Maaf

7.5K 1.4K 132
                                    

Rein tiba di Cambridge setelah mendengar kabar Silvina mulai melakukan gerakan ringan di tangan dan kaki pun kelopak mata. Ia langsung menuju rumah sakit tempat putrinya dirawat. Senyumnya terkembang walau dalam hati ia masih berat meninggalkan Stephani di Heren.

Rein duduk di samping Silvina sambil memegang tangan putrinya. Ia menunggu keajaiban itu yang sering ia dengar dari perawat dan dokter. Awalnya Rein kecewa karena Silvina masih diam. Hanya terdengar bunyi dari peralatan monitoring.

Hendak bangkit untuk membawa minum, Rein merasakan tangannya ditahan Silvina. "Sil!" panggil Rein pelan.

Perlahan-lahan mata Silvina terbuka. Terdengar suara napasnya yang berat. Ia melirik ke arah Rein. "Papa," ucapnya pelan dan serak.

Lekas Rein memanggil suster untuk datang ke ruangan. Dari susterlah, panggilan langsung diteruskan ke dokter.

Rein menatap putrinya yang tengah diperiksa dokter. Mata Silvina bergerak-gerak. Tak lama dokter menyebutkan bahwa kondisi Silvina membaik, meski masih membutuhkan pengawasan.

"Mama?" tanya Silvina.

"Mama di Heren. Di sini 'kan nggak boleh banyak orang yang menunggu. Nanti Papa telpon supaya Mama ke sini," dusta Rein.

"Vina?" tanya Silvina lagi.

"Davina juga sama. Hanya boleh Papa yang menunggumu di sini. Nanti kalau kamu sudah lebih sehat, mereka boleh ke rumah sakit semua," jelas Rein.

Hari demi hari Rein hanya bisa berdusta pada putrinya. Silvina semakin membaik, bahkan mulai bisa makan. Rein duduk memperhatikan putrinya yang makan dengan lahap. Ia takut putrinya tahu keadaan keluarga mereka sekarang.

"Kenapa Mama, Leo dan Vina belum datang?" tanyanya.

"Kan tidak boleh banyak orang menjenguk. Aturannya begitu."

"Papa bisa pulang dulu dan minta yang lain gantikan, 'kan? Aku juga kangen dengan yang lain," pintanya.

Akhirnya Rein terpaksa menelpon Davina. Ia meminta agar putri tirinya datang menjenguk Silvina. Syukur Davina menyanggupi. Kebetulan Davina baru selesai memeriksakan kandungannya.

Perlahan Davina membuka pintu ruangan tempat Silvina dirawat. Rein sudah meninggalkan ruangan dan menunggu di ruang tunggu. Silvina tersenyum ke arahnya. Tentu, Davina balas senyuman itu sambil masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu.

"Kakak apa kabar?" tanya Davina.

"Baik," jawab Silvina.

Walau agak ragu, Davina mendekati kakaknya. Ia duduk di kursi samping tempat tidur Silvina.

"Jadi aku mau punya keponakan?"  tanya Silvina dengan suara lembut.

Davina mengangguk. "Iya, perempuan. Aku akan melahirkan bulan depan." Walau agak terbata-bata, Davina berusaha mengakrabkan diri lagi dengan kakaknya.

"Dia laki-laki atau perempuan?" tanya Silvina.

"Perempuan dan hasil USG-nya terlihat mirip denganku dan ibu mertua. Tubuhnya juga gemuk. Dokter bilang dia sehat."

"Divan jaga kamu dengan baik?"

Davina agak tertegun. Tak lama ia mengangguk. "Dia lebih perhatian padaku sejak aku hamil. Bahkan mengurangi aktivitasnya. Hanya satu yang tak antusias ...."

"Memberi nama," ucap keduanya bersamaan. Lalu tertawa bersama.

"Aku dengar cerita kamu, walau susah bangun. Baiklah! Kalau Papanya nggak mau kasih nama, biar aku saja. Aku sudah memikirkan ini sejak beberapa hari yang lalu. Boleh?"

Terdiam Davian beberapa saat. "Kakak nggak marah?"

"Tentu aku marah. Bukan karena Divan, hanya karena kamu menikah tak mengundangku. Padahal aku ingin lihat kamu pakai gaun pengantin. Sudahlah! Bagian paling penting, aku tak ketinggalan moment saat kamu melahirkan."

Di sana Davina merasa lega. "Aku takut Kakak sakit kalau tahu tentang aku dan Divan. Maksudku, aku sudah merebut orang yang Kakak cintai."

Silvina menggeleng. "Sejak awal kamu yang pertama bertemu dia. Kamu yang dekat dengannya. Jadi, kamu yang memiliki dia. Kenapa malah kamu pikir jadi perebut? Lagipula aku ini Kakakmu. Ingat kamu pernah ingin kaos Barbie milikku. Kamu nggak bilang dan hanya curhat di diari? Ketika aku tanpa sengaja baca itu, kamu tahu gimana?"

"Kakak nangis dan merasa bersalah. Kakak bilang sedih karena sebagai Kakak nggak bisa buat aku senang dan malah buat aku menangis. Terus Kakak buka celengan dan belikan aku baju itu," jawab Davina.

Dengan tegas Silvina mengangguk. "Benar, aku ini Kakakmu. Kalau kamu kesulitan atau ingin sesuatu, katakan padaku."

"Tapi karena aku Kakak jadi begini."

Silvina tertawa. "Bukan, aku memang sudah merasa sakit sejak dari rumah. Aku jalan-jalan sendiri dan kelelahan. Waktu itu aku ke rumah kamu ingin mengajak makan di luar juga. Ternyata jalan-jalan sendiri tidak mengasyikan," jelas Silvina.

Mata Davina berkaca-kaca. Ia berdiri dan memeluk kakaknya. "Maafkan aku, Kak. Maaf. Aku nggak bisa bikin Kakak bahagia," ucap Davina.

Silvina menggeleng. "Kamu buat aku bahagia, kok. Apalagi dengan kehamilan kamu." Tangan Silvina mengusap punggung adiknya. Ia sedikit mendorong tubuh Davina untuk melihat wajah adiknya itu. "Jangan nangis, donk!"

Davina mengangguk. Ia kembali duduk di kursinya. Tangan mengusap air mata yang mengalir.

"Aku mau memberi nama keponakanku, nih!" Tangan Silvina melipat di depan dada.

"Iya, apa?"

"Dearla Aubrina. Artinya pemimpin yang disayangi," saran Silvina.

Davina berpikir sejenak. Dearla diambil dari nama kakeknya. Aubrina dari huruf A yang sama dengan huruf tengah nama Divan. "Dearla Aubrina Ranin Kenan?"

Silvina mengangguk-angguk. "Hmm ... aku tak sabar lihat dia lahir."

🌲🌲🌲

🌲🌲🌲

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menikah Karena Sayang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang