Keluarga Divan

9.3K 1.7K 198
                                    

"Ini Davina?" Mama turun ke lantai bawah dan menemukan Divan serta Davina sudah duduk di sana. Ia memeluk Davina sambil mengusap lembut rambut gadis itu. Tercium aroma dari sampo apel yang sering Davina kenakan.

"Iya Kak, aku Davina," jawabnya dengan lugu seperti biasa.

Sejenak baik Mama pun Divan terdiam. Selang beberapa detik mereka tertawa. "Kamu itu lucu, ya? Masa Mamaku kamu panggil Kakak?"

Kini giliran Davina yang merasa bingung. Ia perhatikan dari ujung rambut hingga ujung kaki, sama sekali wanita di depannya tak terlihat seperti Mama Divan. Ia juga merasa sedang dibodohi, tapi kalau sampai benar jelas apa yang Davina lakukan tadi terasa memalukan.

Davina menunduk di depan Mama Divan. "Maaf Tante. Saya benar-benar nggak tahu."

Wajah Mama terlihat merona. Wanita mana yang tak bahagia dipanggil Kakak ketika usianya sudah menginjak kepala empat. Apalagi orang yang mengucapkannya terlihat begitu polos dan lugu.

"Dia mirip Mama, kan? Divan bilang juga apa." Pria itu duduk dengan santai di sofa.

Mama duduk saling berhadapan dengan mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mama duduk saling berhadapan dengan mereka. Meskipun Mama memperlihatkan ekspresi ramah, tetap saja Davina rasanya berdebar tak karuan. Normal, semua wanita akan merasakan hal sama saat pertama kali bertemu dengan calon mertua.

"Davina sudah makan?"

"Sudah Tante, di hotel tadi sarapan. Karena Divan bilang perjalanannya akan sangat jauh dari hotel ke sini," jelas Davina.

Mama mengangkat sebelah alis. "Hotelnya di Midtwon, kan?" Mama melirik Divan dengan heran.

Davina mengangguk. "Ternyata tidak jauh." Gadis itu terkekeh karena ternyata ia dikerjai pacarnya sendiri.

Sedang Divan tertawa puas. Ia melirik Davina sambil memegang perutnya. "Kamu percaya lagi. Padahal aku cuman bercanda, lho."

Sedang Mama mengeluarkan suara decakan dari mulut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sedang Mama mengeluarkan suara decakan dari mulut. "Pasti kamu sengaja biar bisa makan berdua dengan Davina, kan? Padahal Mama dan Divia masak banyak."

Bibir Divan mengatup sambil menatap Mamanya dengan perasaan takut. Ia mendekat ke Davina lalu memegang lengan sweater putih gadis itu. "Maaf, sudah lama aku tak bertemu dengannya. Kupikir Mama juga pernah muda. Kalau kangen dengan Papa pasti aku dititip pada nenek dan kakek." Ia selalu pintar mencari alasan.

Terdengar suara langkah beradu dengan lantai marmer. Seorang gadis cantik turun dari tangga. Ia menghampiri ketiganya. Sempat termenung di sisi sofa, ia memutuskan duduk dekat Davina dengan cara mendorong Divan hingga jatuh dari sofa.

"Hai, aku Dinia. Aku cantik, kan? Aku tahu, tak perlu dibahas. Aku adik Kak Divan. Dia memang tidak aesthetic. Lain denganku. Itu sudah takdir, gen yang sama belum tentu memunculkan hasil yang sama," jelasnya panjang lebar. Akhirnya ia mengulurkan tangan pada Davina.

Jelas Davina langsung menyambutnya dengan senyum merekah di bibir. "Iya, kamu cantik," puji Davina dan memang begitu kesan pertama ia melihat gadis yang mengenakan kupluk biru muda itu.

Dinia duduk bersila di atas sofa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dinia duduk bersila di atas sofa. Sedang Divan berpindah ke sisi ibunya. "Dinia, kamu tahu Kak Divan itu kakakmu, kenapa dia kamu dorong?"

Gigi putih Divia terlihat berbaris. "Dia tak mau pergi soalnya. Lagi pula laki-laki dan perempuan kata Papa jangan dekat-dekat. Pikiran dia bisa kotor nanti."

Mama tak bisa berkilah. Selama ini mereka mengajarkan untuk menjaga diri pada Dinia. Karena itu, semua pria yang mendekati tak ada yang mau memacari. Dinia sangat jaga jarak pada pria seperti truk.

"Kamu mau menikah dengan Kak Divan, ya? Kapan?" Mata bulat gadis itu berkedip-kedip menatap Davina.

Jelas orang yang ditanya kebingungan. Dinia menginterogasi seolah ia yang akan menjadi mertua Davina. "Kubilang sesuatu, kakakku itu galak," bisiknya.

"Tak perlu didengarkan, Davina. Dinia hanya bercanda. Jangan takut dengannya. Sebenarnya dia baik sekali. Bahkan dia tak sabar bertemu denganmu tadi." Mama selalu memperlihatkan wajah yang ramah.

Di sini Davina bingung karena sifat Dinia sangat jauh berbeda dengan Divan maupun Mama. "Aku juga suka Dinia. Aku tak punya teman dekat, jadi sangat senang Dinia mau dekat denganku."

Sedang Dinia terkaget. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Aku juga tak punya teman dekat. Kita bisa bersahabat akrab. Tinggal di sini denganku, ya? Kita bisa saling menghias kuku, bergosip tentang pria tampan sampai memasak dan meracik teh," pinta Dinia.

"Benar. Divan cerita tentang keluargamu. Kamu bisa tinggal sementara dengan kami di sini. Dinia tak punya teman di lingkungan sini. Di sekolah juga dia sangat pemilih. Mungkin kalian bisa bersahabat dekat," saran Mama.

Tak tahu kenapa rasanya Davina lebih diterima di sini. Melihat sikap Mama Divan, ia seperti melihat sosok ibunya yang dulu, jauh sebelum Leo lahir.

Davina meneteskan air mata dan itu membuat Mama pun Davina heran. "Kamu kenapa?" tanya Dinia.

Davina menggeleng sambil mengusap air matanya. "Aku hanya ingat pada ibuku. Dulu dia lembut seperti Tante."

Mama menatap hangat Davina. "Aku paham posisimu. Hingga saat ini, aku juga tak bisa dekat dengan ibu kandungku. Aku tinggal tanpa keluarga dan bersyukur karena keluarga suamiku sangat sayang padaku."

🌲🌲🌲

🌲🌲🌲

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menikah Karena Sayang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang