Ingin Jujur

6.3K 1.4K 185
                                    

"Vina!" seru Stephani begitu Davina membuka pintu rumah. Ia sengaja hanya meminta Mamanya yang datang ke rumah. Hari ini dia berusaha untuk jujur akan keadaan. Mungkin dulu ia memprioritaskan Silvina. Hanya sekarang ada nyawa kecil dalam perutnya yang harus diberi pengakuan seluruh dunia.

Stephani melihat-lihat sekeliling ruang tamu Davina. Memang terlihat kecil jika dilihat dari luar, ternyata di dalamnya begitu besar dan mewah. "Kamu sewa rumah sebesar ini apa nggak habis uang? Barang-barangnya saja mahal, Davina." Sambil duduk di sofa, ia masih memperhatikan ke sekitar. Begitu tersentuh kain sofa begitu halus dan busanya empuk.

"Davina nggak sewa, ini rumah Vina sendiri," jawab Davina sambil menunduk.

Tentu Mamanya heran. "Andrew punya uang dari mana membelikan kamu rumah sebesar ini. Kamu tahu sendiri Papamu pekerjaannya apa, 'kan?"

Davina menatap Mamanya. "Tak perlu harus menilai Papa seperti itu. Memang kalau Papa hanya pegawai biasa kenapa? Dia sudah berusaha mencari nafkah."

Stephani diam. Ia tak menyangka akan diserang oleh anaknya. Biasa Davina yang penurut, sekarang terasa berubah. "Kamu biasanya nggak membantah ucapan Mama."

"Karena Davina sudah lelah. Karena itu aku pergi dari rumah ke sini. Satu lagi, aku minta maaf untuk ini. Hanya saja, ini rumah suamiku. Aku sudah menikah hampir setahun ini. Maaf aku tak bilang pada Mama. Ada latar suamiku yang membuat kami harus diam-diam melakukan ini," jelas Davina hingga membuat ia menjadi pusat perhatian Stephani.

Stephani terdiam beberapa saat. Ia berusaha menahan diri untuk tidak emosi. Hanya saja, ibu mana yang tidak kecewa mendengar ia tak diundang ke pernikahan anaknya sendiri. "Mama ini yang melahirkanmu. Mama yang membesarkanmu. Bagaimana bisa kamu menikah tanpa memberitahu Mama?"

"Mama memang melahirkanku, membesarkanku, tetapi anak Mama itu Kak Silvi dan Leo. Aku bukan. Aku akan tanyakan lagi pada Mama, apa pernah sekali saja Mama tanyakan bagaimana perasaanku? Kalau kalian memberikan hadiah untuk Kak Silvi dan Leo, tapi aku dilupakan. Aku sering rayakan ulang tahunku sendiri. Sedang kalau mereka yang ulang tahun, pasti akan kalian rayakan bersama dan sering tanpa aku. Apa Mama sadar, Papa Rein menerima Mama di sana, tapi aku tidak."

"Kamu bisa sebesar ini karena Papa tirimu yang membiayaimu," tegas Stephani tak mau kalah.

"Aku memang numpang makan dan tinggal padanya. Hanya orang yang memberi aku keperluan dan biaya sekolah masih Papaku. Apa Mama lupa itu?" tegur Davina. Hari ini dia ingin ungkap semuanya. Perasaan, pikirannnya. Paling tidak ia ingin Mamanya sadar bahwa Davina pun butuh perhatian layaknya seorang anak.

Kali ini Stephani diam. Ia tak bisa berkilah. "Tetap saja, aku harus tahu pernikahanmu." Kali ini suaranya lemah. Ia seperti terkena hantaman kuat dan masih berusaha bertahan.

"Karena pasti Mama melarang. Karena pasti Mama lebih memilih Papa Rein daripada Davina. Mama berusaha mempertahankan pernikahan dibandingkan Davina. Karena itu, Davina juga akan melakukan hal yang sama, Davina akan mempertahankan perasaan ini." Semakin tegas Davina saat bicara. Ia langsung menghantam ke bagian yang penting. Tentu, ia harus membela posisinya. Dia manusia, bahkan kucing pun bisa melawan.

"Apa hubungannya pernikahanmu dengan Papa Rein? Kenapa pilihanmu ini akan berdampak pada pernikahan Mama?" Pikiran Stephani sudah begitu keras ia gunakan untuk memahami ucapan putrinya.

Davina menutup mata beberapa saat. Ia kumpulkan tambahan keberanian dari semesta. "Karena suamiku Divan Kenan, laki-laki yang diinginkan Kak Silvi," ungkap Davina membuat Mamanya terbelalak.

Kini mulut Stephani terbuka saking kagetnya. Ia masih ingat bagaimana putri tirinya sering menyebut nama pria itu. Bahkan begitu senang Silvina saat Divan datang ke rumah. "Kamu tahu kakakmu sakit. Kamu tahu Kakakmu suka padanya, kenapa kamu bisa setega ini?" tanya Stephani dengan suara tinggi.

"Kalau aku tega, aku sudah ungkap pernikahanku. Aku tak akan menyembunyikan ini!" Davina ikut meninggikan suara.

"Akhirnya kau tega juga menikahi pria yang disukai Silvina. Pria itu harapan Silvina."

"Benarkan, Mama akan lebih memilih mereka daripada aku. Kenapa aku harus selalu mengalah. Saat aku dan Kak Silvi sakit, aku tak mengeluh walau Mama lebih memilih menungguinya. Mungkin Mama takut Kak Silvi kenapa-napa. Hanya Mama juga jangan lupa, karena depresi aku rasanya ingin mati saja. Mama takut Kak Silvi meninggal karena penyakitnya, tapi tak takut aku meninggal karena terlalu lama menahan kesedihan." Mata Davina mulai basah. Ia lega bisa mengungkap perasaannya.

"Aku lebih dulu bertemu Divan. Aku lebih dulu jatuh cinta padanya. Divan memilihku. Kenapa aku harus menyerah? Hanya ini satu-satunya kebahagiaan yang bisa aku dapatkan." Air mata Davina mengalir.

Stephani menarik napas. Ia hanya tak tahu karena Davina tak pernah berkata apapun selama ini. Ternyata dia sudah menorehkan terlalu dalam luka hingga Davina mati rasa. "Kalau begitu tetap diam. Jangan sampai Kakakmu tahu. Paling tidak sampai dia tiada. Aku akan buat alasan untuk membawa Silvi pulang ke Heren."

🌲🌲🌲

🌲🌲🌲

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menikah Karena Sayang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang