💓Hati yang terluka

18.5K 2.7K 71
                                    

Sore ini, saat kembali ke apartemen aku menemukan Sinta mengetuk pintu. Ica sedang bercengkerama dengan Abimanyu di ruang tamu saat kedatangan Sinta membuat semuanya menjadi canggung. Wajah Sinta tampak pucat pasi dan sepertinya ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan Abimanyu.

Aku memberi waktu kepada mereka berdua dan membawa Ica ke dalam kamar. Menidurkan Ica yang mengatakan mengantuk. Sampai 30 menit kemudian, aku keluar dari dalam kamar dan mendengar suara Sinta dan Abimanyu.

"Aku nggak bisa Nyu, aku tuh udah cinta sama Mas Ari. Tapi kemarin saat Mas Ari nekat ngelamar aku, Papa malah marah besar. Katanya perjodohan kita sudah tidak bisa dibatalkan lagi."

Jantungku berdegup kencang saat mendengar semua itu. Aku merapat di dinding yang ada di balik ruang tamu. Mencoba untuk mendengar semuanya dengan jelas. Sejak Bu Ani mengisyaratkan aku memang tidak bisa bersanding dengan Abimanyu, aku tahu Sinta dan Abimanyulah yang harus menerima semuanya. Padahal, sepengetahuan Abimanyu, ibunya merestui hubunganku dengannya.

"Nggak mungkin Sin. Kemarin Ibu udah ketemu sama Gendhis kok. Dan ibu setuju."

Aku memejamkan mata mendengar suara Abimanyu. Aku takut dia marah kalau mengetahui yang sebenarnya. Toh Bu Ani tidak mau Abimanyu mengetahui itu semua. Rencananya aku harus mundur secara perlahan. Agar semuanya tidak tersakiti begitu cepat.

"Yang benar? Kok Mama bilang kalau Tante Ani sudah mengatakan kalau Gendhis mau menjauhi kamu. Itu semalam aku yang bilang sama Mama kalau kamu dan Gendhis juga tidak mungkin dipisahkan."

Inilah bom waktu yang akhirnya meledak. Abimanyu pasti merasa tertipu olehku dan ibunya. Aku sebenarnya tidak mau begini, tapi apa yang harus kulakukan kalau hati seorang ibu tidak bisa menerima seorang wanita di sisi anak kandungnya?

"Nggak. Itu nggak mungkin. Kalau iya kenapa Gendhis dan ibu tidak ..."

Aku mendengar lebih seksama, tapi sepertinya Abimanyu tidak meneruskan ucapannya. Lalu terdengar Isak tangis Sinta dan dia memohon agar Abimanyu mau berbicara dengan ibunya untuk menggagalkan perjodohan ini. Aku memilih untuk menyingkir. Tidak baik mendengarkan pembicaraan orang.
****

"Mas..."

Saat akhirnya Sinta berpamitan pulang, Abimanyu hanya diam saja. Aku meletakkan satu gelas susu hangat di atas meja dan duduk di seberang Abimanyu.

"Sampai kapan kamu mau berbohong sama aku Ndis?"
Pertanyaan itu begitu tajam sehingga membuatku terdiam. Dia menatapku dengan penuh penghakiman.

"Mas, aku bisa jelaskan..."

Abimanyu kini menggelengkan kepala dengan kuat.

"Aku sayang sama kamu, aku sayang sama Ica. Tapi sepertinya kamu tidak begitu denganku."

Hatiku teriris mendengar ungkapan Abimanyu itu. Matanya mengisyaratkan luka. Aku tahu, dia merasa dibohongi.

"Mas aku tidak bisa menolak permintaan Ibu. Bagaimanapun juga beliau ibu kandung Mas. Surga ada di telapak kaki Ibu."

Abimanyu masih duduk di tempatnya dan bergeming tapi aku tahu dia sangat marah kepadaku. Merasa terkhianati.

"Dan menurutmu, aku tidak pantas untuk berjuang atau diperjuangkan? Aku tidak menyangka kamu akan berbohong sama aku Ndis? Kapan kamu akan pergi begitu saja meninggalkanku?"

Aku menggelengkan kepala dan tetes air mata membasahi wajahku. Aku tahu ini membuatnya terluka.

"Setelah memberikan harapan palsu kepadaku lalu kamu akan pergi begitu saja?"

"Bukan gitu Mas... Bukan..."

Aku kembali menggelengkan kepala dan terisak keras. Menutup mulut dengan tangan agar tangisku tidak terdengar sampai ke dalam kamar Ica.

Abimanyu menghela nafas lalu beranjak berdiri. Aku pikir dia akan melangkah pergi meninggalkanku. Tapi nyatanya dia malah berjongkok di depanku lalu mengusap wajahku yang basah dengan tangannya.

"Kamu berhak bahagia Ndis. Kamu berhak. Nggak boleh mengalah lagi. Aku yang akan berjuang."

Ucapannya itu membuat hatiku sedikit menghangat tapi aku tahu perjalanan ini masih sangat panjang dan berliku. Sanggupkah aku?

Bersambung

Yuk up untuk buka puasa... Happy reading

Repihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang