Bab 33

533 75 7
                                    

Karena kepercayaan juga salah satu pondasi yang menguatkan pernikahan.

***

Tak!

Suara nyaring antar musik klasik mengalun bersamaan dengan gelas minuman yang lelaki itu simpan kasar ke atas meja. Sepertinya Indra Bhamakerti memang penyuka musik klasik, dari pertama pesta itu dimulai tidak ada musik apapun selain musik klasik yang terdengar. Sambil berbincang para tamu pun tetap menikmatinya, terlebih  malam semakin larut sebab waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Satu per satu para tamu berlalu, sembari di antar oleh beberapa asisten dari CEO perusahaan besar tersebut.

Namun, tidak dengan dua insan yang masih terduduk di salah satu meja, menjauh dari kerumunan sehingga kehadiran mereka tidak terlalu menjadi sorotan. Seorang lelaki yang duduk di sana tampak muram, ia mulai merasakan ada sesuatu yang aneh pada tubuhnya, kepalanya berdenyut sakit, tubuhnya menggigil. Ia kedinginan. Lalu kembali meneguk minuman yang diberikan sepupunya tadi.

Samar-samar pandangannya beradu dengan seorang perempuan di depannya. Entah, tetapi perempuan itu .... seketika membuatnya merasa kepanasan hanya dengan melihat wajah cantik itu.

"Nath, aku kenapa, ya?" Tangan perempuan itu menyentuh punggung tangannya, lembut, tetapi gemetar. Sama sepertinya tadi, perempuan itu kedinginan.

"Kenapa? Aku bahkan juga nggak tahu kenapa." Nada suaranya begitu serak, ia mencoba menahan sekuat tenaga.

Buk!

Ia pukul permukaan meja kuat-kuat, orang-orang di sekitar sampai ikut menoleh ke arahnya.  Pikirannya sangat kacau, keringat dingin bercucuran, lelaki itu kemudian  berdiri dan  menggenggam erat tangan perempuan di depannya.

"Ayo, ikut." Lalu membawanya pergi.

🍀🍀🍀

Suara azan subuh baru saja selesai berkumandang.  Perempuan itu terbangun dari lelapnya tidur. Cahaya temaram di kamarnya menyamarkan penglihatan. Kepalanya terasa pening, sakit sekali padahal ia baru saja bangun. Kesal juga, baru pertama lagi ia melewatkan salat tahajjud. Padahal ia selalu berusaha istiqamah untuk tidak melewatkan salat sunnah tersebut.

Araya hendak beranjak, tetapi lebih dulu merasakan sesuatu di perutnya, berat seperti ada benda keras menimpanya. Ia lantas menoleh ke samping, pupil matanya membesar melihat kehadiran seorang lelaki di sana yang masih tertidur lelap. Barulah ia sadar apa  yang sudah terjadi tadi malam.

"Akh." Araya menaruh tangannya di kening erat-erat. Tadi itu ... sudahlah, tidak penting untuk sekarang. Araya segera turun dari tempat tidur dan memasuki kamar mandi, melaksanakan salat subuh setelahnya.

"Araya?"

Seketika tubuh Araya mematung, baru saja ia selesai melaksanakan salat subuh. Perempuan itu segera memutar tubuh, sekali kedua matanya membulat memandang suaminya yang sudah terduduk. Menatapnya heran, seperti sedang mengingat sesuatu.

"Kenapa, Kak?" tanya Araya, berusaha tenang.

"Kapan saya pulang dari pesta ulang tahun perusahaan Pak Indra, kok saya sudah ada di kamar?"

Seketika raut wajah Araya berubah, kesal mendengar pertanyaan lugas itu. Bersamaan dengan itu ketukan pintu di kamarnya terdengar, Araya segera keluar kamar dan menemukan Bi Sari berdiri di sana, memegang sebuah amplop di tangannya.

"Ada apa, Bi?"

"Ini, Non, tadi waktu bibi keluar rumah ada amplop  ini di depan pintu."

Araya ambil amplop coklat tersebut dari tangan Bi Sari.

Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang