Bab 26

561 75 10
                                    

Namanya juga jodoh, sesulit apapun jalannya. Pasti akan menemukan jalan untuk kembali pulang ke rumahnya.

****

"Bagaimana mungkin aku nggak sayang Fahri, kan, kak?" ujar Araya. Lalu tanpa sengaja menemukan siluet seseorang yang berjalan menjauh dari pintu ruang rawat.

Pandangannya kembali tertuju pada Fahri seraya tersenyum tipis. "Karena Fahri sahabat yang terbaik."

"Seperti apa lelaki yang menggantikan Fahri di acara pernikahan, Araya?"

Araya tersentak, ia terdiam cukup lama mendengar pertanyaan Rani. Bukan sesuatu yang sulit untuk ia jawab, tetapi sorot tatapan itu membuat Araya kembali dihunjam rasa bersalah. Memang bukan kesalahannya, tetapi pertanyaan itu seakan menyudutkan bahwa ia sudah mengkhinati Fahri.

"K-Kak Rani."

Rani menunduk seiring memberikan senyum yang nyaris tak terlihat. "Kakak cuma mau tahu seperti apa suami kamu, apa dia baik, atau ... apa dia tulus? Karena aku yakin, kalau dia baik, maka Fahri akan senang." Air bening yang sedari tadi membendung di mata Rani akhirnya terjatuh.

Entah kenapa, tetapi Araya melihat luka di dalam sana.

Dengan gemetar Araya meremas kedua jemarinya. Sementara keheningan di antara keduanya masih terselimuti oleh suara monitor. Ia merunduk begitu dalam, ingin rasanya menangis tetapi tidak bisa.

"Dengan menginzinkan aku untuk selalu menjaga Fahri bukannya sudah membuktikan bahwa dia baik?" ujar Araya, ia semakin menunduk dalam.

Rani mengangguk, lalu menatap Araya dengan tulus. "Apa kamu kenal sama dia sebelumnya? Lagi pula aku yakin, Adnan nggak mungkin menikahkan kamu dengan lelaki sembarangan. Dia terlalu sayang kamu, dan pasti Adnan akan memilihkan lelaki terbaik untukmu."

Araya mengangguk sebagai jawaban. Ia terlalu malu untuk menatap Rani. Pembicaraan ini membuat Araya tidak tahu harus berbuat apa. Lalu tiba-tiba ia mengangkat kepala saat Rani menggenggam satu tangannya. Tepat di atas tubuh Fahri yang terbaring.

"Ini bukan salah kamu, Aya, apa yang terjadi semua di luar kendali kita. Sebagai manusia, kita hanya bisa mengikuti alur dari sang pemilik rencana," ujar Rani, sementara isi kepalanya menerawang jauh. Mencoba kuat di saat segala beban sedang dipikulnya. Sulit, tetapi ia harus bisa.

Araya pernah merasakan situasi ini, melepaskan sesuatu yang mungkin memang bukan untuknya. Araya tahu ia terlalu serakah dengan menginginkan dua hal sekaligus dan berharap, ia akan bahagia karenanya. Dengan selalu melupakan menyataan bahwa terkadang, dia harus melepaskan salah satu di saat dia menerima yang lainnya.

Araya terluka, tetapi ia hanya bisa diam saat Rani berucap, "Lepaskan Fahri, Aya, dia nggak akan suka kalau lihat kamu kayak gini. Jalani hidup kamu dengan seharusnya, lupakan apa yang terjadi."

Ketika air mata terjatuh, maka hanya ada dua hal yang bisa menjabarkannya. Apakah bahagia atau sedih. Dua warna kehidupan yang saling beriringan.  Araya menangis tertahan. Bahu perempuan itu bergetar kuat, seperti ada sesuatu yang menarik paksa apa yang sudah tertanam dalam hidupnya. Tercabut habis hingga ke akar-akarnya. Meninggalkan luka yang sulit untuk disembuhkan. Sakit, Araya tidak suka kesedihan ini.

"Pulang, dan kembali lagi saja saat kamu ingin menemui Fahri untuk yang terakhir kalinya."

****

Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang