Telpon

6.3K 1.3K 72
                                    

Tiba di rumah, hal yang menganggu perasaan Davina adalah ingin menelpon keluarganya di Heren. Ia duduk di sisi jendela yang menghadap ke jalan raya di lantai dua. Rumah di Cambridge apalagi yang berada di pusat kota rata-rata tak ada halaman. Bangunan tua bertingkat, tetapi harganya sangat mahal. Tidak heran karena tersedianya ruangan terbuka hijau, orang lebih sering beraktivitas di taman.

Terlihat di bawah masih macet. Kota ini tingkat kemacetannya lumayan. Dipeluk lututnya yang tertekuk. Tiba-tiba terasa dingin menyentuh pipi. Davina melirik ke samping. Divan berdiri di sampingnya menyentuhkan gelas yang dingin karena minuman di dalamnya. Pria itu membuatkan Davina kopi dingin.

"Masih memikirkan sesuatu?" tanya Divan sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan Davina. Dari posisi Divan, Davina duduk lebih tinggi.

"Aku rindu keluargaku. Mereka mulai jarang menelpon. Aku ini terlalu baik, ya? Walau tahu kehadiranku di antara mereka pasti tak diinginkan." Menunduk wajah Davina saat mengatakan hal itu.

Divan mendongak. "Telpon saja. Kadang kita harus menjaga hubungan dengan orang lain walau orang itu tak suka. Paling tidak perlihatkan kita punya maksud baik. Sikap buruk tak harus dibalas dengan buruk. Karena kesalahan ada karmanya sendiri. Kalau bukan dari kehidupan yang jatuh, orang bisa hancur karena penyesalan. Kata Papaku itu."

Kalimat Divan langsung diiyakan Davina. Ia ambil ponsel dan ditelpon ke ponsel kakaknya. "Kamu ke sana dulu. Nanti kedengaran!" usir Davina.

Manyun Divan diperlakukan begitu. Ia bangkit dan berjalan menuju kamar. Lagipula ia sedang membuat desain gambar kaos terbaru. Biarkan saja Davina belajar melawan ketakutannya sendiri. Divan percaya Davina mulai bisa melakukan itu.

Terdengar lama suara telpon belum tersambung hingga akhirnya ia dengar suara Silvina menyambut. "Baik. Kakak apa kabar?" tanya Davina.

"Baik juga. Kamu di sana gimana? Betah? Nggak kangen Mama dan Kakak? Padahal Kakak ingin bertemu kamu. Biasanya juga kamu ada di rumah dan kita bergosip bersama, cat kuku bersama dan ke salon bersama," ucap Silvina lirih.

"Dia pasti kesepian. Dia tak boleh main di luar terlalu lama," pikir Davina. Ia menarik napas. "Aku kangen kalian makanya telpon. Hanya kuliahku di sini sudah dimulai. Aku mulai dapat tugas. Belum lagi sekarang harus menyiapkan segala macamnya sendiri. Kakak tahu tidak, aku sering masak makanan yang sering Mama buat."

Silvina naik ke atas tempat tidur. "Baik-baik di sana, Dek. Kalau ada teman yang nakal, bilang padaku, ya? Jangan diam saja kalau dibully."

"Iya, Kak. Lagipula di sini ada pelindungku, kok. Dia pria yang baik. Dia selalu menemaniku bahkan mengantar ke kampus," ungkap Davina. Tak apa, 'kan? Yang penting ia tak sebut nama pria itu.

Mendengar itu, Silvina sampai terduduk. "Benarkah? Siapa dia?" Terdengar suara Silvina sangat bersemangat mendengar cerita Davina selanjutnya. Justru di sini Davina yang bingung. Ia tak bisa menyebut nama Divan. "Apa dia sekampus denganmu di sana?"

"Iya, dia kakak tingkatku. Namanya Adlhi. Orang baik dan humoris. Kalau aku sedih, ada saja sikapnya yang lucu hingga membuatku tertawa. Sampai aku berhenti menangis. Dia juga pintar dan sering mengajariku kalau ada tugas mata kuliah yang sulit. Pokoknya dia itu sangat-sangat sesuai dengan pria idamanku. Aku senang bertemu dengannya."

"Aku ingin bertemu dengannya," pinta Silvina.

Davina tersenyum. "Aku juga ingin mempertemukan kalian. Hanya keadaannya ...."

"Divan apa kabar?" tanya Silvina membuat Davina tertegun. Ternyata batu sandungan itu belum juga menghilang. "Aku lihat instastorynya. Kelihatannya dia juga di Cambridge. Berarti kalian di sana di kota yang sama, donk?"

Davina sedikit berpikir. "Aku tak tahu, kak. Divan itu alumni. Kami tak sekampus lagi. Memang kakak tak tahu?"

"Ouh, jadi dia walau sudah lulus tinggal di sana?"

"Aku tak tahu. Karena ada pria lain, aku takut kalau dekat Divan.

Silvina cekikikan. "Aku tahu, kamu takut si lucu itu cemburu, 'kan? Apalagi Divan Kenan memang tampan."

Davina mengangguk.

"Sebentar!" Tiba-tiba terdengar suara 'duk' hingga berkali-kali. Lumayan lama hingga Silvina teriak dengan suara yang kencang. "Mama! Davina nelpon! Cepat!" serunya.

"Vina? Kamu lagi di mana ini?" tanya Mama.

"Di rumah, Ma. Lagi santai sesudah kerjain tugas tadi. Mama sedang apa? Apa kabar?" balas Davina. Hampir menetes air matanya mendengar suara ibunya. Bagaimana pun sikap ibunya, ia tetap seorang ibu bagi Davina. Sosok ibu tak akan terganti.

"Baik. Kamu di sana makan jangan telat. Jangan mentang-mentang sibuk lupa makan. Terus kalau dingin, pakai penghangat di kaki. Kamu suka flu kalau kedinginan."

"Iya. Makasih, Ma." Lumayan lama mereka berbincang. Setelah pamitan, Davina menangis. Ia peluk ponsel. "Kenapa baru sekarang Mama bilang begitu? Kenapa nggak dari dulu? Kalau saja sejak dulu Mama perhatian. Mungkin aku tak akan pergi."

Tangis Davina terdengar di ruangan itu, memecah keheningan. "Aku kangen, Mama. Aku juga kangen Papa Andrew. Bisakah kita bersama lagi?"

🌲🌲🌲

🌲🌲🌲

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menikah Karena Sayang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang