Kata Papa

6.5K 1.4K 90
                                    

"Dengar, kita pernah melewati masa sulit. Kita bisa lewati semuanya. Belajar dari itu Divan, setiap jalan pasti ada risiko." Papa berbicara lewat telpon.

Davina pulang sambil menangis. Ia mengadu kalau pipinya ditampar ibunya sendiri. Sebagai suami tentu Divan tak terima. Apalagi Davina tengah mengandung dan stress akan mengakibatkan hal buruk bagi bayi mereka.

Akhirnya Divan putuskan menghubungi Papanya. Ia pikir masalah ini semakin rumit akibat dia mengungkap status di depan Silvina. "Jadi, apa yang harus pertama kali Divan lakukan?"

"Ungkap statusmu tanpa mengungkap wanita itu Davina," saran Papa.

Divan terdiam. Ia masih belum mencerna kalimat Papanya. Tak lama Divan menjentik jari. "Aku post foto Davina tanpa memperlihatkan wajahnya?"

"Benar. Lakukan itu sampai mereka menerima statusmu, baru ungkap semuanya. Ini akan berat, banyak yang akan menghujat. Dengan begitu, sebaiknya tutup akses ke publik. Diam di rumah sampai semua terkendali. Biar Papa yang mengawasi. Aku yakin kamu terbiasa. Waktu kamu kecil, keluarga kita pernah terisolasi karena kamu terungkap ke media."

Divan mengingat itu walau hanya samar-samar. Ingat masa kecilnya yang penuh dengan penderitaan mengalami trauma hingga tersimpan dalam memori. "Kalau Papa dan Mama bisa, Divan juga. Aku anak kalian, 'kan?"

"Jaga istrimu baik-baik. Kita tak bisa membuat semua orang suka pada kita. Malah kadang banyak yang membenci, banyak yang mengatai. Mereka tahu apa? Yang mereka lihat hanya sebatas foto dan layar tontonan, benar?" Papa selalu bijak dalam menilai sesuatu.

"Aku bangga padamu, Pa. Aku tak pernah menyesal jadi anakmu. Walau orang banyak yang bilang minta aku ganti Papa, aku tak peduli. Mereka belum tentu punya Papa seperti dirimu."

Sambungan telpon itu ditutup. Divan melirik Davina yang sudah tidur lelap. Ia bangkit dan naik ke atas tempat tidur. Diusapnya rambut Davina dengan penuh kasih sayang. "Kita pasti bisa melewati ini semua. Sebentar lagi semua akan jadi sempurna. Ada aku, kamu dan anak kita."

Pagi kembali menyapa. Ketika matahari mulai menyentuh kaca jendel dengan sinarnya. Davina bangun dalam pelukan Divan. Tangan mengucek mata. Ia mulai bangkit dan turun dari tempat tidur.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Davina membangunkan Divan. Lelah bergadang membuat suaminya sering bangun kesiangan. Mama mertuanya bilang, sudah bakat turun dari Papa mertua. Namanya anak dan ayah tentu seperti dua kertas yang diprint gambar yang sama di atasnya. Walau cetakan kedua belum tentu akan sama persis seperti cetakan pertama.

"Mau makan apa?" tanya Davina.

"Ayam," jawab Divan.

Davina tertawa. Divan memang tak pernah aneh-aneh soal makan, yang penting ayam dengan berbagai cara memasak. Jangan tanyakan bagaimana bahasa ayam di Cambridge. Suara mereka tetap sama, tidak pakai Bahasa Inggris.

Di kulkas dapur, ayam selalu tersedia dari ayam potong sampai tanpa tulang. Davina akan memasak dengan cara dimarinasi dan digoreng kering. Ditambah kentang goreng, sangat cocok untuk sarapan penuh lemak. Lagipula, Davina pasti akan makan sereal juga.

"Wangi banget ayamnya," puji Divan.

"Aku kasih saffron dan dill. Habis setelah hamil aku nggak kuat dengan bau amis. Kamu setiap hari mana makannya harus ada ayam." Davina mengangkat ayam yang sudah ia goreng dan lekas disimpan di atas piring. Tak lupa dia suguhkan dengan kentang goreng.

"Semuanya digoreng?" tanya Divan.

"Mumpung belum tua, jadi nggak takut sama kolesterol," celetuk Davina sambil tertawa. Divan manyun. "Iyakan, kalau tua sedikit saja pasti yang begini nggak berani makan."

Kali ini Divan setuju dan langsung memakan makanannya. "Kita pulang ke New York minggu depan. Aku sudah beli apartemen. Sebenarnya belum lunas. Itu milik Papa, anggap saja warisan dibayar di awal," ungkap Divan.

Davina terdiam. "Kuliahku?"

"Cuti dulu. Kita akan melewati masa sulit dan aku harap kamu jangan sampai stress. Biar saja aku yang pikirkan. Kamu fokus jaga kesehatan dan istirahat. Setelah anak kita lahir, kita kembali ke sini. Aku harap saat itu semua orang sudah menerima kita."

Davina mengangguk. "Sebagai istri tentu aku ikut keputusanmu. Sekarang aku nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu dan keluargamu. Mama juga sudah memperingatkan aku untuk menjauhi Kak Silvi. Lebih baik memang seperti itu. Aku dan dia jangan sampai bersinggungan." Davina duduk di kursi.

Keduanya lekas sarapan. Beberapa kali Davina mencoba mengatur napas. Ia lebih tenang kalau bersama Divan di rumah. "Percaya nggak, sejak sama kamu aku rasanya selalu bahagia. Aku nggak peduli Mama mau menamparku berapa kali pun."

"Mana bisa aku biarkan."

Selesai sarapan, mereka cuci piring bersama. Layaknya pasangan suami istri mereka kadang bertengkar, kadang akur. Pernikahan tak selalu indah. Hanya karena rasa sayang, mereka selalu kembali bersama.

"Pakai jaketnya," nasihat Divan sambil mengasongkan jaket pada istrinya.

"Maaf, aku tak sabar periksa kehamilanku. Aku ingin lihat anak kita di layar USG," timpal Davina yang sudah siap tangannya untuk membuka pintu rumah.

🌲🌲🌲

🌲🌲🌲

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menikah Karena Sayang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang