Aku anak siapa?

8.8K 1.7K 297
                                    

Sebelumnya mau ngiklan dulu. Ikut baca sepasang sepatu juga yuk. Caranya klik foto profil elara terus cari novelnya. Tinggal geser saja.

🌲🌲🌲

"Seorang wanita ditemukan tak bernyawa di rumah kediamannya. Diduga korban dibunuh oleh orang tak dikenal." Suara reporter di televisi membuat Davina merinding.

Saat itu mereka sedang menonton televisi bersama. Silvina datang membawa semangkuk besar popcorn. "Karena aku nggak bisa makan ini, jadi kalian yang makan." Mangkuk itu ia simpan di depan Davina dan Leo yang sedang duduk di karpet.

Leo mengambil mangkuk itu dan menyimpan di pangkuannya. Davina hanya melirik lalu kembali melihat ke arah televisi. Berita di televisi belakangan terdengar menakutkan, apalagi tentang kejahatan.

"Sil, kamu tengok di belakang sofa," pancing Rhein.

Silvina mengangguk. Ia memutar ke belakang sofa yang diduduki orang tuanya. Di belakang sofa itu ada ruang disekat tempat rak buku. Ketika melewati sekat, Silvina tertegun melihat dua kotak kado.

"Apa ini, Pa?" tanya Silvina dengan suara keras saking senangnya.

"Bawa ke sini!"

Silvina mengambil kedua kotaknya. Salah satu berwarna biru dan satunya merah muda. "Ini buat Silvi?" tanya Silvina.

Rhein dan Stephani mengangguk. Silvina yang senang lekas mencium pipi Stephani dan Rhein. "Aku buka, ya?"

"Jangan lupa yang biru punya Leo." Rhein mengambil kado biru dan memberikannya pada putra keduanya itu. Leo lekas menyimpan mangkuk popcornnya dan naik ke sofa.

Davina hanya melihat itu sekilas. Ia tak banyak bicara. Sebisa mungkin ia harus terpaku hanya pada televisi. Mendengar pembicaraan keluarga itu hanya membuat hatinya sakit.

Silvina membuka kotak kado. Ia terkejut melihat sebuah gaun di dalamnya. Gaun itu ia angkat ke udara untuk melihatnya lebih jelas.

"Bagus banget ini, Pa!" puji Silvina. Gaun putih dengan renda cantik di pinggang juga roknya.

"Katanya kamu ada acara reuni SMA. Papa mau kamu terlihat jadi tamu paling cantik."

Tak henti Silvina tersenyum. Leo tak mau kalah. Dalam kadonya ada sepatu sepak bola. "Keren banget ini, Pa. Pokoknya aku suka," puji Leo.

Hanya Davina yang diam menatap layar televisi. Matanya terasa hangat dan perih. Sesekali ia kucek mata kemudian mengambil sebuah popcorn dan memakannya.

Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Ada email masuk. Gadis itu membukanya dan tertegun. Beberapa kali ia membacanya isi email itu sama. Davina berseru
Ia berdiri sambil melompat senang.

"Kenapa kamu, Vin?" tanya Stephani.

Davina mengatur napasnya. "Aku diterima, Ma. Kuliah S2 di Harvard dan ini biayanya gratis hanya biaya hidup saja," jawab Davina sambil tersenyum senang.

Silvina meremas gaunnya. "Padahal aku juga mau kuliah di sana," keluh Silvina. Ia terlihat sangat sedih. "Aku mau kuliah di tempat yang sama dengan Divan Kenan."

Di sana Davina terdiam. Ia sama sekali tak berniat menyakiti kakaknya. Ia hanya bahagia, itu saja.

"Kamu tahu sendiri kondisi kesehatanmu bagaimana. Di sini kami bisa terus mengawasi kamu. Sedang di sana kalau ada apa-apa, siapa yang akan bantu?"

Silvina mengangguk walau ekspresinya tetap saja tak berubah. "Aku tahu, Ma. Aku minta maaf," ucapnya lirih.

"Vina juga! Kenapa kamu nggak bisa tahan diri, sih? Harusnya kamu bisa jaga perasaan kakakmu," omel Stephani.

Silvina memegang tangan Stephani. "Aku nggak apa-apa, Ma. Wajar kalau Davina senang. Dia susah payah mendapatkan beasiswa itu."

"Hanya bukan dengan cara menyakiti saudara sendiri, kan? Papa pikir kamu sudah cukup dewasa untuk menyadari apa yang sensitif dan tidak di rumah ini." Rhein ikut mengomeli.

"Maaf," ucap Davina. Tak ingin menambah keruh suasana, ia pergi dari ruangan itu ke kamar.

Sampai di ruangan itu, ia tatap foto wisudanya yang tergantung di dinding dekat meja belajar. Hanya ada dia sendiri di sana. Rhein hari itu menghadiri rapat penting dan Stephani pergi ke sekolah Leo. Air mata Davina mengalir. Ia tarik napas dalam dan mengembuskannya.

Kemudian Davina membuka kontak dan menelpon papa kandunganya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kemudian Davina membuka kontak dan menelpon papa kandunganya. "Halo! Pa, Davina mau ke Papa. Davina nggak mau di sini. Nggak ada yang sayang pada Vina di sini," adunya.

Mendengar kalimat itu, Andrew tak bisa menolak. Walau ini bukan pertama kalinya Davina mengatakan hal itu. "Kapan mau ke sini? Jangan sampai seperti kemarin-kemarin. Papa sudah belikan tiket dan kamu tak jadi pergi. Kamu sudah dewasa, bisa pergi ke mana pun kamu mau. Untuk apa bergantung pada orang lain," nasehat Andrew.

Davina mengusap air matanya. "Aku melanjutkan S2 di Cambridge, Pa. Aku asrama di sana. Sementara sebelum pergi, aku boleh tinggal di rumah papa dulu?"

"Kapan kamu mau ke sini? Aku urus semua persiapannya," tegas Andrew.

"Secepatnya, tolong," pinta Davina.

Tak lama setelah perbincangan itu, Davina berjalan ke tempat tidur. Ia peluk bantal lalu menangis sesegukan. Hatinya sangat sakit.

"Kenapa harus aku terus yang menjaga hati orang lain? Sementara mereka tak mengerti perasaanku. Apa aku juga bukan anak di rumah ini? Kenapa selalu Silvina dan Leo yang mendapat hadiah," keluhnya.

Davina menatap layar ponsel dan melihat emailnya lagi. "Aku juga bisa mencari kebahagiaanku sendiri. Aku akan susul Divan ke sana. Aku akan perjuangkan apa yang harusnya jadi milikku."

🌲🌲🌲

🌲🌲🌲

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menikah Karena Sayang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang