Bab 22

541 91 29
                                    

Bukan, bukan bermaksud menjadi pahlawan kesiangan, aku hanya melakukan apa yang kupikir benar.

****

"Itu dia masalahanya, kayaknya takdir lu dateng ke sini buat gantiin baca ijab qabulnya, deh,"

Baik dan buruknya sebuah perkataan adalah doa. Itulah yang sekarang disadari oleh Adnan. Sebuah percandaan yang tak pernah mengira akan menjadi kenyataan. Beberapa saat sebelum ia duduk berhadapan dengan Nathan—yang kini berganti menjadi calon adik iparnya.

Kiai Hasan beserta keluarga sempat mengadakan musyawarah sebelum menetapkan keputusan. Bukan hanya itu, Pranata Rahardja pun dihubungi untuk ikut andil dalam keputusan ini. Sempat meragu karena mungkin merupakan ketidakadilan untuk Araya maupun Fahri. Namun, ini  sangat terdesak. Apalagi sudah terdengar gonjang-ganjing gosip yang tidak baik dari masyarakat yang sudah sampai ke telinga. Dan hal itu pasti akan merusak nama baik Araya pun keluarga besar.

Oleh sebab itu, pernikahan antara Nathan dan Araya akhirnya dilangsungkan.

Sebelumnya Adnan juga melontarkan sebuah pertanyaan yang menjadi pengikat kuat bahwa keputusannya ini adalah benar.

"Apa yang buat antum mau nikahin Araya? Bukan karena kasihan, kan?"

"Lebih baik gue nggak peduli kalau alasannya itu, Nan."

"Terus?"

"Lu percaya sinyal jodoh dan takdir, kan?"

Adnan mengangguk mantap.

"Nah, itu yang gue rasain waktu pertama kali ketemu Araya lagi. Takdir. Pasti selalu ada alasan di setiap pertemuan dan gue yakin itu."

Adnan terkekeh kecil. "Dan perasaan antum gimana?"

"Nanti juga pasti akan tumbuh dengan sendirinya. Gue sedang berusaha, kok. Tepat saat gue akan dijodohkan sama dia waktu itu dan saat pertama kali gue dipertemukan lagi sama dia." Nathan menjawab dengan tenang.

"Lo bakal bertanggung jawab? Nggak akan nyakitin hatinya, kan? Araya sangat berharga untuk kami."  Adnan menatap serius lelaki yang mempunyai umur satu tahun lebih muda darinya itu. Walaupun sudah mengenal Nathan cukup lama tetapi jika sudah mengenai Araya maka Adnan tidak akan mudah untuk percaya.

"Janji gue setelah mengucap ijab kabul bukan hanya antara gue dan keluarganya tapi juga antara gue sama Allah. Gue akan buat dia bahagia, gue janji."

"Saya pegang janji kamu!"

Lamunan Adnan buyar saat pak penghulu memintanya untuk mengulurkan tangan berjabat dengan Nathan. Saat itu, akad nikah begitu khidmat, walaupun tak luput dari pandangan para tamu yang keheranan. Pasalnya mereka juga tahu, seperti apa wajah calon suami dari cucu perempuan Kiai Hasan—seorang ulama yang sangat tersohor di kota Tasikmalaya. Namun, tidak ada yang berniat mengeluarkan suara kecuali hanya diam mendengarkan.

"Qobiltu Nikahaha wa Tazwijaha alal Mahril Madzkuur wa Radhiitu bihi, Wallahu Waliyut Taufiq."

Ijab qabul itu terucap dengan lantang tanpa keraguan. Bersamaan selesai ucapan sah tanda kedua mempelai sudah halal, derap langkah kaki memenuhi seisi ruangan. Atensi mereka sontak saja teralihkan.

Nathan terpaku, rotasi dunia seakan terhenti. Perempuan yang kini telah halal menjadi istrinya berjalan ke arahnya tanpa lagi memikirkan malu karena dilihat banyak lelaki yang hadir. Pandangan itu kosong, walahnya lesu, rusaknya make up yang dipakai telah menandakan bahwa perempuan itu telah banyak menangis.

Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang