Biru masih berpikir keras. Ia melihat jam di tangannya. Pukul empat sore dan postingan selanjutnya kemungkinan akan dibuat satu setengah jam lagi sesuai keteraturannya. Di sana Biru jadi tak sabaran. Rasanya ia ingin cepat memutar waktu. Biru perbaiki dasi di kerah kemeja putihnya. Terdengar suara ketukan jemari di meja. Matanya menutup dengan penuh harapan dalam sanubari. Tak lama ia lekas kembali mengotak-atik akun itu.
"Ini akun baru. Bahkan baru beberapa hari lalu. Tak ada isi pesan atau pun cuitan lain yang terhapus. Artinya ini memang sengaja dibuat untuk mengirim semua ini," ucap Biru setelah selesai meretas akun tersebut. Ia tak mengubah apa pun agar tak muncul kecurigaan dari pemilik akun.
David berusaha membaca isi artikel yang dikirim. "Kenapa isinya tentang koma?" tanya David. Dia memblok isi artikel yang dikirim lalu dia prin out. David cari persamaan di artikel itu. "Anda lihat baik-baik. Artikel ini membahas tentang orang yang koma, ini juga dan ini," tegas David.
"Dan rata-rata koma dalam waktu lama?" tambah Biru.
David menganggukan kepala. "Artinya dia ingin memberikan kita kode tentang seseorang yang koma dalam waktu lama, mungkin. Hanya saja bedanya dalam artikel ini, orang yang koma bertahun-tahun akhirnya sadar. Artikel ini tentang orang koma yang meninggal dan tak lama bangkit dari kematiannya. Dan ini orang yang diberi obat tidur akhirnya bangun dari koma. Dari rangkaian artikel ini kita bisa tarik kesimpulan. Orang ini koma bertahun-tahun ...."
"Lalu seseorang memberi obat tidur hingga dia bisa kembali bangun?" tanya Biru.
"Benar. Namun, apa artinya bangkit dari kematian?" David memijiti keningnya yang terasa sakit.
Biru menyandarkan punggung. "Apa mungkin, dia disangka mati?" terka Biru.
"Semua orang tahu dia mati, padahal dia koma bertahun-tahun dan dia diberi obat tidur yang membuatnya sembuh. Sehingga seperti bangkit dari kematian," David membuat kesimpulan.
Di sana Biru menggigit bagian bawah bibir. "Siapa yang disangka mati?" Matanya melirik ke arah foto Langit. Tak lama ia menggelengkan kepala. "Tidak, apa yang aku pikirkan," keluhnya.
Semakin lama Biru semakin tak sabar. Ia dapatkan IP komputer itu juga alamat tempat berasal. "Kita ke sana! Kita harus pastikan maksud orang itu," tegas Biru. Ia bangkit dan berjalan keluar kantor setelah mengambil jas hitamnya yang dia sampirkan di sandaran kursi. Biru kenakan jas itu sambil berjalan dengan tergesa-gesa. David ikuti pria itu dari belakang. Ini penemuan penting bagi mereka.
"Anda tak takut kalau ini perangkap?" tanya David.
"Kita tunggu saja di tempat tak jauh dari sana. Jika itu perangkap, kamu dan aku tentu tahu bagaimana cara menghindar. Mereka tak akan berani menembak apalagi mengebom tempat itu. Itu akan memancing reaksi masyarakat dan membuat kegaduhan. Pemerintah pun bisa turun tangan karena itu."
David menganguk. Lekas ia mengikuti Biru untuk turun ke lobi dan meminta petugas valet mengeluarkan mobil Biru. Mereka tergesa-gesa karena yakin orang yang mengirim kode itu pasti tahu banyak petunjuk yang mereka butuhkan. Terutama tentang permasalahan Biru.
Duduk di kursi depan dengan David, Biru semakin gelisah. Waktu terus berjalan dan tiga puluh menit berlalu. Sesuai dengan alamat yang ditunjukkan google maps, mereka sampai depan sebuah warnet.
Keduanya tak turun dari mobil. Hanya diam di seberang warnet. Kebetulan di depan sana ada sebuah restoran sepi. Tak ada satu pun kendaraan menepi. Bahkan tak ada tukang parkir yang menjadi di sana. Keadaan tak memungkinkan untuk mereka turun, terlalu berbahaya dan mungkin saja melihat mereka, orang itu akan kabur.
"Aku dulu tinggal di sini dengan istriku. Tepat di bagunan itu. Kini berubah jadi menara kampus. Kenangan terakhir yang lenyap dirubuhkan waktu," cerita Biru. Ia merasa sedih setiap kali melihat tempat ini. Jalan di mana dirinya dan Langit banyak membuat kenangan bersama.
Ia melirik ke luar jendela mobil dengan tatapan sedih. Di trotoar ini dulu ia dan Langit saling berpegangan tangan berangkat ke kampus berdua dan menyapa orang-orang yang mereka kenal. Sebuah kesederhanaan yang Biru rindukan. Kesederhanaan di mana ia merasa tenang. Tak seperti sekarang di mana setiap orang di sampingnya mungkin saja berubah menjadi musuh utama.
David masih diam mengawasi warnet itu. Semua masih terlihat normal. Tak ada orang yang mencurigakan. Mereka memakai pakaian biasa. Gerak-gerik mereka juga normal. Hanya ada anak-anak remaja yang masuk dan keluar dari sana.
Sesekali David melirik jam tangan. Lima belas menit lagi dan pelakunya mungkin akan tiba di sana. Pasti sekarang sedang mengejar waktu untuk memposting di jam yang sama.
Biru turut melirik ke luar jendela. "Apa perlu kita turun?" tanya Biru yang sudah tak sabaran. Rasanya waktu berjalan lebih lambat.
David menggeleng. "Perhatikan saja baik-baik. Bahaya untuk keluar. Keselamatan anda mungkin terancam," nasihat David. Tangan pria itu masih menggenggam kemudi.
Biru mengangguk. Ia masih bertahan di joknya sambil memperhatikan baik-baik ke arah warnet. Tetap tak ada yang aneh di sana hingga terlihat seorang wanita berlari mengenakan dress putih dan berdiri di depan pintunya sambil melirik ke kanan dan ke kiri seakan memastikan tak ada yang berbahaya.
Biru tertegun antara percaya dan tidak. Artikel di hastag itu. Seseorang yang disangka mati, padahal koma dan akhirnya sadar. "Kamu lihat perempuan dengan baju putih itu?" tanya Biru menunjuk ke luar jendela. "Orang yang kita pikir mati?" tanya Biru lagi dengan suara gemetaran.
David mengangguk. Itu bukan khayalan Biru semata. Itu memang nyata. "Kita tahu Nyonya Langit sudah tiada," ucap David. Seketika itu, Biru membuka pintu mobil walau David jelas melarangnya. Ia berlari hingga hampir tertabrak. Satu per satu kendaraan ia lewati. Terdengar suara klakson kendaraan yang merasa terganggu akan sikap Biru.
"Ila!" panggil Biru.
Langit yang hendak masuk ke dalam warnet berbalik mendengar panggilan akrab yang biasa suaminya sebut. Wanita itu terdiam, mematung beberapa saat hingga lengan Biru memeluknya dengan erat.
"Sayangku, kamu ke mana saja?" tanya Biru di sela air matanya yang terus berkucuran. Ia masih merasa di batas antara percaya dan tidak. Langit ini, bisa ia sentuh dengan kedua tangannya. Langit yang ia rindukan dan hanya bisa ia bayangkan selama lima tahun ini.
Di sana Langit mulai merasa matanya memanas dan mengalirkan air mata. Langit balas peluk suaminya dengan erat. "Aa kenapa baru datang? Aku nunggu di sini berhari-hari. Aku nunggu Aa datang jemput aku," ucap Langit sambil tersedu-sedu. Ingin sekali ia menumpahkan kesulitan selama ini. Hanya saja suaranya tertahan oleh suara tangisan.
Ia akhirnya bisa merasakan kembali lembut tangan suaminya yang mengusap rambut. Pelukan Biru masih hangat seperti dulu. Pelukan yang sangat Langit rindu. Pelukan pria yang sangat ia cintai dan percayai. Suaminya ....
"Aku pikir kita nggak akan bertemu lagi. Aku pikir selamanya kamu akan ninggalin aku." Biru melepas pelukannya. Ia tatap Langit dengan dalam dan menyentuh pipi istrinya.
"Ini benar kamu, kan? Kamu masih hidup, kan? Aku nggak mimpi?" tanya Biru masih tak percaya.
Langit mengangguk. Ia hapus air matanya. "Ini Langit. Selama ini Langit nggak meninggal. Langit masih hidup, A. Langit nyari kalian semua, tapi nggak ketemu. Langit bingung, begitu sadar ini sudah begitu lama," adu Langit.
Biru mengangguk. Ia peluk Langit lagi dan ia kecup kening istrinya. "Kita pulang ke rumah. Minara nunggu kamu, ibu juga. Kak Mega sudah nikah, kamu punya keponakan sekarang. Anak kita juga baik-baik saja. Kita pulang, ya?" Biru rasanya ingin memberitahu Langit banyak hal. Cerita selama Langit tak ada.
Langit menggeleng. "Kita ke Mbak Surtini dulu. Langit harus pamitan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir 2 (Season 2 Mr Tajir Jatuh Cinta)
RomanceSeason ke 2 Mr. tajir Jatuh cinta Apapun itu, aku akan terjang asal bisa bertemu dengan kamu lagi.