Pulang

5.3K 1.1K 362
                                    

"Aa, selama ini asuh Minara sendiri?" tanya Langit.

"Memang mau siapa lagi? Aku Papanya. Lagian aku sempat harus kuliah di Amerika dan lama sekali. Aku enggak mungkin ninggalin dia sendirian di sini. Kalau tanpa orang tua, aku takut dia jadi anak yang enggak nurut," cerita Biru.

"Dengan orang tuanya pun dia tetap enggak nurut," batin David. Ia bingung dengan konsep Biru. Sebenarnya bukan mendidik, malah Biru butuh dididik.

Dari kaca hitam mobil yang David kemudikan, Langit bisa melihat gerbang tinggi sebuah rumah di perkomplekan elit. Rumah di sana dibangun di atas tanah dengan halaman luas. Tak heran jika bangunannya jarang dibuat tinggi, justru melebar dan memanjang dengan  banyak ruangan. Memang hanya orang-orang dari kalangan tertentu yang bisa memiliki rumah di sana. Harga tanahnya saja sangat fantastis. Tidak heran jika kawasan itu sering disebut komple sultan oleh warga yang rumahnya tak jauh dari kawasan itu.

Biru masih memegang tangan Langit. Menyusuri jalan yang menghubungkan gerbang dengan teras, jantung Langit semakin berdebar. Ia tak sabar bertemu dengan Minara. Gadis kecil yang hanya bisa ia lihat dari gambar yang ia ambil di Google.

"Aa tahu enggak? Aku print out foto Minara dari Google. Aku senang banget lihat dia tumbuh besar. Aku pikir enggak akan bisa meluk dia. Tapi sekarang, Langit bakalan ketemu Minara, 'kan? Langit akan bisa meluk anak kita, 'kan?" tanya Langit tak sabaran.

"Iya, sayang. Anak kita," timpal Biru.

"Langit enggak sabar, A. Langit kangen Ara."

"Iya, aku tahu. Jangankan kamu. Aku saja kalau kerja pasti ingin pulang dan ketemu sama dia. Tapi, nanti kamu tunggu dulu di mobil. Biar aku panggil Minara. Kita buat kejutan, ya?" ide Biru.

Langit mengangguk. Ia juga ingin melakukan hal yang sama. Membuat pertemuanya dengan bayi kecilnya itu terasa dramastis. Pertemuan yang mungkin tak akan Langit lupakan seumur hidup. Hari di mana kerinduannya akan terbasuh. Kasih sayang darinya akan tertumpahkan. Minara yang sangat berharga untuk Langit.

Mobil itu menepi di sisi teras. Biru lekas turun dari mobil dan menutup pintunya. Beberapa pelayan terlihat tergesa-gesa menyambut Biru. Mereka berbaris di depan tuannya lalu menunduk.

"Selamat datang, Tuan," ucap para pelayan.

"Panggilkan Minara, bilang aku ingin bertemu dengannya di bawah," pinta Biru.

Ia lebih memilih untuk berdiri di depan pintu menunggu putri kecilnya turun. Sesekali Langit mengintip dari jendela. Ia penasaran seperti apa putrinya jika dilihat langsung. Gadis yang sangat mirip dengan suaminya. Gadis kecil yang ia lahirkan ke dunia dengan penuh rasa cinta.

"Apa Ara selalu bersikap baik?" tanya Langit pada David. Dia sangat penasaran dengan putrinya itu.

Pertanyaan itu jelas membuat David bingung cara menjawab. Ia tak tega menjelaskan seberapa luar biasanya sikap Minara hingga membuat Nila kapok. Dan seberapa jahilnya anak itu hingga membuat David ngeri sendiri. David pikir pasti dalam angan-angan Langit, Minara gadis yang lembut, elegan dan manis seperti ibunya. Nyatanya, gen Biru Bamantara sangat mendominasi.

"Dia baik, Nyonya," jawab David terputus-putus. Jelas sekali seperti terpaksa.

Sayangnya ekspresi wajah David bisa terbaca oleh Langit. "Aku tak bisa berharap banyak pada suamiku. Kita berdua sama-sama tahu." Langit tertawa kecil. Ia sudah sangat maklum.

Sementara itu Minara tengah mengecat kukunya. Ia pandai melakukan itu sendiri. Sambil menyapu cat, ia tiup sesekali kukunya lalu menggerakkan ujung jemari dengan centil.

"Nona Minara," panggil pelayannya di pintu.

Mata Minara melirik dengan tajam. "Aku butuh privasi di sini. Apa nggak lihat, Bibi? Kukuku butuh perhatian," protesnya. Anak itu sampai terdengar mendesah kesal akibat me time-nya terganggu.

Pelayannya menunduk. "Tuan Biru sudah pulang, Nona. Beliau ingin bertemu dengan anda di bawah," tambah pelayan itu.

Minara memutar bola matanya. Kemudian, dia mendengkus. Ara mengangkat telunjuk dan menggerakkan ke sisi kanan dan kiri. "No! Papa sudah cukup dewasa. Temui aku sendiri kalau ingin bicara. Itu harga diri, lho! Lagi pula, sejak kapan ada kamar mandi datang ke orang yang kebelet!" omel Minara.

Walau kesal, Ara tetap turun dari tempat tidurnya. Ia berjalan sambil menggerak-gerakan tangannya. "Hancur harapanku. Kasihan kukuku. Lagipula kenapa lelaki itu tak pernah dewasa!"

Pelayan hanya bisa menggelengkan kepala. Ia mengikuti Ara dari belakang. "Aku bisa turun sendiri. Pastikan saja rumah bersih semua," tegas Ara. Dia bergaya layaknya Nyonya rumah seperti biasanya.

Kaki kecilnya terlihat mungil saat berjalan di lorong rumah yang luas. Terdengar suara sepatu hak tingginya yang berbenturan dengan lantai. Roknya bergerak-gerak karena gerakan kakinya. Ia mendengus beberapa kali. "Rumah luas menyusahkan. Turun bikin lelah. Papa ini ribet, alay. Presiden bukan, tetap suruh menghadap. Papa siapa, sih? Raja juga bukan!" Lagi-lagi Minara mengeluh.

Dari pintu, Biru bisa melihat Ara menuruni tangga. Langkahnya begitu pelan. Belum lagi melewati entrance hingga sampai di depan pintu. Benar-benar dibuat sok anggun hingga membuat Biru lama menunggu.

"Kamu kenapa lama?" tanya Biru sambil menyipitkan mata. Pria itu sampai berkacak pinggang.

"Aku ini gadis Papa. Harus elegan. Kenapa juga jalan tergesa-gesa. Memang ada kebakaran." Ara berkacak pinggang.

Biru berjongkok di depan putrinya. "Papa punya kejutan untukmu. Coba tebak apa itu?" tanya Biru. Wajahnya sudah terlihat bersemangat.

"Bertele-tele seperti anda biasanya," komentar pedas Minara. Itu sungguh menghancurkan ekspektasi Biru.

Apa yang bisa Biru harapakan dari putrinya. Pikiran Minara bahkan lebih rumit dari pada ibu-ibu rumpi di gerobak sayur atau bapak-bapak yang posting masalah rumah tangga di facebook.

"Ya Allah, asyik sedikit kenapa sih, Nak. Hidup kita kadang harus ada sinetronnya. Coba bikin wajah kamu kayak kaget gitu dan enggak sabaran. Seolah kamu senang gitu. Papa sudah susah-susah siapin kejutan di mobil. Apa itu? Tebak, ya?" pinta Biru.

Minara berkacak pinggang. Ia simpan telapak tangan kanannya di sisi kepala. "Aku tebak itu boneka, sepatu, gaun cantik atau mobil listrik," tebak Ara mengeluarkan apa yang ingin dia miliki.

"Memang cantik kayak boneka sih," pancing Biru.

Minara menutup mulutnya. "Papa punya bayi dari Bibi jelek?" terkanya menyebalkan.

Mendengar itu Biru langsung mematung. "Kamu mau ngutuk Papa?"

Ara mengangkat kedua bahunya. "Lalu apa, dong?" Dia agak kesal sampai menghentakkan sebelah kaki ke lantai.

Sikap Minara itu terlihat oleh Langit dari mobil. Perempuan itu tersenyum gemas melihat tingkah centil putrinya. Ia tak sabar ingin memeluk Minara dengan erat. "Dia benar-benar mirip Papanya," komentar Langit.

"Itu yang saya ingin katakan pada anda, Nyonya," celetuk David membuat Langit tertawa.

"Tunggu di sini," pinta Biru. Ia berdiri dan berjalan ke sisi mobil. Lekas Biru membuka pintu belakang mobil dan Langit turun dari sana.

Seketika Minara terdiam, ia mencoba mengingat wajah yang ia kenali. Wajah yang hanya bisa ia lihat di foto. Jelas sekali gadis itu hampir tak percaya hingga hanya berdiri menatap ibunya yang kini tercipta nyata di hadapannya.

Bride Of The Heir 2 (Season 2 Mr Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang