❤️01 Awal Baru

25.2K 3.3K 147
                                    

Note : Hai, sebelum nerusin part-nya mau nulis dulu ah. Sebenarnya kejadian seperti ini tuh banyak di dunia nyata. Maka tertarik untuk menggoreskan nya karena memang sering diajak curhat sahabat terdekat ataupun teman. Semoga menikmati cerita kali ini ya. Kalau enggak suka cerita seperti ini di skip saja. Tidak usah meninggalkan jejak yang membuat penulisnya jadi nggak semangat lagi dalam menuliskan sebuah karya. Karena hati semua orang itu terlalu rapuh untuk disakiti.

Love you all.

******
Lembayung senja di atas sana membuat aku menghela nafas. Segera kututup toko kecil yang memang sudah aku jalani selama hampir 3 tahun ini. Toko yang disewakan Hendra untuk membuat aku lebih bisa menyalurkan keahlian ku menjahit. Di sini, aku bisa menerima jahitan dan juga menjual hasil semua karyaku. Seperti tas kain, dompet dan masih banyak yang lainnya. Hanya saja setelah bercerai dari Hendra, aku sendiri bingung untuk membayar sewa tokonya. Padahal bulan besok sudah jatuh tempo untuk memperpanjang 1 tahun lagi.

Sudah hampir 8 bulan aku akhirnya benar-benar menjadi seorang janda. Pergi dari rumah yang selama 6 tahun ini memberiku perlindungan. Semuanya memang aku jalani dengan ikhlas, mungkin ini memang jalanku. Tapi, Ica, panggilan untuk putri semata wayangku yang kadang membuat aku kesulitan. Dia masih terus rewel dengan ketidak hadirnya sosok ayah. Ica selama ini sudah sangat dekat dengan Hendra.

"Mbak Gendis, saya pamit pulang dulu ya."

Sapaan itu membuat aku menoleh yang baru saja memasukkan semua tas kain yang aku pajang di luar. Maya, satu-satunya karyawan yang membantuku di sini.

"Ya, hati-hati ya May. Maturnuwun udah mau jagain Ica tadi. Dia lagi agak rewel."

Maya menganggukkan "Ndak apa-apa Mbak. Saya seneng kok ama Ica. Lucu."

Aku tersenyum mendengar celetukan Maya. Akhirnya setelah Maya pulang aku segera menghampiri Ica yang meringkuk di atas sofa. Dia tertidur pulas setelah rewel minta es krim. Sejak kami hanya berdua saja, Ica sering meminta hal yang dulu tidak boleh di beli oleh Ayahnya. Termasuk es krim itu.

"Dek Ica, bangun yuk. Bunda udah mau pulang."

Aku mengusap kening Ica yang membuatnya membuka matanya. Wajahnya persis dengan Hendra, sangat persis. Hidungnya yang mancung, kulitnya hang putih bersih, alisnya yang tebal. Kadang aku merasa merindukan sosok itu. Tapi segera aku tepis, karena aku sudah membuat keputusan yang tepat. Aku tidak mau dimadu. Hendra sebenarnya masih membujukku untuk menerima kehadiran Lia. Hanya saja hatiku yang tidak bisa. Aku tidak mau berbagi.

"Bundaaa.... Beli es krim ya?"

Ica kini beranjak bangun dan mengusap matanya yang masih mengantuk itu. Aku mengusap peluh di dahinya dan membenarkan rambut panjang Ica yang berantakan.

"Tadi di sekolah sama Bu guru dibilang apa hayo? Nggak boleh minum es krim kalau Ica masih pilek."

Gadis kecil di depanku kini memberengut. "Bunda udah janji kemarin, kalau nggak bisa ketemu ayah Minggu ini, mau neraktir es krim."

Kadang ingatan Ica memang begitu kuat. Di usia 5 tahun dia juga sudah bisa mengucapkan semua kata dengan jelas. Aku menghela nafas.

"Ya udah nanti beli di toko depan rumah."

Tapi Ica kemudian menggelengkan kepala "Ndak mau, bunda udah janji juga ngajakin main time Zone di mal."

Harus sabar menghadapi Ica yang sedang merajuk begini.

"Bunda masih banyak jahitan sayang. Besok udah harus...."

Suara ketukan di rolling dor membuat aku mengernyit. Padahal tadi aku sudah menutupnya rapat.

Repihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang