Hari itu Langit mendapat tugas dari bosnya. Ia harus mengantarkan sebuah mukena ke pelanggan setia. Diberi ongkos, Langit memilih naik angkot agar lekas sampai. Sebenarnya jarak tempat itu cukup dekat, hanya saja karena jalannya one way jadilah kendaraan harus memutar. Selama masih kuat jalan kaki, Langit lebih suka menghemat uang ongkos. Akhirnya ia tiba di ruko yang dimaksud. Langit ingat betul ruko itu, dulu ia bekerja di sana. Salah satu restoran Jepang yang kini sudah berganti menjadi warung nasi Padang.
"Semua sudah berubah banyak. Hanya aku yang terjebak di sini," batin Langit. Perempuan itu terus berjalan di atas paving blok parkir ruko. Bahkan orang-orang yang ada di sana tak ada yang Langit kenal. Mereka orang baru.
Di sana ada sebuah toko makanan ringan. Semua camilan kemasan dari berbagai merk dijual di situ. Langit menengok ke dalam. Ia menunduk karena banyaknya jurai kemasan chiki bergantung di langit-langit. Dus-dus makanan pun berbaris di dalam ruangan, menyisakan sedikit ruangan untuk Langit berjalan.
"Ibu, saya mau antar mukena," ucap Langit begitu ia tiba di bagian kasir. Pemilik toko keluar dan menemuinya. Terlihat seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek sebahu dan memakai kaos hitam serta celana pendek.
"Mukena anak pesanan saya, ya?" tanya ibu pemilik toko itu sambil melihat keresek di tangan Langit.
Langit mengangguk lalu memberikan keresek berisi mukenannya. Ibu itu mengambil pesanan lalu mengeluarkan mukena dari keresek. Ia periksa mukena itu dengan hati-hati. Tak lama setelah yakin merasa puas, Ia langsung membayar Langit di muka.
"Ada kembali sepuluh ribu. Untuk kamu saja. Makasih banyak," ucap Ibu itu.
"Sama-sama, Bu." Setelah memperlihatkan senyum dan mengucap salam, lekas Langit keluar dari ruko. Ia kembali berjalan mencoba mengenang apa yang dulu ia tinggalkan. Sempat Langit berhenti di depan warung nasi padang di mana dulu ia bekerja. Walau berganti restoran, bagian depannya masih terlihat sama.
Langit ingat, tak jauh dari ruko ini ada warteg tempat ia membeli makanan untuk ibunya dulu. Ia ingin menyapa pemilik warteg itu. Iseng Langit terus berjalan menaiki trotoar dan menyusuri jalanan. Cahaya matahari bersinar cukup terik. Bandung panas hari ini. Langit mengusap keringat yang mengucur dari kening.
Terdengar suara klakson kendaraan. Polusi masih sama saja jika siang hari. Kemacetan juga tak berubah. Rok dress putih Langit bergerak-gerak terkena angin. Dress putih ini ia dapatkan dari pemilik toko. Langit memang bercerita jika ia tak memiliki banyak pakaian. Kebetulan pemilik toko memiliki gamis putih bekas dulu ia pergi ke pengajian untuk umroh.
"Wartegnya sudah nggak ada," keluh Langit. Kini di sana hanya ada sebuah restoran dengan tembok kaca besar dan tanaman rambat di balkonnya. Restoran mewah yang dibangun dengan menghancurkan gedung yang dulu. Memang di belakang warteg yang Langit sering beli ada sebuah gedung ruko bekas yang tak terpakai hingga sering didatangi orang-orang yang mencari hantu.
Tadinya Langit akan naik angkot. Sayangnya ia melihat seorang wanita duduk dan santai di kursi restoran itu, tepat di sisi jendela. Langit mengenalnya. Dengan tatapan tajam ia terus memperhatikan wanita itu.
Penampilan wanita itu masih terlihat mirip seperti dulu. Hanya saja kini terlihat jauh dewasa. Ia selalu mengenakan pakaian yang terlihat mewah dengan make up rapi yang dipoles make up artist pribadi. Langit menarik napas. Ia iri dengan bagaiman wanita itu masih bisa hidup tenang setelah mengambil apa yang Langit punya.
Mungkin karena merasa diperhatikan, wanita itu melirik ke arah luar dan melihat Langit berdiri di sana dengan gamis putih. Jelas berdebar jantungnya, apalagi wanita itu ingat Langit sudah mati. Dengan wajah pucat, ia berteriak lalu bersembunyi di bawah meja sambil menutup matanya. Tangannya memeluk lutut. Seketika tubuhnya gemetaran dan kulitnya berubah pucat.
"Nila, kamu kenapa?" tanya beberapa teman yang duduk di kursi yang sama dengannya. Mereka menunduk melihat Nila yang tiba-tiba masuk ke kolong meja.
"Ada hantu di luar," ucapnya dengan terbata-bata. Tubuhnya gemetaran dan ia tak berani lagi melihat keluar. Bahkan suaranya terdengar bergelombang.
Sementara Langit tersenyum kecut. Ia lekas naik ke dalam angkot yang berhenti. Ketika teman Nila melihat ke jendela, tentu mereka tak melihat Langit lagi di sana. Mereka mendadak bingung karena tak ada seseorang yang mereka lihat di luar.
"Nggak ada apa-apa, kok!" ucap salah satu teman Nila.
Dengan rasa takut, Nila sedikit mengangkat tubuhnya dan melirik ke jendela. Tak ada lagi Langit yang berpakaian putih di sana. "Dia pasti marah padaku. Dia pasti menerorku. Dia pasti akan menghantuiku," batin Nila. Dia yakin tidak sedang berhalusinasi. Tadi pun Nila masih mengobrol dengan normal. Dia tidak sedang melamun.
Teman-temannya mengusap punggung Nila agar lebih tenang. Tetap saja, tubuh Nila mendingin dan wajahnya tersirat rasa takut. Ia seperti habis melihat sesuatu yang mengerikan. "Aku yakin lihat wanita itu di sana. Harusnya dia sudah mati. Kenapa dia bisa menemuiku? Dia pasti ingin mencelakaiku, 'kan?" ucap Nila histeris.
"Tenang dulu, Nila. Biar kami telpon suamimu, ya? Tak ada apa pun yang kami lihat di sana," salah satu teman Nila masih berusaha menenangkan wanita itu.
"Aku enggak salah lihat! Ada wanita itu di sana!" tunjuk Nila dengan suara keras hingga teman-temannya kaget. Napasnya terlihat cepat.
"Memang ada rumor yang bilang kalau bangunan restoran ini yang dulu berhantu, tapi sudah dihancurkan. Masa iya masih ada hantunya," komentar teman Nila yang lain. Mereka di sana saling tatap. Salah seorang meneguk ludah. Mendadak mereka merasa seram sendiri. Apa iya, kalau Nila barusan melihat hantu, begitu dalam pikiran mereka.
"Biar kami telpon suami kamu, ya?" tawar teman Nila.
"Jangan! Dia enggak boleh tahu. Enggak boleh tahu!" tegas Nila. Kalau sampai Biru tahu Nila merasa dihantui Langit, pria itu pasti akan mencari tahu alasannya. Dia akan curiga.
"Tapi kami khawatir, Nila. Kamu ketakutan kayak gitu. Biar suami kamu jemput kamu ke sini," paksa teman-teman Nila. Padahal mereka hanya ingin melihat Biru Bamantara yang mereka kenal tampan.
"Aku telpon Mamaku saja! Jangan Biru!" tegas Nila.
Sementara Langit berpikir keras. "Dia takut melihatku lagi, itu artinya dia juga nggak tahu aku masih hidup. Bukan dia yang membawaku ke rumah sakit itu. Apa jangan-jangan bukan dia juga yang membunuhku?"
Memecahkan teka-teki ini terlalu membuat Langit pusing. Ia lebih berharap bisa kembali bertemu dengan suami dan putrinya. Biar Biru yang memecahkan semuanya. Yang penting Langit bisa mengatakan maksud dari orang-orang yang menculik dan menahannya di rumah sakit selama ini. Maksud yang Langit dengar saat dalam keadaan komanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir 2 (Season 2 Mr Tajir Jatuh Cinta)
RomanceSeason ke 2 Mr. tajir Jatuh cinta Apapun itu, aku akan terjang asal bisa bertemu dengan kamu lagi.