Ayah dan Ibu muda

8K 1.5K 143
                                    

MENUJU EPISODE-EPISODE AKHIR. MAAF YA AKU FOKUS TAMATIN DIVAN DULU KARENA HANYA TINGGAL 2 EPISODE LAGI. MENURUTKU, KONFLIKNYA SUDAH MULAI MENURUN. KARENA KESEHATANKU SEDANG TERGANGGU JADI AKU NGGAK BISA UP BANYAK.

🌲🌲🌲

"Itu nama yang diberikan Kak Silvina. Setuju?" tanya Davina saat dia dan Divan tengah duduk berdua di balkon. Ia ingin merasakam oksigen segar dari balkon kamar yang menghadap ke taman.

"Pakai saja. Lagian aku ingin nangis gara-gara mikirin nama anak kita. Setelah kamu hamil, aku rasanya kayak mudah banget sakit hati dan depresi. Kata Mama, dulu Papa juga begitu."

Davina mengangguk-angguk. "Aku baca artikel tentang suami yang mengidam begitu istri hamil. Untung kamu nggak sampai ingin nyemil sereal coklat setiap jam, 'kan? Urusan makanan aku yang rasakan. Kamu tahu sendiri aku nggak suka makan jeruk. Sekarang aku ingin makan jeruk terus," Davina balas mengeluh.

Divan nyengir kuda. Ia berdiri dari kursi lalu berlutut di depan Davina sambil menempelkan telinga ke perut istrinya yang semakin membesar. "Anakku hari ini sedang apa? Lagi belajar pakai make up?"

Terasa di pipi Divan ada sesuatu yang bergerak. "Ini yang gerak anak kita atau perut kamu lagi lapar?" canda Divan.

"Keduanya. Aku lapar dan dia lapar. Makanya gerak bersamaan," jawab Davina sambil tertawa.

Keduanya berjalan ke dapur. Davina duduk di kursi meja dapur. Ia usap perut sambil memperhatikan suaminya yang hendak memasakan sesuatu. Begitu usia kandungan Davina menginjak bulan ke tujuh, Divan langsung memasang peraturan bahwa ia yang akan memasak dan membereskan tempat tidur. Sisanya menjadi urusan pelayan.

"Keadaan Kak Silvi semakin membaik?" tanya Divan memulai obrolan lagi.

Davina mengangguk. "Papa juga membiarkan aku sering-sering menjenguk. Kemungkinan sebentar lagi Kak Silvi boleh pulang dari rumah sakit."

"Dia tahu tentang Mama?"

Di sana Davina terdiam. Ia langsung menggeleng. "Ia menanyakan Mama padaku. Aku tebak Papa tak memberitahunya. Kak Silvina menganggap Mama seperti ibu kandungnya. Pasti dia akan sangat terpukul kalau sampai tahu."

"Kamu yakinkan Mama saja untuk rujuk. Kasihan juga Leo. Kondisi psikologisnya bisa terganggu," nasihat Divan.

Dengan yakin Davina mengangguk. Malam itu setelah makan ia menelpon Mamanya untuk menanyakan kabar.

"Mama tahu Kak Silvi sudah sadar?" tanya Davina memancing reaksi Mamanya.

"Kenapa memang? Bagus kalau begitu. Aku berdoa semoga ia lekas sembuh," timpal Stephani.

Davina menelan ludah. Ia garuk keningnya. "Mama nggak kangen Kakak? Dulu Mama sangat sayang padanya dan menjaganya. Dia juga rindu Mama. Dia menanyakan Mama."

"Itu kesalahan yang tak ingin aku ulang, Davina. Sekarang aku ingin fokus pada hidupku dan kamu. Leo juga."

"Mama tahu tidak. Waktu Mama dan Papa bercerai, aku selalu menginginkan kalian kembali lagi. Aku ingin orang tuaku lengkap seperti orang lain. Kini setelah aku menikah dan punya Divan, aku sadar akan perasaan Mama tak ingin kehilangan Papa Rein. Suami juga keluarga. Aku juga sekarang lebih banyak waktu dengan suamiku."

"Lalu?"

"Kalau nanti Leo menikah dan sibuk dengan istrinya, Mama dengan siapa?" Pertanyaan Davina itu menohok batin Stephani. "Dulu aku tak memikirkan itu. Kini setelah aku jauh dari Mama, aku baru sadar. Leo juga pasti sepertiku. Ia ingin Papa dan Mama selalu bersama."

Stephani terdiam. "Suami kamu menganggapmu sebagai istri. Tapi Rein menganggapku pengasuh anaknya."

"Tentu, karena suami tahu orang yang paling bisa menjaga anak-anaknya adalah istrinya sendiri."

Stephani tersenyum. "Kamu terlalu banyak berpetualang sendiri hingga menjadi bijak seperti ini. Kebijakan yang bahkan Mama tak miliki."

"Hmm ... Aku akan senang kalau Mama kembali pada Papa Rein. Papa Andrew juga sudah bahagia dengan pasangannya. Aku tahu selama ini aku kurang kasih sayang kalian, tetapi Tuhan sudah menggantinya dengan Divan."

Hidup memberi kita banyak pelajaran. Davina mungkin orang yang lemah. Dia  terlalu baik. Justru orang yang pemaaf itu jauh lebih kuat, 'kan? Karena ia lebih bisa menerima kenyataan yang terjadi dalam hidupnya.

"Mama akan datang ke Cambridge dan bertemu Kak Silvi, 'kan?" tanya Davina lagi.

Stephani menatap salju yang turun di langit heren. Ia mendongak dan melihat butiran putih itu turun dari langit yang gelap. "Iya. Sekalian Mama juga akan menunggu cucu Mama lahir."

Davina tersenyum. Setelah berpamitan, Davina menutup telpon dan menyimpan HP di atas nakas. Ia duduk di sisi tempat tidur.

"Bagaimana?" tanya Divan.

"Katanya, iya," jawab Davina dengan wajah ceria.

Divan yang setengah terbaring di atas tempat membelai rambut istrinya. "Kamu anak yang berbakti. Aku yakin anak kita nanti akan jadi anak yang baik."

Dengan yakin Davina mengangguk. "Aku malah ingin anakku kayak kamu."

"Kenapa?"

"Karena kamu jauh lebih baik dari aku. Kamu kuat, jujur, penyayang, peduli dengan orang lain. Satu lagi! Kamu pintar. Buktinya kamu sudah lulus S2 lebih dulu dari aku."

"Kayak kamu juga nggak apa-apa. Papa bilang kepintaran itu bukan dinilai dengan siapa yang paling duluan lulus sekolah, tetapi siapa yang lebih dulu berhasil melewati ujian kehidupan. Menurutku, aku masih begini saja. Sedang kamu sudah banyak berubah. Pernah nggak becermin dan tanyakan pada diri kamu yang dulu? Tanyakan, jika itu Davina yang dulu, apa dia akan izinkan ibunya terbagi dengan orang lain?"

Davina terdiam. Ia mengedip-ngedipkan mata. Tak lama ia tersenyum. "Aku ingin bilang pada Davina yang dulu. Hey! Jangan banyak menangis, semua akan baik-baik saja karena kamu anak yang kuat."

🌲🌲🌲

🌲🌲🌲

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Menikah Karena Sayang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang