Adegan Yang Sama

8.8K 1.5K 87
                                    

"Apa harus kita ngulang ini?" tanya Davina. Kini mereka berpisah di ruang VIP bandara Heren.

Insiden foto mereka pelukan di bandara sempat membuat gempar. Untung saja sekilas dari belakang Dinia dan Davina hampir sama. Dari foto tentu akan sulit terlihat kalau Davina lebih pendek dari Dinia. Apalagi Divan ada saja idenya dengan membuat foto baru sambil memeluk Dinia dengan sedikit melipat lutut.

"Pasti aku kangen kalau nggak peluk." Kelopak atas mata Divan sedikit menurun.

Di ruangan itu hanya ada sofa coklat tua dan sebuah meja. Ukurannya seperti kamar kosan biasa. Hanya karena ruangan khusus agar nyaman, terasa penting. Apalagi keberadaannya di tempat umum yang harusnya kita berbagi ruangan dengan orang.

"Hanya beberapa bulan lagi, Davina menyusul ke sana. Janji!" Vina mengangkat jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V.

Divan melirik ke tangan kiri Davina yang masih menjuntai ke bawah. "Baguslah! Tangan yang itu nggak disilangkan."

"Kamu pikir aku bohong?"

Tangan Divan dibuka lebar. Ia peluk erat Davina dan tangan kanannya mengusap rambut panjang Davina dengan lembut.

Sudahi adegan itu, karena Divan harus pulang. Ternyata ia yang kabur ke Heren itu sampai ke telinga Papanya. Sudah pasti Papa langsung menyuruhnya kembali ke kampus. Catatan penting : Divan paling takut Papanya walau tidak pernah dibentak.

Pulang mengantar Divan, Davina merasa harinya lebih nyaman. Raya tak berani lagi mendekati. Kini ia menjadi orang yang paling dihindari. Cukup membuat efek jera. Kedudukan mereka sekarang terbalik.

Bagaimana dengan Davina?

"Kamu berteman dengan Divan dari TK?"  Merry, mahasiswa di kelas yang sama dengan Davina sempat mengajak mengobrol sambil menunggu giliran mereka sidang skripsi.

"Iya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Iya. Dia anak yang baik. Dulu aku tak pernah punya teman jadi dia yang menemani," cerita Davina.

Mahasiswi yang lain terlihat kagum mendengar itu. Pasti sekarang juga mereka bermimpi menjadi golongan tak bisa gaul.

"Aku pernah lihat postingan banyak artis Hollywood dengan sahabatnya yang orang biasa. Aku pikir itu hanya gimmick, tapi lihat kamu ... aku percaya itu nyata," puji mahasiswi lain.

Davina mengangguk. "Sahabat, ya?" tanyanya dengan suara lirih.

"Kalau Divan Kenan punya pacar, kira-kira bagaimana, ya? Pasti dia populer, cantik, tinggi dan langsing," terka Merry.

Hanya senyuman kecil yang Davina perlihatkan.

"Apa kamu tahu Ivy Nelson? Dia selebgram juga seperti Divan. Ada rumor katanya Divan dekat dengan Ivy."

Di sana Davina merasa debaran jantungnya semakin cepat. Suhu tubuhnya juga menurun. Pintu ruang dibuka. Davina dipanggil ke dalam. Saat itu pikiran Davina mendadak kusut antara skripsi dan Ivy. Ia hanya bisa berdoa sidangnya selesai dengan lancar.

"Apa kamu yakin sample penelitian yang kamu lakukan sudah tepat dengan tujuan penelitiannya?"

Mendengar pertanyaan itu semakin membuat Davina merasa kacau. Ia melirik ke sisi kanan dan kiri. Beberapa mahasiswa yang sedang menunggu di sampingnya sama saja terlihat pucat.

Davina menutup mata, ia membayangkan wajah Divan. Keinginannya hanya satu, bisa satu kampus dengan pria itu. "Ayo, Dav! Kalau kamu nggak lulus di sini, mana bisa kamu ke Harvard," batin Davina.

"Tepat, Pak. Sebelum saya menetapkan tempat tersebut sebagai tempat untuk mengambil sample, saya juga membandingkannya dengan tempat lain. Banyak faktor yang memengaruhi tingkat depresi masyarakat di sana. Faktor keadaan lingkungan tentu, belum lagi keberadaan pabrik yang mengelilingi, membuat lingkungan itu memiliki kadar oksigen di udara yang rendah. Ini juga menjadi faktor yang memengaruhi kerja otak untuk mengatur emosi."

Satu per satu pertanyaan dosen ia jawab dan terlihat wajah penguji yang puas dengan jawabannya. Davina keluar ruangan dengan wajah sumringah.

Tak ingin lama di kampus, gadis itu berjalan keluar. Di depan teras pintu utama, ia melihat kakaknya menunggu sambil duduk di kap mobil. Davina lekas menghampiri.

"Kakak mau dimarahin keamanan? Nggak boleh parkir mobil di sini," omel Davina.

"Cuman bentar, kok. Aku tahu kamu pasti pulang sebentar lagi. Naik makanya!"

Kalau bukan karena takut petugas keamanan kampus mengomeli mereka, Davina akan menolak dan lebih memilih naik bus. Ia tahu benar selama di perjalanan kakaknya akan membahas apa.

"Menurutku dia itu keren! Aku suka gayanya, cara dia bicara. Aku suka dia," cerita Silvina. Sedang adiknya masih menatap lurus ke kaca depan. "Kenapa sih kamu nggak bilang berteman sama dia? Kamu nggak mau ya kalau kakak dekat sama dia?" Sudah beberapa kali Silvina mengulang pertanyaan itu.

"Aku sudah bilang sama kakak, dia ada urusan di kampusku. Tak tahu untuk apa. Satu lagi, dia juga nggak sedekat itu denganku. Dia hanya kasihan," tegas Davina.

Silvina mengangguk. "Justru itu yang membuat dia semakin keren. Karena itu, aku akan mengambil gelar doktoralku di Amerika," timpal Silvina.

"Apa?" Suara Davina begitu keras hingga kakaknya mengusap dada.

"Pelan sedikit bicaranya, Dek. Kakak sampai kaget. Kenapa? Kamu nggak suka ya kakak tinggal di negara yang sama dengan Divan Kenan?"

Davina lekas menggeleng. "Kaget saja, karena Papa biasanya tak akan izinkan kakak pergi jauh."

Terlihat jelas wajah kecewa Silvina. Di sana Davina merasa bersalah. Ia mengusap bahu kakaknya. "Makanya semangat terapi dan berobat, agar lekas sembuh dan pergi ke Amerika," nasehat Davina.

Silvina mengangguk dengan pasrahnya. Impiannya tak didukung fisik yang semakin melemah.

🌲🌲🌲

🌲🌲🌲

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menikah Karena Sayang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang