matchmaking?

210 33 4
                                    

Aku terbangun dari tidurku karena mendengar suara alarm yang aku setel satu jam sebelum aku berangkat untuk ke kantor. Aku merenggangkan tubuhku dan meraih ponselku yang aku charger semalaman.

Setelah kemarin aku diantar oleh Chenle, ia tak menghubungiku. Mungkin karena lelah, acara semalam cukup membuatku banyak bergerak. Aku tak berhenti untuk berjalan dan memandangi semua lukisan yang dibuat oleh tangan saudara perempuan Chenle.

Aku bangkit dari tempat tidurku dan langsung bersih-bersih bersiap untuk pergi ke kantor. Setelah menyelesaikan ritual pagiku, aku berangkat menuju ke kantor dengan senyuman yang tak luntur dari wajahku.

Aku duduk di mejaku dan tak lupa untuk menyapa Kak Joy yang sudah bertengger manis di mejanya.

"Sarapan Ji," ujar Kak Joy sambil membuka sebungkus rotinya untuk menawariku.

"Iya Kak, makasih," jawabku sambil tersenyum.

Aku melirik jam di atas mejaku yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Artinya jam kantor sudah dimulai, tetapi sedari tadi aku belum melihat kehadiran Chenle. Entahlah, ia juga tak mengirimiku pesan apa-apa. Bahkan jika ia ada kegiatan diluar pasti juga sudah memberitau sekretarisnya kan? Seingatku juga jadwal hari ini dia harusnya stay berada di kantor.

Apa aku harus bertanya pada Kak Joy?

Ah tidak, aku akan menelfonnya saja nanti.

Detik demi detik kini berlalu, aku masih saja setia menatap layar PC ku. Mata yang semalam hanya tidur beberapa jam kini sudah terlalu lelah dan membutuhkan konsumsi kafein. Kafein memang sudah seperti teman bagiku, rasanya jika tak mengonsumsinya barang sehari pun rasanya seperti ada yang kurang.

Aku beranjak dari dudukku dan pergi menuju pantry. Berniat untuk menyeduh kopi agar mataku bisa terjaga. Cangkir berisi kopi yang berada di tanganku mengepulkan asapnya, membuatku memperhatikan setiap asap yang menguar dan sedikit melamun. Memikirkan Chenle yang sampai sekarang belum membaca pesanku atau menelponku sekedar memberitahu keberadaannya saat ini.

Ponsel di dalam saku blazerku bergetar. Segera aku mengambilnya dan berharap pesanku dibalas. Tetapi naas, pesan yang masuk ternyata datang dari Haechan yang mengajak kelompok PKL kami untuk makan diluar kantor sekali-sekali dan mendapat persetujuan dari semuanya.

Lagi-lagi aku menghela napas.

Aku mencoba untuk mengirimi pesan pada Chenle. Bertanya keberadaannya dan tak lupa menyuruhnya untuk menelponku jika ia mempunyai waktu senggang.

Huh, aku merindukanmu Chenle.

🐬🐬🐬

Terhitung sudah 6 hari lamanya Chenle hilang tanpa kabar. Aku sudah mengirim pesan bahkan menelpon sepanjang hari tapi tak pernah ada jawaban darinya.

Sebelumnya aku pikir ia sibuk karena urusan kantornya. Investor-investor yang ingin bekerja sama dengan perusahaan Chenle tak bisa dihitung dengan jari. Tetapi kabar yang aku dengar selama Chenle menghilang dari pandanganku bukanlah itu, melainkan adalah ternyata ia pergi ke negara kelahirannya.

Iya, Shanghai China.

Awalnya mungkin aku mengira ia rindu pada orang tuanya, sebab itulah ia pergi mendadak untuk mengunjungi kedua orang tuanya.

Tapi lagi-lagi kabar yang aku dengar dan tentu saja bukan dari mulut Chenle sendiri. Aku mendengarnya saat karyawan-karyawan di kantornya sedang menggunjing saat makan siang.

Kabar bahwa Chenle akan dijodohkan dan akan tunangan sebentar lagi dengan wanita pilihan orang tuanya.

Aku merasa seperti dihunjam ribuan pisau. Otakku tak bisa berfikir jernih. Bahkan rasanya untuk bernapas saja sulit. Inikah alasan selama beberapa hari Chenle tak bisa aku hubungi?

Zhong ChenleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang