Keadaan Sulit

9.3K 1.6K 184
                                    

New York, akhirnya Davina mendarat di Kota itu. Berniat ingin memberi kejutan, Davina tak memberitahu Divan akan kedatangannya. Ia naik taksi kuning yang menjadi ikon kota itu.

Mata Davina terpaku pada pemandangan di luar sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mata Davina terpaku pada pemandangan di luar sana. Seperti Heren, New York memiliki gedung-gedung tinggi yang membuat langit hampir tak terlihat dari bawah. Pemandangan indah tercipta ketika bayangan pesawat tampak tergambar indah melewati barisan gedung coklat.

Siang yang indah di New York dengan kemacetan dan keramaian orang di luar sana. Banyak pejalan kaki yang memadati area dekat tenda penjual makanan. Musim panas yang hangat di New York karena baru memasuki awal. Lain nanti ketika mulai memasuki puncak yang akan terasa sangat panas hingga berenang di pantai menjadi tujuan utama.

Taksi kuning itu terus melaju sementara Davina masih ngintip ke luar jendela sambil menyandarkan keningnya. "Ternyata hidup bebas menyenangkan. Sekarang aku hanya perlu memikirkan diri sendiri."

Tiba di apartemen tempat Andrew tinggal, Davina lekas turun dari taksi. Papanya pindah dari Cambridge ke New York karena pekerjaan. Selain itu lebih menjanjikan gaji di New York. Davina memang merasa kecewa karena setelah pindah ke Harvard nanti, ia harus tinggal sendiri. Syukur ada asrama.

Gadis itu turun. Apartemen ini memang bukan apartemen mewah. Hanya apartemen biasa yang dikhususkan untuk kaum menengah. Biasanya hanya terdiri dari satu lantai dengan fasilitas lengkap seperti dapur yang menyatu dengan ruang makan, kamar mandi di setiap kamar juga ruang tamu.

Dengan kesulitan, Davina menarik kopernya. Ada dua koper dan ukurannya lumayan besar. Dari alamat yang Andrew berikan, apartemen itu ada di lantai empat. Ia naik dengan lift.

Di apartemen mahal, ada meja resepsionis dan penjaga di pintu. Lain dengan apartemen biasa seperti ini. Biasanya hanya ada satu satpam menunggu di pintu. Hanya hari ini tidak.

Tiba di depan pintu kamar apartemen dengan nomor yang ia catat di buku, Davina menekan bel pintu. Lorongnya tak terlalu besar, hanya terlihat pintu kamar lain dari posisi Davina kini berdiri. Itu juga bukan pintu yang besar. Hanya pintu biasa.

Tak lama terdengar seseorang memutar gagang pintu lalu membukanya. "Davina!" panggil pria di balik pintu itu.

Vina memasang senyuman pada pria yang menurunkan gen padanya itu. Lekas ia diminta masuk. Tak lupa kopernya ia tarik dibantu Andrew agar lebih cepat.

"Kapan kamu datang?" tanya Andrew sambil mereka berjalan masuk ke dalam ruangan.

Di dalamnya tak jauh beda dengan rumah Rhein di Heren. "Baru saja. Dari bandara aku langsung ke sini. Papa apa kabar?"

"Baik. Duduklah!" saran Andrew. Davina mengangguk lekas ia duduk di sofa.

Baru sedetik, tanpa sengaja ia melirik seorang wanita muda di pintu kamar. Itu istri. Bukan, itu teman hidup Papanya. Mereka tak menikah. Pengalaman bercerai membuat Andrew takut menikah, sementara Stephani takut diceraikan lagi. Karena itu, ibunya sangat penurut dan memuja Rhein.

Andrew masuk ke dalam kamar. Ia ingin meminta pasangannya menyambut Davina. Hanya yang terjadi lain.

Gadis itu bisa mendengar pertengkaran mereka dari sini.

"Harusnya kamu meminta izin dariku!" omel Anne.

Di sana Davina sadar kehadirannya tak diinginkan. Dengan posisi serba salah, Davina masih duduk diam di sana.

"Dia tak ada tempat untuk pergi. Dia merasa tersakiti. Lagi pula apa salahnya? Dia putriku, ini rumahku. Nanti juga dia akan asrama di Massachussets. Hanya sementara," pinta Andrew.

"Tidak! Kita sudah sepakat tak ada orang lain di rumah ini. Aku tak mau dia di sini. Minta dia kembali ke ibunya!" tegas Anne.

Tangan Davina bergetar. Matanya terasa panas dan ia ingin menangis. Pertengkaran Papanya dengan Anne masih bertahan lama. Mereka tak menemukan kesepakatan. Anne tetap teguh pada pendiriannya tak ingin menerima Davina di sini.

Sambil menahan tangis, Davina bangkit. Ia dorong ke dua kopernya keluar apartemen itu. "Aku tak boleh menyusahkan orang lain. Sebaiknya aku pergi sebelum hubungan Papa rusak karenaku," pikir Davina.

Ia terus berjalan keluar, menuruni lift lalu melangkah melewati pintu apartemen. Untung ada taksi yang baru menurunkan penumpang. Lekas Davina meminta sopirnya menaikan koper ke bagasi. Kemudian masuk ke dalam taksi itu.

Andrew keluar dari kamar dengan masih berdebat dengan Anne. Ia kaget melihat di ruang tamu, putrinya sudah tak ada. Khawatir, Andrew mengejar keluar. Ia tak menemukan Davina sama sekali.

Sementara putrinya menangis tersedu-sedu di dalam taksi. Davina hanya meminta diantar ke hotel yang murah. Sopir taksi yang mengantarnya terlihat iba.

"Apa anda baik-baik saja?" tanya sopir taksi tua yang Davina naiki.

Davina menggeleng. Ia hapus air matanya dengan punggung tangan. "Orang tuaku bercerai. Dulu ayah tiriku sangat baik. Semakin lama aku sadar ia baik hanya untuk mengambil hati ibuku. Kini ia tak peduli denganku, ibuku juga. Aku pergi dari rumah dan ingin tinggal dengan ayahku, tapi ibu tiriku menolak. Tak ada yang mau menerimaku," cerita Davina dengan air mata yang mengalir dan wajah yang memerah.

Sopir taksi itu menggeleng. Ia sungguh sangat kasihan dengan gadis yang ia antar ke hotel. "Pasti kamu akan mendapat kebahagiaan suatu hari nanti. Kamu anak yang baik."

Davina mengangguk walau ia bingung setelah ini akan ke mana. Waktu kuliah masih berjalan dua bulan lagi.

🌲🌲🌲

🌲🌲🌲

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menikah Karena Sayang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang