Pengertian

11.4K 1.8K 452
                                    

Melangkah dalam kamar lalu menutup pintu, Divan mencoba memberanikan diri. Satu yang harus ia pastikan adalah mengunci pintu. Tak ada yang tahu pasti sampai kapan Divan akan menahan rasa yang alami dimiliki pria sejak kedewasaannya.

Davina masih terbaring. Pengantin baru itu tidur dengan tenang. Satu lagi yang Divan takuti, Davina mungkin akan kaget kalau tahu Divan tidur seperti Dora the explorer. Ia biasa menjelajah seisi tempat tidur hingga Mama sering mengomel akibat sprei kasur Divan tergulung di tengah.

Pria itu naik ke atas tempat tidur dan menutupi tubuh dengan selimut. Ia tidur terlentang, tak berani miring ke kanan karena tahu di sana ada Davina menghadap ke arahnya. "Divan di alam bawah sadar, kamu sudah nikah. Jangan memalukan!" pikirnya.

Jarak mereka cukup jauh, kira-kira dua bantal cukup mengisi kekosongan di antara keduanya. Jantung Divan tetap saja berdebar. Ia tetap saja pria sejati walau masih kekanak-kanakan. Matanya tak kuasa menahan daya tarik untuk memiringkan tubuh. Beberapa kali ia menepuk pipi untuk sadar, matanya tersedot ke sisi kanan.

"Apa salahku? Diandre lagi, kenapa tak sekali saja dia baik hati padaku? Apa dia dendam suka pada Davina malah aku yang menikahi?" Divan terus membatin.

Sesuatu yang terpendam membuatnya menyerah. Sedikit demi sedikit Divan bergeser. Jarak yang lumayan jauh kini tersisa hanya satu jengkal. Dengan saraf di telapak tangan, Divan bisa merasakan halus rambut Davina. Turun ke pipi, leher dan lengan, ia mendapati jiwanya terpanggil. Ia pernah menyentuh wajah Davina. Hanya kali ini lain. Mereka hanya berdua, di ruangan terkunci dan di atas tempat tidur yang sama.

"Istriku kenapa cantik sekali," pikirnya. Tanpa sadar, mungkin sadar hanya dia menepis kesadaran itu. Divan menarik lengan Davina hingga wanita itu terjebak dalam pelukan.

Merasa sesuatu menyentuh dirinya, Davina membuka mata. Kedua bola matanya bertabrakan dengan Divan yang tengah menatap dalam. Keheningan tercipta. Ketika tangannya berada di dada bidang Divan, bisa terasa debaran jantung senada napas begitu cepat memburu.

Tak ada lagi kesabaran. Pertama yang Divan raih adalah bibir. Biasa sentuhan kedua organ itu hanya berupa kecupan, kini menjadi panas hingga bertahan beberapa menit. Divan melepas sentuhan itu. Tangannya seperti terbimbing sendiri harus menuju ke arah mana.

Di sini wajah Davina yang bingung. Ia merasakan getaran ketakutan dalam dirinya. "Apa menikah begini? Aku harus bagaimana?" batinnya terus bergejolak.

Kini ia sama berdebarnya dengan Divan. Apalagi ketika jemari Divan memijiti alpukat di dadanya. Ingin Davina menepis, tapi ia menikmati. Dicampur antara rasa malu, bingung, takut dan suka, Davina hanya diam membiarkan Divan berlaku sendiri.

Lagi, kecupan turun dari kening ke hidung, lalu ke bibir, dagu, leher dan meninggalkan bekas di sana. Divan semakin lupa dengan tujuan awalnya untuk menabung.

Davina dibaringkan dan Divan memposisikan diri di atas tubuh mungil gadis itu. Mereka saling tatap. "I love you," ucapnya lembut.

"Divan mau apa?" tanya Davina polos dengan suara gemetar.

"Aku nggak bisa nunggu. Aku menyerah, karena kamu dan rindu." Satu per satu kancing piyama Davina terbuka oleh tangan Divan. Apa yang ia rasakan melalui sentuhan, kini terlihat jelas oleh mata. Alpukat bulat sempurna bukan hitam apalagi hijau, tapi putih bersih dan memiliki ujung coklat muda. Divan menciumi benda itu.

Davina awalnya mencoba mendorong kepala Divan menjauh. Semakin lama dan semakin menikmati, ia malah melepaskan tangannya dan membiarkan Divan menikmati apa yang selama ini tak pernah tersentuh orang lain.

Hanya ujung bantal tempatnya berpegangan. Melirik ke lantai di sisi, Davina bisa melihat satu per satu pakaiannya berserakan di sana dan menyusul pakaian Divan.

Perih merasuk tat kala gembok dirasuki kunci untuk pertama kali. Sepertinya Divan tak tahu kalau ingin digunakan sebaiknya harus diberi oli. Dia hanya tahu sebatas menunaikan tugas negara untuk memberikan calon pemimpin masa depan yang sehat dan berguna bagi bangsa dan negara.

Davina mendesis perih. Divan mendengar itu. "Sakit?" tanyanya polos tak tahu apa yang dialami wanita ketika pertama kali kerasukan bagian tubuh suaminya.

Dengan yakin Davina mengangguk. "Sakit banget," keluhnya.

"Supaya nggak sakit harus apa?" Dia yang gagal menyentuh hingga ujung terdalam malah bertanya pada orang yang jauh lebih polos darinya.

Jelas hanya gelengan kepala yang Davina berikan. Divan berguling ke sisi. Ia berbaring sambil menatap langit-langit kamar. "Aku nggak mungkin nanya Papa. Malu."

Keduanya hanya diam. Mereka termenung beberapa saat hingga tiba-tiba Divan menguap.

"Divan ngantuk?" tanya Vina.

"Iya. Aku belum sempat tidur nyenyak, Diandre membangunkanku." Dengan telapak tangan, Divan mengucek matanya.

"Tidur saja. Davina juga ngantuk."

Mereka kehabisan ide. Nafsu yang tadi terkembang sudah layu akibat sesat di jalan. "Selamat tidur, Davina," ucap Divan dengan manisnya.

Davina mengangguk. Keduanya sama-sama menutup mata seakan sudah menuntaskan tugas negara, nyatanya baru sekadar bermain di taman.

🌲🌲🌲

Menikah Karena Sayang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang