Bab 16

472 82 21
                                    

"Udah dong, jangan liat Fahri kayak gitu. Bukannya nyambut dengan baik kedatangan sahabat kamu malah marah-marah," ujar Fatimah melihat kelakuan putrinya, yang sesekali mendelik pada Fahri meskipun lelaki itu tersenyum pada Araya.

Bukan tanpa alasan Araya bersikap seperti itu. Araya kesal karena Fahri datang tanpa memberinya kabar. Sedangkan kabar terakhir yang ia tahu tentang Fahri adalah tiga tahun yang lalu. Menyebalkan, Araya kesal. Ia sempat berpikir bahwa Fahri sudah melupakannya. Maka dari itu, saat Fahri datang ketika ia sedang belajar memanah. Yang Araya lakukan justru pergi begitu saja.

"Nggak apa-apa kok Tante. Araya emang gitu kalau marah. Fahri ngerti." Fahri menyaut diiringi senyuman kecil. Namun sorot tatapannya penuh arti.

"Memang bener ya, kayaknya bener deh, kamu jodoh yang tepat buat Araya. Karena cuma kamu yang bisa ngertiin dia, kadang Tante kewalahan sama sikap Araya." Fatimah menyenggol putri bungsunya membuat Araya cemberut kecil.

"Apaan sih Bunda, jangan gitu, ah." Entah sejak kapan, tetapi pipi Araya terasa panas mendengar ucapan Fatimah. Bola matanya bergulir memerhatikan Fahri. Lelaki itu sudah terlihat jauh lebih dewasa. Dari dulu semasa sekolah banyak cewek-cewek yang menyukai Fahri, bukan hanya karena dia ganteng, tetapi berkarisma juga menarik. Pintar, sopan dan disukai banyak orang.

Namun, Fahri tetaplah Fahri Prayuda. Yang akan selalu bersahabat dengan Araya dan menemani kesendirian perempuan itu dikala tiada teman. Sosok Fahri yang sangat Araya kagumi sebagai sahabat.

"Jadi, boleh kami tahu tujuan kamu datang kemari Nak Fahri?" Kyai Hasan membuka suara setelah tadi hanya diam memerhatikan.

Suasana yang semula terasa hangat menjadi terasa dingin. Untung saja tidak ada AC di dalam rumah itu, jika saja ada mungkin kegugupan Fahri akan berkali lipat luar biasa. Fahri menggosok telapak tangannya gugup, melirik Adnan yang lantas mengangguk padanya.

Sebentar Fahri memejamkan kedua matanya, meneguk ludah sebagai tanda betapa ia gugup luar biasa sebelum mengungkapkan maksud kedatangannya. Kedua matanya terbuka, menemukan Araya yang duduk di depannya, didampingi Fatimah di sebelah kiri, sedangkan di sebelah kanan ada Fara—istrinya adnan. Tidak bisa disembunyikan bahwa ketiganya sangat penasaran, terlebih Araya. Wajah perempuan itu tampak pucat.

Namun, berbeda dengan Adnan. Lelaki itu tampak biasa saja dengan duduk tegak di kursi sebelah Fahri. Tapi pandangannya tetap menelisik Fahri dengan sengit. Sebagai wali Araya, Adnan harus tahu betul siapa yang pantas untuk bersanding dengan adiknya. Tidak memandang meskipun Adnan sudah mengenal Fahri cukup lama.

"Bismillah ... insyaallah kedatang saya kemari dengan niat baik," Fahri menggantungkan perkataannya, pandangannya tertuju pada Araya. "Saya ingin menikahi Araya."

🍀🍀🍀

Keegoisan bukanlah jalan keluar, begitulah petuah Fatimah sebelum Araya memutuskan. Setelah Fahri mengutarakan permintaannya, Araya masih meminta waktu untuk menjawab. Meskipun karena itu, membuat bundanya tertunduk lesu.

Araya merunduk melihat kedua tangannya di atas paha. Duduk di barisan staf sajadah pertama di dalam masjid. Di samping deret gorden yang menjadi sekat antara tempat salat santri laki-laki dan perempuan.

"Berdoa dulu aja, aku juga gak bakal maksa kok, walau sebenarnya ini keinginanku dari dulu," ujar seseorang tiba-tiba di balik gorden, yang suaranya sudah sangat Araya kenal. Walau sekarang nada suaranya sedikit tegas, lebih cool.

"Aku?" ujar Araya tersenyum miring.

"Kenapa? Lebih sopan aja manggilnya. Kamu, kan, cewek jadi harus dilembutin." Fahri mengelus pangkal hidungnya karena gugup, walau deret gigi putihnya tampak saat ia tersenyum lebar.

"Ri"

"Hm?"

"Kamu serius?"

"Jangan lama-lama ngobrolnya, saya nungguin." Seru seseorang membuat Araya dan Fahri gelagapan. Sontak saja Fahri menoleh ke belakang melihat kehadiran Adnan dengan terkejut. Berdiri mengawasi dua sejoli yang duduk berdampingan tetapi terhalang sekat gorden berwarna hijau. Tentu saja Adnan akan menjaga, takut terjadi fitnah nantinya. Apalagi ini di lingkungan pesantren. Tidak akan baik, jika ada santri yang beranggapan buruk karena salah paham.

Fahri menggeleng sembari tersenyum kecil. "Mana mungkin sih, aku main-main. Ra. Asal kamu tahu, ya." Fahri membenarkan posisi duduknya. Menghiraukan kehadiran Adnan di belakang.

"Aku itu suka sama kamu sewaktu kita duduk di bangku SD. Kamu tahu sendiri, aku selalu berusaha deket sama kamu meskipun kamu selalu ngusir aku karena risih. Tapi aku gak peduli, yang penting aku bisa deket sama kamu karena aku suka kamu, Ra." Tidak ada lagi Fahri yang dulu, selalu enggan mengungkapkan perasaannya pada Araya. Bukan karena ia pengecut, tetapi karena Fahri tahu batasan. Semakin bertumbuh besar, ia semakin tahu bagaimana hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dalam islam.

Maka dari itu, ini adalah saatnya Fahri mengungkapkan perasaan secara blak-blakan. Karena  Fahri sudah siap, dan ia ingin menjaga Araya sebagai pelengkap imannya.

"Sampai akhirnya aku mutusin buat melanjutkan pendidikanku di Jogja. Selain karena omah, tetapi di sana juga ada cabang perusahaan keluargaku. Aku ingin mengembangkannya sampai sukses, biar aku bisa jemput kamu lagi dan ajakin kamu nikah. Aku berusaha belajar juga di sana, biar nanti aku bisa membimbing kamu sebagai suami dan ayah yang baik untuk anak-anak kita nanti."

Araya tertegun di tempat, perempuan itu semakin merunduk. Matanya sudah mengkilat karena air mata tetapi Araya tidak ingin menangis. Begitu luas rencana Fahri ke depan bersamanya. Tujuannya sangat baik, benar-benar baik. Lalu bagaimana bisa selama ini Araya mengabaikannya? Dan bagaimana mungkin Araya menolak kesungguhan Fahri hanya untuk seseorang yang bahkan tidak jelas keberadaannya, apalagi statusnya.

Kenapa Araya baru menyadarinya sekarang?

"Bagaimana? Aku masih menunggu jawaban kamu," tanya Fahri, jantungnya semakin berdentum tak beraturan di dalam sana.

"Ri, tapi aku selalu menganggap kamu sebagai sahabatku." Araya berkata jujur.

"Nanti juga masih bisa bersahabat, kok, cuma kalau nanti, statusnya bisa sahabat dunia akhirat." Fahri tidak akan mengalah, ia akan berusaha supaya Araya menaruh cinta untuknya.

Araya terkekeh pelan. "Apa, sih, Ri."

Araya merunduk, ia berharap ini adalah keputusan terbaik. Keputusan yang juga tentu saja akan membuat keluarganya bahagia. Dan tidak akan membuat Fahri kecewa.

Lalu, bagaimana dengan dirinya?

🍀🍀🍀

Semilir angin berembus menyentuh permukaan wajah pria berparas tampan itu. Kedua netra abu-abunya tertutup oleh kacamata hitam. Melajukan mobilnya dengan santai, sembari menikmati jalanan di salah satu desa, di kota Tasikmalaya.

Sangat sejuk udara di desa ini. Hamparan pesawahan ada di samping kanan dan kiri. Dua gunung menjulang kokoh di depan sana. Mobil SUV berwarna hitam itu tak lepas dari pandangan beberapa orang yang berada di pinggir jalan. Lalu sampai di depan sebuah gerbang yang mempunyai gapura besar bertuliskan, PONDOK PESANTREN AL-HUSENIYYAH.

Gerbang besar itu akhirnya terbuka, seiring mobilnya melaju pria itu mengucapkan terima kasih kepada penjaga yang membuka gerbang. Kedatangannya tentu saja lantas di sambut baik. Pemilik pesantren sekaligus sang penerusnya pun datang menyambut.

Mereka terlibat pembicaraan sebentar, sampai akhirnya diajak masuk menuju rumah kyai.

Sementara itu, sepasang mata memerhatikan dari jauh. Tubuhnya menegang, pernapsannya tercekat. Wajahnya pusat pasi, tangannya pun berkeringat dingin. Sosok yang tadi ia lihat begitu nyata. Bukan salah lihat apalagi sekedar imajinasinya.

"Kamu tahu gak, Ra, yang tadi keluar dari mobil dan langsung diajak ke rumah kyai itu, adalah laki-laki yang baru aja kemarin mau dijodohin sama kamu tapi kamu malah nolak," ujar Fara berbisik.

Bagaikan ada palu godam yang menghantam, tubuh Araya lemas seketika. Hampir saja ia terjatuh jika saja Ashila tidak datang tepat waktu dan menahan tubuhnya.

"Araya, anti kenapa?" tanya Ashila cemas.

To be continue ....




Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang