Bab 17

479 82 25
                                    

Asalamualaikum teman-teman. Udah siap membaca kah?

Baiklah, Vote dan komennya jangan lupa juga ya. ^.^

****

"Ini, asrama santri putra." Langkah Adnan mengarah pada asrama santri putra yang berlantai tiga. Diikuti seseorang ikut berjalan beriringan dengannya di samping.

Asrama tersebut memang sudah berdiri cukup lama, tepat saat pertama pesantren didirikan. Maka dari itu, warna catnya yang berwarna putih tulang itu sudah kusam. Bahkan, beberapa ada yang sudah terkelupas, di pinggir atap sudah timbul lumut berderet panjang warna hijau, tetapi kebersihan masih tetap terjaga. Para santri selalu bersenang hati dalam bekerja sama untuk mengurus kebersihan asrama mereka. Apalagi pepohonan mangga ikut meneduhkan halaman. Sehingga udara terasa segar.

"Bakal betah gue kalau tinggal di sini," ujar seseorang sembari memindai pandangannya ke sekitar. Sedang kedua tangannya tenggelam ke dalam saku celana sayur hitamnya.

"Kapanpun lu, mau, lu bisa tinggal di sini. Jangan lupa, di sini seperti rumah lu juga. Jangan sungkan, kita udah kayak keluarga." Sebenarnya Adnan sedikit malu kepada sahabat lamanya ini. Kejadian beberapa hari kemarin masih belum bisa dilupakan. Bagaimana ia harus memberitahukan bahwa perjodohan antara Araya dengan lelaki ini harus batal karena penolakan adiknya tersebut.

Duh, Araya, Adnan merasa sangat menyayangkan tindakan adiknya itu. Gian Nathan Pranata, siapa yang tidak mengenal sosok lelaki ini. Sangat baik dan dermawan, tidak jumawa dengan kekayaan yang dimiliki, juga dikenal banyak orang. Adnan sangat setuju jika Araya menikah dengannya. Menjalin ikatan keluarga dengan sahabatnya ini memang adalah keinginannya sedari dulu.

Ya, tapi mau bagaimana, karena jodoh ada di tangan Tuhan. Sebagai manusia hanya bisa berencana sedangkan Tuhan yang menetukan. Sehingga apapun keputusannya harus diterima dengan lapang dada. Pun dengan Adnan, ia percaya bahwa keputusan Araya pasti juga yang terbaik.

"Tadinya, gue gak ada rencana buat dateng ke sini. Cuma, entah kenapa inget lu jadi dateng aja ke sini. Sekalian, bisa silaturahmi sama keluarga. Kapan ya, terakhir kali gue dateng ke sini?"

Seakan mengerti ketidakenakan dari raut wajah Adnan yang ditujukan padanya sedari tadi. Nathan meninju pelan bahu sahabat karibnya itu. "Jangan mikirin soal perjodohan kemarin, nggak apa-apa. Mungkin emang bukan jodoh," ujar Nathan seraya mengusap pangkal hidung kemudian menunduk.

"Iya, santai. Lagian gue  yakin masih banyak perempuan di luar sana yang antre mau nikah sama lu, dan mungkin ada juga yang ngedoain lu diem-diem. Jodoh itu adalah cerminan diri, gue yakin lu pasti mendapatkan jodoh yang terbaik, insyaallah." Adnan menepuk punggung tegap Nathan, juga berusaha menghibur dirinya sendiri. Meyakinkan bahwa ia tidak lagi perlu merasa bersalah.

Nathan hanya tersenyum kecil, pandangannya masih sibuk menjelajah ke sekitar. Kali ini, mereka sampai di depan ruang perpustakaan. Perpustakaan yang  kosong karena jam sekolah masih berlangsung. Hanya ada Kang Agus yang sedang menyusun buku-buku di rak. Mengelompokkan antara kitab, buku-buku sekolah dan bacaan ringan.

"Araya,"

Satu nama, berhasil menarik Nathan kembali ke dunia nyata. Tubuh lelaki itu terpaku di tempat, keningnya berkerut samar memerhatikan seorang perempuan berhijab lebar, berada tepat di hadapannya. Wajah itu pucat saat bertemu mata dengannya, lalu menunduk seperti menahan gugup.

Tunggu dulu? Kenapa wajah itu tidak asing bagi Nathan? Dan, Araya?

"Kamu mau ke mana?" tanya Adnan tanpa basa-basi.

"Afwan, mau ke perpus Ustaz."

Adnan meneguk ludah, ada apa dengan Araya? Kenapa wajahnya pucat seperti itu? Adnan berdehem pelan. Lelaki dengan kopiah hitam itu sidikit menolehkan tubuhnya ke arah Nathan.

Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang