Vonis kedua

5.9K 1.3K 120
                                    

Sidang Surya dan Nindy juga bawahannya atas kasus penculikan dan penyekapan Langit dimulai. Nindy sendiri sempat kaget membaca isi surat penangkapan tentang kasus ini. Ia pikir telah sangat rapi menyembunyikan kejahatannya dengan Surya. Apalagi dia harus duduk sendiri di kursi terdakwa karena Surya kini harus dirawat akibat kondisi kesehatan.

Surya mengalami serangan jantung tak lama setelah ditangkap. Ia dilarikan ke rumah sakit dan menjadi tahanan luar sementara waktu. Kondisinya pun malah semakin memburuk. Biru sudah meminta dokter untuk terus memantau keadaan kakaknya. Bagaimana pun sebagai saudara, Biru tak bisa begitu tega pada Kakaknya sendiri.

Saksi yang merupakan korban kasus itu diminta menghadap. Jelas Nindy terkejut bukan main. Matanya terbelalak dan hampir ia terjatuh dari kursi. Saksi itu bukan petugas rumah sakit yang mungkin berkhianat, melainkan korbannya sendiri, Langit yang ia sangka sudah tiada.

"Apa benar pada hari tersebut, saudari Langit ketika terbangun berada di rumah sakit Bamantara?" tanya hakim yang memimpin sidang.

"Benar, Pak. Awalnya saya tidak tahu jelas keberadaan saya di mana. Saya baru tahu itu ketika kabur dari sana dan melihat papan nama rumah sakit di lift. Selama disekap saya sempat mendengar perbincangan yang suaranya saya tebak mirip Nyonya Nindy menyebutkan maksudnya membawa saya ke sana," jawab Langit. Ia agak gemetar saat menjelaskan itu. Bagaimana tidak, ini pertama kalinya ia bicara dipersidangan.

"Apa yang anda dengar?"

"Katanya saya akan jadi alat pertukaran untuk mendapatkan posisi suami saya di Bamantara Grouph." Langit bicara apa adanya. Biru sudah menasehati agar Langit tak mengurangi sedikit pun kesaksian hanya karena rasa kasihan.

"Setelah anda mendengar itu, apa yang anda lakukan?"

"Saya pura-pura masih koma, Pak. Saya tak berani bangun karena takut mereka menyakiti saya."

"Berapa lama anda bertahan dalam keadaan itu?"

Langit terus ditanya tentang kronologinya. Sidang itu menghabiskan waktu berjam-jam. Bahkan sempat ditunda karena terlalu banyak bukti yang diungkap pun saksi. Langit sendiri merasa lelah melewati semua itu untuk keadilan.

Sidang demi sidang berlalu dan satu per satu saksi memberi keterangan juga bukti diungkap. Akhirnya pembacaan vonis dilakukan. "Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama dua belas tahun. Menetapkan terdakwa tetap ditahan ...."

Palu hakim diketuk. Langit belum lega walau Nindy sudah dibawa keluar persidangan dengan wajah menunduk akibat malu diliput oleh banyak media. Dua belas tahun waktu berlalu akan lebih cepat. Ia takut Nindy tak berubah walau sudah merasakan bui.

Pulang dari ruang sidang diantar oleh Biru, keduanya pergi ke rumah sakit Bamantara. Hari itu Dokter Syaila diberi penghargaan oleh pihak rumah sakit dan pemerintah setempat. Bukannya tak menghargai dengan tidak mengangkat Syaila sebagai direktur. Ada aturan tertentu untuk mengangkat seorang direktur melalui rapat umum.

Langit melambai ketika dokter Syaila diberi penghargaan di atas panggung. Selesai menerima penghargaan itu, Syaila turun menemui Langit. Melihat kedatang Biru dan Langit tentu semua orang yang ada di sana berdiri lalu menunduk hormat.

"Selamat, Dokter! Aku harap dokter semakin sukses. Jangan lupa, harus rajin kuliahnya," ucap Langit.

"Kuliah, Nyonya?" tanya Syaila bingung.

"Rumah sakit ini akan membayar biaya kuliah S3 anda. Jangan lupa setelah lulus, kembali bekerja di sini," pesan Biru.

Jelas Syaila sangat senang mendengar itu. Ia lagi-lagi menunduk pada pasangan suami istri pimpinan rumah sakitnya. "Saya sangat berterima kasih Tuan dan Nyonya Bamantara."

"Harusnya saya yang berterima kasih. Anda tidak hanya akan mengorbankan profesi anda, tapi juga nyawa untuk menyelamatakan istri saya. Perjuangan anda sungguh sangat luar biasa." Lagi-lagi Biru memuji.

"Itu kewajiban saya, Pak. Bagaimana saya tega melihat seseorang yang sedang dalam keadaan lemah dimanfaatkan untuk ketamakan sebuah pihak. Terlebih saya sering menemukan Nyonya Langit meneteskan air mata. Saya pikir mungkin ia rindu pada keluarganya."

"Itulah, anda luar biasa dokter. Saya bangga pada anda!" seru Langit sambil memberikan jempol.

Keduanya langsung meninggalkan ballroom. Biru masih memegangi tangan Langit seolah tak ingin berpisah dengan istrinya lagi. Salah satu petugas rumah sakit menuntun mereka menuju ruangan di mana Langit disekap dulu.

Ruangan itu berada di lantai tengah dan melewati beberapa bangsal yang digunakan untuk pasien dalam tahap observasi. Tidak heran tak banyak orang datang ke sana.

Mereka tiba di depan pintunya. Meja marmer tempat suster berjaga masih ada di sana dan sudah dipasangi police line. "Ini, Pak," tunjuk petugas rumah sakit itu.

Baik Langit dan Biru langsung melewati garis polisi dan masuk ke dalam ruangan. Ruangan itu sebenarnya sudah disterilisasi dan garis polisinya sudah bisa dilepas. Masuk ke dalam ruangan, Langit rasanya seperti sesak. Ia melihat ke sekeliling ruangan. Tempat ia terbaring selama hampir lima tahun lamanya masih ada di sana.

"Mereka nyekap kamu di ruangan ini?" tanya Biru yang dibalas anggukan Langit. Pria itu merasa lemas hingga berpegangan pada daun pintu. Dia tak menyangka istrinya terjebak dalam ruangan sempit tanpa cahaya matahari yang pas selama bertahun-tahun. Apalagi begitu dingin meski tanpa AC. "Mereka benar-benar jahat. Gimana bisa mereka kayak gini sama kamu?" Biru mengusap rambut istrinya.

"Yang penting sekarang aku sudah sama Aa, 'kan? Sudahlah, ini jadi kenangan biruk buat aku. Kalau suatu hari aku down, aku akan ingat masa ini untuk kembali semangat. Iya, 'kan?" Langit berjalan ke ranjang pasien yang dulu dia terbaring di sana. Ia usap pinggiran ranjang itu. Rasanya baru kemarin ia tertidur di sana.

"La, padahal kita selama ini dekat, ya? Masih di kota yang sama. Tapi aku malah berpikir kamu pergi jauh."

Langit menggeleng. "Itu sudah takdir. Justru jadi pelajaran, betapa hanya karena ketidaktahuan, manusia jadi tidak berdaya. Sekaya dan sepintar apa pun dia. Iya, 'kan?"

Biru mengangguk. "Kalau kamu enggak nikah sama aku, mungkin kamu enggak akan melewati masa sesulit itu."

"Tahu dari mana? Nyatanya aku bahagia nikah sama kamu, A. Walau aku sempat menderita, aku enggak nyesel nikah sama kamu. Karena aku nikah sama lelaki yang mau memperjuangkan aku. Ada atau tidak, tetap mencintaiku. Laki-laki yang mau menjaga anakku. Gimana bisa aku menyesal?"

Biru kembali menatap seisi ruangan itu. "Aku enggak akan biarin lagi siapapun bawa kamu dari tanganku." Tangannya meraih tangan Langit dan menggenggam erat. "Aku akan umumkan di depan banyak orang tentang kamu. Biar mereka tahu kamu istri Biru Bamantara. Biar mereka enggak berani nyentuh kamu bahkan secuil pun. Biar mereka tahu betapa kuatnya suami kamu," tambah Biru.

Langit berdiri. Ia melingkarkan lengan di pinggang Biru. "Aa, makasih banyak sudah jadi suamiku, ya? Makasih banyak sudah mau jadi menantu ibuku dan makasih sudah mau jadi ayah dari anakku. Aku sayang kamu."

“Kalau gitu, makasih juga sudah jadi ibu anakku, menantu orang tuaku dan menjadi istriku. Aku bahagia banget milikin kamu di dunia ini. Kamu adalah keputusan paling benar yang pernah aku ambil, masa depan paling cerah yang ingin aku lewati. Dan kamu adalah alasan paling sesuai untukku hidup bahagia.”

Bride Of The Heir 2 (Season 2 Mr Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang