🍁 D U A P U L U H E M P A T🍁

119 18 4
                                    

Niken memandang kosong tangannya yang sedang memegang obat-obatan sambil duduk di sofa kamarnya. Pagi ini, Niken hanya berada di kamarnya. Hari selasa, kebetulan hari ini adalah tanggal merah, jelas seluruh siswa di sekolah akan libur.

Niken masih memikirkan kejadian kemarin, tapi ia berusaha melupakannya. Untuk apa gue tangisin cowok kayak Dion? Nggak penting. Batin Niken berbicara.

Ia berpikir untuk melupakan Dion dan fokus ke ujiannya, dan... fokus menyembuhkan penyakitnya sendiri.

Semakin hari, penyakit yang dia idap semakin parah adanya. Apa lagi penyakit Niken sudah masuk stadium akhir. Dokter spesialis organ hati yang pernah ditemui Niken pernah berkata bahwa penyakit Niken semakin parah jika tidak segera di lakukan operasi. Namun Niken tidak mau operasi. Sebab, ia tak ingin jika orang tuanya, kakak, teman-temannya mengetahui kalau dirinya sedang mengidap penyakit mematikan. Niken tak ingin mereka semua khawatir.

Gadis itu hanya bisa meminum obat-obatan yang hanya bisa mengurangi rasa sakitnya sesaat. Entah sampai kapan ia bertahan seperti ini.

Di liriknya ponsel itu yang sedang bergetar, menandakan ada telepon yang masuk. Niken meletakkan obat-obatan yang ia pegang tadi ke meja, tanpa melihat nama orang yang meneleponnya, ia pun langsung menerima telepon itu.

"Hallo?"

"Iya, hallo.. Niken, lo jadi kan mau ketemu sama nyokap dan bokap gue?" Suara yang sangat tak asing di telinga Niken.

"Oh, Leo. Iya, jadi dong... kapan?" Sahut Niken tersenyum tipis.

"Hari ini, nanti gue jemput ya, mumpung hari ini tanggal merah. Jadi lo bisa makan siang di rumah gue juga," Kata Leo yang sangat bersamangat mempertemukan gadis yang di cintainya dengan kedua orang tua nya.

"Oke, siap.." Balas Niken.

"Oke. Jam sebelas gue bakal sampai di depan pintu rumah lo, Wait for me."

"I wait. Bye.." Tanpa menunggu sahutan Leo, Niken langsung mematikan sambungan teleponnya. Gadis itu tiba-tiba saja senyum membayangkan wajah Leo. Mungkin Niken kini sudah mulai menyukai Leo.

"Gak tau kenapa, setelah dengar suara Leo, gue jadi kangen sama dia. Ah, apaan sih gue, ya kali gue bucin sama Leo, ahahaha.. dah lah," Lontar Niken lalu beranjak dari sofa hendak bersiap-siap.

Di sisi lain, ada Leo yang sedang tersenyum lebar sambil berjalan menuruni anak tangga menuju dapur. Saat di dapur, Leo melihat ada Nasya yang sedang memasak di sana. Leo mendatangi Nasya, "Morning Mah, ngapain?" Tanya Leo lalu duduk di meja dapur di persis di samping Nasya. Sedangkan Nasya hanya sibuk memotong beberapa bawang.

"Morning Dear... Biasalah, Mamah mau masak." Sahut Nasya tanpa melirik ke arah Leo.

"Mamah nggak ada kasus hari ini yang harus di selesai in?" Tanya Leo pada Nasya. Jelas karena Nasya kini sedang bekerja menjadi seorang pengacara.

"Syukur nggak ada, soalnya dari kemarin, ada dua kasus dalam satu hari Mamah harus selesaikan. Cukup capek.. hehehehe," Sahut Nasya menoleh ke wajah Leo. Leo menghela napas berat.

"Kenapa juga Mamah lebih mau jadi pengacara? Coba aja Mamah kerja di kantor Papah, jadi sekretaris Papah, kan Mamah jadi nggak terlalu ke cape an. Kalo di kantor Papah, Mamah bisa kerja dengan santai. Jelas kan kantor itu juga punya Papah. Jadi Mamah bisa santai aja kerjanya," Ujar Leo membuat Nasya mendegus kasar.

"Leo... pengacara adalah cita-cita Mamah dari kecil, lagi pula Mamah pengen banget punya pengalaman kerja menjadi pengacara," Leo mendekat ke arah Nasya lalu mengambil pisau dari tangan Nasya dengan pelan. "Iya Mah.... Leo paham. Sekarang Mamah istirahat aja ya, biar Leo yang masak." Kata Leo yang mulai menggerakkan pisau tadi mengiris bawang bombai di talenan bermotif kayu itu. Leo mengiris bawang itu sangat rapi dan cepat. Nasya yang melihat itu pun heran, sejak kapan putranya pandai menggunakan pisau.

Jangan Benci, Nanti CINTA! [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang