❤️2 Disalahkan

21K 3.1K 255
                                    

Sejak semalam, Ica kembali mengalami demam tinggi. Maka aku langsung membawa Icha ke rumah sakit. Karena hanya itu yang aku bisa. Setelah masuk IGD, dan diperiksa, Ica ternyata harus dirawat inap. Mau tak mau aku menghubungi Hendra, karena sejak semalam yang diigaukan Ica hanya nama Hendra. Toh aku tidak bisa menjadi egois, karena Ica memang perlu ayahnya. Bagaimanapun juga hubungan ayah dan anak tidak akan pernah putus.

Suara pintu terbuka membuat aku menoleh dari Ica yang tengah tidur terlelap. Selang infus membuat tangannya tidak bisa bebas bergerak. Sosok Hendra hadir di ambang pintu. Ini memang masih pagi buta saat aku meneleponnya. Tidak peduli dia masih tidur tadi.

"Ica kenapa?"

Hendra melangkah ke arahku. Wajahnya memang masih terlihat mengantuk.

"Ada peradangan di tenggorokannya dan dia demam tinggi."

Aku berusaha tetap tenang menjawab Hendra, meski pertemuan kami berdua ini membuatku canggung. Sudah 8 bulan aku memang memutuskan hubungan dengannya. Tapi Ica masih sering bertemu dengannya tiap Minggu. Kadang Hendra menjemput Ica di sekolahnya dan mengantarkan ke toko setelah diajak makan siang.

Hendra mendekati Ica dan mengusap kepalanya. Lalu menunduk dan mengecup kening Ica.

"Ca, Ayah di sini."

Perlahan bisikan Hendra membuat Ica membuka mata.

"Ayah."

Mata berbinar itu, lalu pelukan Ica ke Hendra membuat hatiku menangis pilu. Apakah aku egois memisahkan ayah dan anak?

"Bundaaa, ada Ayah."

Ica langsung menatapku dan aku menganggukkan kepala.

"Ayah di sini kan? Ica kangen."

Rengekan Ica itu membuat Hendra mengulas senyumnya lalu menganggukkan kepala. Aku lebih baik menyingkir daripada melihat pemandangan ini. Bagaimanapun hatiku belum sekuat yang aku pikirkan.

Aku berpamitan untuk ke kantin. Memesan teh panas mungkin bisa menjernihkan otakku. Biarlah Ica dan Hendra berbagi rasa kangen. Saat aku duduk di kursi dengan teh hangat mengepul dan mengamati kesibukan rumah sakit yang mulai menggeliat, ponselku tiba-tiba berdering.

Sebuah pop up pesan kini terlihat di layar. Nama Abimanyu membuatku teringat dengan dokter muda kemarin yang memeriksa Ica.

Abimanyu : Assalamualaikum. Maaf mengganggu, mbak tokonya buka jam berapa ya? Saya bisa mengantarkannya pagi ini.

Aku membuka pesan itu dan segera membalasnya.

Gendis : Jam 9 Mas. Ada Maya di sana, bilang saja sudah janji dengan saya ya. Nanti dia yang nulis pesanan. Maaf saya ndak bisa ke toko pagi ini.

Aku meletakkan ponsel setelah membalas pesan dari Abimanyu. Lalu menyesap teh hangat yang aku pesan. Tenggorokanku terasa hangat saat cairan manis itu melewatinya. Suara pesan masuk kembali.

Abimanyu : owh baik Mbak, nanti saya ke toko. Ehm bagaimana keadaan Dek Ica?

Gendis : Semalam dia demam. Pagi ini dirawat inap di rumah sakit. Terimakasih ya Pak dokter kemarin sudah memeriksanya.

Aku memang perlu berterimakasih kepada Abimanyu, kalau tidak karena dia mungkin aku hanya menganggap Ica flu biasa saja.

Abimanyu : Owh, di rumah sakit mana mbak?

Aku membalas pesan dari Abimanyu bebarengan dengan telepon dari Hendra masuk yang mengabarkan dokter sedang memeriksa kondisi Ica. Maka segera aku menghabiskan teh hangat ku dan kembali ke kamar.

Repihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang