"Biar Langit saja yang cuci piring, Bu," ucap Langit. Dia menggeser pelan tubuh ibunya dan mengambilkan kursi agar Fitri bisa duduk di sana sambil menunggui Langit yang tengah mencuci piring.
"Padahal Ibu juga bisa. Kamu sama Ara saja sana main kembang api," saran Fitri.
"Ya ampun, Bu. Masa aku asik-asikan di luar terus Ibu malah cuci piring di sini. Lagian Langit sudah lama enggak cuci piring. Di rumah juga cuman santai-santai sama Minara. Abis apa-apa disiapin sama pelayan," cerita Langit sambil menyiram wadah di atas wastafel dengan air panas.
Fitri mengusap lengan putrinya. Dia tatap wajah Langit yang sama sekali tak berubah, masih sama seperti sebelum dia menghilang. "Kamu beruntung sekali. Suami kamu sayang banget sama kamu. Ihi dulu sering berpikir, kalau nanti kamu nikah ... akan seperti apa suami kamu. Ibu takut kalau dia enggak baik, enggak bisa bahagiain kamu. Tapi sekarang Ibu enggak khawatir lagi. Biru lebih dari menantu yang selama ini Ibu impikan," ungkap Fitri.
Langit tersenyum. Ia mulai mengusap piring dengan sabun menggunakan spon. "Langit juga sering mikir gitu. Kalau nanti, suami Langit itu kayak gimana. Dia bisa enggak sama kayak Ayah. Apa dia bisa bertanggungjawab dan sayang sama anak. Tapi Aa Biru lebih dari itu."
"Dia sayang banget sama Minara. Mau pulang kantor jam berapa pun, dia pasti jemput Minara. Waktu Ara bayi, bahkan Biru kerja sambil asuh Ara. Dia bawa bayi kamu ke kantor, kadang ke kampus kalau Ara rewel enggak mau dititip. Ibu kadang takut Ara kurang kasih sayang, tapi Biru selalu perhatian sama Minara. Dia bilang, kalau Minara enggak ada, lebih baik dia ikut kamu. Segitu sayangnya dia sama anaknya dan sama kamu."
Langit merasakan hangat di matanya. "Aa Biru baik-baik saja selama aku pergi, 'kan? Dia sering lupa makan, enggak? Kalau dia sakit, siapa yang jaga dia, Bu?"
"Dulu sih sering, terus Ibu bilang, kalau kamu jarang makan nanti bisa sakit. Kalau kamu sakit, kamu enggak bisa gendong Ara. Langit juga pasti sedih liat kamu sakit. Baru deh dia selalu ingat makan. Dia selalu kelihatan bahagia depan Ara, walau ibu tahu dia sedih karena ingat kamu."
"Makasih, Bu. Sudah jagain suami dan anakku. Makasih juga sudah nunggu sampai Langit datang. Langit senang banget masih bisa ketemu, Ibu," ucap Langit.
Setelah mencuci piring, ia tuntun ibunya ke halaman belakang di mana Minara dan Ayu sedang main kembang api diawasi orang tua mereka. "Ih, atut," keluh Ayu saat Minara mencoba mendekatkan kembang apinya.
"Hati-hati, Nak. Itu bahaya. Bisa bikin kulit kebakar," nasihat Langit.
"Iya, Bunda." Minara berlari menghampiri Biru yang tengah menjawab pesan. Ia mengulurkan tangan minta digendong Papanya. "Siapa yang chat?" tanya Ara seperti satpam yang tengah menginterogasi.
"Oom David," jawab Biru singkat. Minara menempelkan pipinya di pipi Biru dan bersandar dengan manja. Langit melihat pemandangan itu.
Minara dan Biru kadang memang tak akur. Namun, tetap saja Minara tumbuh dalam asuhan Papanya. Dia selalu dekat dengan Sang Papa dan tak mau jika ditinggal jauh. "Papa, nanti ke toko buku, ya?" pinta Minara.
"Buat?"
"Ara mau buku dongeng princess lagi, ya?"
"Iya," jawab Biru sambil mengecup pipi putrinya. Minara terkekeh.
"Bun, gatel," keluh Minara sambil menggaruk leher. Matanya masih tertutup karena sudah tertidur dari pukul delapan tadi. Mungkin karena kamar terasa gerah dan Ara biasa tidur di ruangan AC otomatis.
Begitu AC dinyalakan, barulah Minara tidur tenang. Ia tidur terlentang di antara Langit dan Biru. Lucunya saat AC menyala, Ara menarik selimut hanya untuk dirinya sendiri.
"Anehnya Minara begini. Tidur nggak pakai AC gerah dan ngerengek, AC nyala malah gulung badan pakai selimut." Tangan Biru mengusap poni Minara.
"Aa hebat, bisa besarin dia sendiri. Aku kaget Minara dibawa Aa ke Amerika tanpa keluarga yang bantu," puji Langit. Walau Biru dan Minara sering adu mulut, Biru tak hanya ayah. Ia juga ibu untuk Minara.
Kini tangan Langit yang Biru genggam. "Apalagi? Sejak kamu nggak ada, aku hanya punya dia. Nggak ada kamu yang jagain dia. Kalau aku juga pergi, dia dengan siapa? Dia cinta kita berdua, 'kan?"
Apa yang Biru katakan tak salah. "Kalau harus milih aku sama Minara, Aa mau pilih siapa?" tanya Langit menguji Biru.
"Kalian berdua, aku nggak bisa milih. Kamu jiwaku, dia darah dagingku. Aku tak bisa hidup tanpa jiwa, tak juga bisa hidup tanpa darah dan daging. Benarkan?"
Ucapan Biru selalu membuat Langit tersenyum dan tersipu malu. Sejak zaman PDKT, Biru sudah ahli menggombal walau modal nyontek ke Kaskus. Keduanya tak saling melepaskan tangan dan pandangan. "Langit, terima kasih sudah sabar mendampingiku, mengajariku banyak hal. Terima kasih sudah memberiku keluarga yang sempurna."
"Sama-sama. Terima kasih juga A, sudah mau jagain Ara selama aku pergi. Terima kasih juga sudah bertahan tanpa aku di sisi kamu."
"Sama Ara nggak terima kasih?" Suara Minara membuat kaget kedua orang tuanya hingga saling melepaskan tangan. "Ara sudah baik, lho! Nggak nangis, nggak ngerengek, nggak nakal. Terus Ara selalu dipuji karena cantik. Bikin bangga," celetuknya.

"Makasih Minara," ucap Biru dan Langit barengan.
"Sama-sama," timpal Ara lalu menguap dan kembali tidur.
Baik Langit dan Biru sama-sama bingung. "Itu tadi dia bangun?" tanya Biru.
Jelas Langit hanya menggeleng. "Ara, bangun! Kita hafalin lirik lagu buat besok tampil di sekolah, yuk!" ajak Langit.
Minara tetap tidur pulas. Biru sengaja mengguncang tubuhnya dan anak itu tetap pulas. Tak terlihat satu pun gerakan tubuh yang menunjukkan dia pura-pura tidur. Kelopak mata dan raut muka sama sekali tak melakukan gerakan aneh.
"Bun, besok kita titipin Ara di sini, yuk. Biar kita bisa main ke pantai berdua," ajak Biru.
Seketika Minara terperanjat. Ia duduk di atas tempat tidur dan menatap orang tuanya. "Kalian nggak punya hati. Katanya Ara darah daging, tapi ditinggal. Kenapa Ala dilahirkan? Kalian nggak peduli," protesnya.
Ia merengek sambil menutup mata dengan lengan. Mendengar itu, Langit dan Biru cekikikan. "Mana bisa, besok Bunda mau pergi ke persidangan sama Papa. Kamu mau ikut ke pengadilan? Di sana mana nggak boleh bawa mainan," ralat Langit.
"Bohong. Jangan dustai aku, Bun. Aku bisa kecewa," rengeknya.
"Kebetulan kamu bangun, hafalin lirik lagu yang Bu Guru pinta buat besok tugas, ya?" tegas Biru.
Minara mematung. Ia hapus air matanya, menarik selimut lalu berbaring. "Ara ngantuk. Kata bu guru, tidur malam bikin Ara tinggi. Nggak tidur nggak tumbuh," alasannya.
Benar saja, Minara langsung kembali tidur. "Anak Aa gini amat, ya!" ledek Langit.
"Enak saja. Anak kamu mungkin, La. Kamu yang lahirin," balas Biru.
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir 2 (Season 2 Mr Tajir Jatuh Cinta)
RomanceSeason ke 2 Mr. tajir Jatuh cinta Apapun itu, aku akan terjang asal bisa bertemu dengan kamu lagi.