaan Papa. Selain itu enggak ada maksud lain, kok. Aku berani sumpah, La." Biru mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V.
"Aku lihat ya, Aa senyum-senyum sama dia sambil gandengan tangan di televisi ," tegur Langit.
"Oo, kamu ketahuan," Ara semakin memanasi. Sepertinya memang seorang ayah tiada upaya di depan istri dan anak perempuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir 2 (Season 2 Mr Tajir Jatuh Cinta)
RomanceSeason ke 2 Mr. tajir Jatuh cinta Apapun itu, aku akan terjang asal bisa bertemu dengan kamu lagi.