23 TERTUKAR

12.5K 2.2K 142
                                    


Pria yang tempo hari menolongku itu, ternyata kekasihnya Sinta, Ari namanya. Dan sore ini kami berempat memang membuat janji untuk bertemu, Sinta terkekeh saat aku bercerita kalau Ari tampak seperti pria yang sedang patah hati dan mengajakku curhat saat kami bertemu.

"Mas Ari tuh gitu, orangnya nggak bisa nyembunyiin ekspresinya. Kalau sedang sedih ya gampang ditebak." Sinta mengucapkan hal itu sambil menyesap lemon tea yang dia pesan. Kami berada di sebuah cafe yang ada di dekat alun-alun. Karena Ica memang merengek minta main ke alun-alun sore ini kepada Abimanyu. Sementara para lelaki sedang mengajak Ica bermain, aku dan Sinta duduk dengan manis di kursi yang tersedia.

"Jadi gimana kelanjutannya?" Aku bertanya karena tahu, Sinta juga tetap bersikeras tidak mau dijodohkan dengan Abimanyu. Sinta tersenyum miris lalu menatapku "Mbak, aku tuh malah pingin langsung nikah sama Mas Ari, tapi tahu sendiri Mamaku sama Tante Ani tuh sahabatan banget. Papa juga tidak bisa berbuat banyak, Mama bersikeras aku harus menikah dengan Anyu. Kita kawin lari aja yuk Mbak, kayak di novel historical romance tuh kalau mau nikah gampang ke gretna green." Ucapan Sinta malah membuatku tersenyum, aku tahu dia juga sudah putus asa sama denganku. Karena menggoyah Bu Ani mustahil untuk aku lakukan.

"Aku udah pasrah, Mas Abi memang butuh wanita yang lebih dari aku." Toh aku tidak punya sesuatu yang bisa membuat Abimanyu bangga. Aku hanya seorang janda, yang ditolak sama keluarga mantan suami. Mata Sinta langsung melebar, dia bahkan menggelengkan kepala dan menggenggam jemariku. "Jangan gitu Mbak, jangan nyerah. Aku, Anyu, Mas Ari, butuh Mbak untuk bisa nentang para orang tua. Lagipula, Anyu itu cinta mati sama Mbak. Belum pernah dia kayak gini."

Aku hanya bisa menghela nafas, entahlah aku juga tidak bisa berpikir untuk saat ini. Karena persiapan pernikahan mereka berdua sudah 80 persen. Apakah bisa dibubarkan begitu saja?

"Sinta? Gendhis?"
Suara itu membuat aku dan Sinta seketika menoleh ke arah samping kami. Dan dunia memang hanya selebar daun kelor, Bu Ani tampak sedang menatap kami dengan penasaran.

"Owh Tante,..." Sinta langsung mencium tangan Bu Ani, sedangkan aku juga menyapa dan menyalaminya. Bu Ani tampak antusias saat menarik kursi di depan kami.

"Lagi sama siapa?" Pertanyaan Bu Ani bertepatan dengan kedatangan Abimanyu yang menggendong Ica dan di samping mereka Ari juga mengikuti. Bu Ani langsung sumringah.

"Owh ceritanya kencan nih?" Bu Ani langsung menatap Ari yang kebingungan. Tapi Sinta berbisik di sebelahku "Tante Ani belum pernah ketemu Mas Ari." Aku langsung menatap Abimanyu yang mau tak mau duduk di sebelah Sinta karena Bu Ani yang menyuruhnya.

"Jeng Gendhis, ini calon ayahnya Ica? Wah mending ini daripada si Hendra itu kan?"

Aku terdiam dan mengerjapkan mata saat mendengar pertanyaan Bu Ani. Untung Ica sedang tertidur di pangkuan Abimanyu. Kalau Ica bangun, pasti bocah itu bisa memprotes.

"Bu Ani... tidak seperti yang..."

"Ah, Jeng Gendhis malu-malu. Besok pas nikahnya Abi sama Sinta, kalian datang berdua ya?"

Jawabanku dipotong lagi oleh ucapan Bu Ani dan semua orang yang ada di sini tidak bisa menjawab apapun.

***** 

"Masih bobok ya?"

 Pertanyaan itu membuat aku menoleh ke arah sampingku. Sebenarnya, aku canggung harus pulang berdua dengan Ari. Tapi karena Bu Ani memaksa Abimanyu dan Sinta untuk ikut beliau, otomatis aku dan Ari harus pulang bersama. Abimanyu sempat mengirimkan pesan akan segera ke apartemen kalau ibunya sudah selesai dengannya. Ah kenapa semua menjadi tambah rumit begini?

"Iya, Mas." Aku mengusap rambut Ica. Berada di pangkuanku, Ica tertidur pulas. Ari melajukan mobilnya secara perlahan.

"Jadi itu tadi ibunya Anyu?" Ari tersenyum tipis "Pantas, Anyu dan Sinta nggak bisa berkutik. Orangnya sih ramah, terkesan baik tapi licik."

Aku mengernyitkan kening mendengar ucapan Ari. "Maksudnya?" Kembali aku menoleh ke arahnya. Dia mengulas senyumnya "Bu Ani itu, ciri-ciri seorang ibu yang ingin mendapatkan keinginannya tapi tidak dengan cara kasar. Semuanya dilakukan dengan sangat halus, hanya saja ada sandiwara di sana."

Aku menggelengkan kepala mendengar ucapannya. "Ah nggak mungkin Mas. Bu Ani itu emang baik kok, andai aku bukan mantan istri dari salah satu keluarga besarnya, mungkin Bu Ani akan setuju."

 Ari terdiam saat membelokkan mobil di jalan kaliurang, tapi kemudian dia menoleh ke arahku untuk sesaat sebelum kembali fokus ke jalanan lagi. "Itu karena hatimu terlalu baik dan kamu sangat polos. Kalau dari pandanganku Bu Ani itu licik. Jadi dia nggak mau buat Anyu marah sama dia, makanya caranya halus dan perlahan."

***** 

Menjelang malam, Abimanyu juga belum memberi kabar akan ke sini jam berapa. Ponselnya sepertinya juga tidak aktif karena pesanku juga belum dibaca. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan berbaring di sebelah Ica. Kantuk mulai mendatangiku, dan entah sudah berapa lama aku tertidur saat tiba-tiba ponselku berdering. Aku segera beranjak duduk dan mengambil ponsel yang aku letakkan di atas nakas. Nama Abimanyu tertera di layarnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Dek. Maaf ya, gangguin kamu. Udah tidur? Aku baru aja pulang nih jadi maaf nggak bisa mampir ke situ."

Suara Abimanyu terdengar begitu lelah. Aku menatap jam di atas nakas sudah pukul 12 malam. Darimana dia?

"Mas, sama Ibu dan Sinta?"

"Iya. Ibu minta ini itu dan ngajakin fitting baju pengantin. Huft aku mau melarikan diri juga nggak bisa, Sinta pun sama."

Jantungku langsung berdegup kencang. Fitting baju pengantin? Bukannya tempo hari Bu Ani bilang baju pengantin yang aku jahit untuk Sinta itu merupakan baju pengantinnya? Kenapa mereka fitting baju lagi?

"Ndis, kamu yang sabar ya. Maaf kalau tadi aku nggak bisa membantah Bunda. Kondisi Bunda kemarin drop lagi, jadi maaf ya. Secepatnya aku akan..."

Jantungku makin berdegup kencang, aku jadi teringat ucapan Ari. Apakah benar Bu Ani seperti itu?

BERSAMBUNG

Nabila nangis nih.... yuhuuu segini dulu ya

Repihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang