Kita Tak Bisa ...

7.7K 1.5K 273
                                    

Kita tak bisa merubah jalan pikiran semua orang. Manusia memiliki karakter sendiri yang membuat cara mereka berpikir dan menghadapi masalah berbeda. Anggapan mereka pada sebuah kasus pun berbeda.

"DLH, Davina Luna Hofer, istriku. Anak berusia lima tahun yang pergi ke rumah sakit sendiri dalam keadaan demam. Jika memang dia selama ini mendapatkan kasih sayang, apa bisa kejadian ini terjadi? Pada malam itu ibunya tengah menunggui putri Tuan Rein di rumah sakit. Ia ditinggal sendiri di rumah dalam keadaan demam. Andai kalau saat itu ia meninggal, akankah kalian menghujatnya seperti ini?"

Semua orang yang ada di sana terdiam. Divan memberi jeda untuk membuat mereka berpikir. "Dia menjadi korban bullying di sekolah bertahun-tahun. Tak ada pembelaan dari Tuan Rein dengan alasan orang tua pelaku bullying itu adalah atasannya. Ia memaksa Davina menandatangani surat persetujuan permintaan maaf sehingga kasus itu terulang sampai Davina duduk di semester akhir kuliah. Pelaku tak pernah merasakan efek jera karena setiap ketahuan, Davina dipaksa untuk memaafkan."

Ivy melihat konferensi pers itu dari ponselnya. Ia menggigiti kuku karena sadar posisinya mulai tersudut. Beberapa kali Rein menelponnya dan Ivy tak berani mengangkat.

"Aku tahu kami salah sudah membuat nyawa seorang wanita yang tengah sakit hampir hilang. Namun, Davina juga sakit. Mentalnya sakit selama bertahun-tahun. Tak ada yang peduli padanya selain aku. Jika aku ingin menjadikannya istri untuk melindunginya, apa itu salah?"

Jangan biarkan istriku merasakan lagi rasanya dibenci dan dibully. Dia sudah cukup lama menderita. Aku yakin kalian punya hati. Apa dia tak berhak bahagia karena memiliki kakak tiri yang sakit? Kalau kami berniat jahat, sudah kami ungkap semua ini sejak dulu. Kami menyembunyikan ini karena Davina tahu, ia harus melindungi perasaan kakak tiri dan keluarganya. Atau mungkin kalian masih berpikir kami memanfaatkan wanita yang tengah sakit? Aku bahkan baru bertemu Silvina, tetapi dengan Davina ... kami sudah saling menyukai sejak kami masih kecil."

Kalau kalian masih menganggap istriku salah, biar aku saja yang meminta maaf karena aku yang jatuh cinta dan memintanya menikah denganku. Aku hanya ingin gadis yang kehilangan kasih sayang itu bahagia." Divan berdiri lalu menunduk hormat pada orang-orang yang ada di sana.

Papa yang duduk di salah satu kursi audiens berdiri lalu memberikan tepukan tangan yang keras hingga menular pada yang lainnya. Divan kembali berdiri tegak. Ia tersenyum melihat banyak orang-orang bertepuk tangan untuknya.

Ivy melempar ponsel. Ia semakin resah. "Aku yakin Divan akan balik menyerangku." Tangannya basah dan bergetar hebat. "Kita pulang!" serunya pada sopir pribadi yang bersamanya di tempat parkir hari itu.

Divan turun dari panggung, ia dekati Papanya. "Aku sudah menggertak Ivy. Dia mengaku, tapi tak merasa menyesal sama sekali," ucap Divan.

"Aku sudah berikan bukti percakapan Ivy dengan Rein dan riwayat share video Rein yang semua berasal dari orang-orang Ivy, pada media. Setelah ini semua akan terungkap, posisi mereka akan sulit."

"Tapi, Pa. Apa tak terlalu tega kita melakukan semua itu padanya?"

"Apa dia memikirkan perasaan kalian saat melakukan hal rendah itu? Tidak. Yang kupelajari selama aku hidup di dunia ini, mereka tak akan tobat sebelum permainan berbalik pada diri mereka sendiri."

Salah satu wartawan memberikan hormat pada Papa. Divan yakin wartawan itu yang akan menyebarkan semua bukti. "Aku ingin Davina melakukan pelaporan atas pencemaran  nama baik," pinta Papa.

"Aku yakin dia tak akan mau. Davina seperti Mama. Dia sangat pemaaf dan hatinya sangat halus," tolak Divan.

"Kau sendiri? Namamu ikut tercemar karena ini, 'kan?"

Lagi-lagi Divan menggeleng. "Cukup hukum sosial saja. Tuan Rein harus menjaga putrinya yang sakit. Tetap saja aku pun merasa bersalah akan ini. Semua sudah cukup, Pa."

Sementara Rein mulai ketakutan. Orang yang ia percaya akan membantu ternyata malah sulit dihubungi dan lepas tangan begitu saja. Ponselnya berdering, Rein angkat telpon dari atasannya itu.

"Bagaimana kamu bisa berpikir menyerang pewaris utama keluarga Kenan? Apa kamu lupa, perusahaan ini berada di bawah Kenan Grouph?" bentak atasannya.

"Maaf, Pak. Saya hanya emosi," alasan Rein.

Tentu atasannya itu kesal. "Kamu itu punya otak atau tidak? Aku tak mau tahu, kirimkan surat terbuka pada mereka. Karena perbuatamu, aku terkena teguran dari Direktur. Kamu tahu Tuan Ernesto Kenan murka karena nama baik cucunya kamu rusak?"

"Maaf, Pak."

"Kirimkan surat terbuka. Jika tidak, keluar dari perusahaan ini dan jangan kembali!"

Telpon langsung ditutup. Rein memijiti kening. Harusnya ia sadar siapa Divan Kenan, yang ia lawan sejak awal. Ditatapnya nanar ke arah pintu ruang ICU. Silvina masih belum sadar dan dia sendirian menghadapi semua ini.

Ia mencoba menelpon kembali Ivy dan yang terjadi tetap sama, wanita itu tak mengangkat telponnya.

"Kamu puas melakukan semua ini, 'kan?"

Rein berbalik melihat seseorang yang berbicara dengannya. Ia temukan Stephani di sana.

"Leo benar, kenapa aku harus mau bergantung padamu. Dia juga benar, selama ini aku diperlakukan sebagai pengasuh putrimu, bukan istrimu. Kenapa aku harus menerima putrimu, sedang kau tak mau menerima putriku? Ini tak adil bahkan sejak awal!" Stephani melipat tangan di depan dada.

"Stephani," panggil Rein berusaha meraih lengan istrinya.

"Tidak!" Stephani menepis tangan Rein. "Sudah cukup kaumenyakiti putriku. Aku ingin akhiri penderitaannya. Kamu mungkin ayah Silvina, tapi aku ini ibunya Davina! Lebih baik kita berpisah. Aku sudah ajukan permohonan gugatan cerai," tegas Stephani.

🌲🌲🌲

🌲🌲🌲

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menikah Karena Sayang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang