Bab 39

356 52 0
                                    

Assalamualaikum para pembaca.

Pada seneng gak nih aku double up. Ngedadak banget, ya, cepet lagi wkwk. Nggak apa-apa, deh, sekali-kali gitu buat kalian seneng hehehe. Pokoknya terima kasih banget karena kalian selalu ada sampai sejauh ini, bersama kalian cerita ini jauh lebih bermakna.

Ada info sedikit di part selanjutnya ya, mohong dibaca ya karena menurutku itu cukup penting untuk diketahui kalian.

Syukron dan happy reading ....

****

Sebagian obat justru menjadi penyebab datangnya penyakit, sebagaimana sesuatu yang menyakitkan adakalanya menjadi obat penyembuh - Ali bin Abi Thalib

****

"Kenapa?" tanya Fahri tiba-tiba menghampiri Rani di kamarnya. Perempuan itu murung sedari siang, entah karena apa, tetapi setelah mendengar penjelasan Haris barulah Fahri mengerti.

"Kenapa pisah?" Fahri duduk di samping Rani, mengikuti arah pandang sang kakak yang sedang memandang langit kelam tanpa bintang, jangkrik turut bernyanyi seakan-akan sedang mengikuti alunan hati tak berseri.

"Karena dia bukan tujuan Kakak ... sekarang." Rani bahkan mengerti perkara apa yang Fahri maksudkan, sehingga tak perlu ia bertanya alasan Fahri menuntut penjelasannya.

"Kenapa?" imbuh Fahri lagi dengan pertanyaan yang sama.

"Satu-satunya keluarga kakak sekarang adalah kamu, Mama dan Papa sudah pergi, dan sekarang tinggal kita berdua. Kita sama-sama punya tanggung jawab, kesibukan, pekerjaan, tapi tetap saja kita saling membutuhkan." Rani menoleh dengan mata berkaca-kaca, sesak di dada membuatnya tak bisa menahan air mata. Jatuh seakan-akan air itu adalah darah dari hatinya yang terserak.

"Kakak butuh seseorang yang bukan hanya menyayangi kakak, tapi juga menyayangi kamu. Sedangkan kakak tidak menemukan hal itu dalam diri Haris, kakak ..." Rani menunduk, tak mampu lagi membendung isak tangisnya keluar. "Kakak tahu Haris membenci kamu karena masalah Jani, karena itu ... Haris, dia ...."

Tak perlu waktu lama untuk Fahri segera membawa sang kakak dalam pelukannya. Mengelus punggung ringkih yang bergetar dalam dekapan, isak tangisnya pecah seiring sang langit menurunkan rintik air lalu membasahi sebagian bumi. Fahri mengerti betapa Rani mencintai Haris, sejak pertama bertemu tiga tahun lalu. Kemudian datang Ajani atau kerap disapa Jani adalah sepupu Haris, dan Haris sudah menganggap Ajani seperti adik sendiri.

Sudah tentu Haris meradang saat Fahri pergi meninggalkan Jani dan membatalkan pernikahan. Tentu saja perempuan itu terluka terlebih ia menaruh rasa pada Fahri. Oleh sebab itu, apa yang menimpa Fahri kemarin, seakan-akan sebuah bentuk balasan atas tindakannya dahulu, dan sangat disadari oleh Haris.

"Nggak apa-apa." Fahri berucap getir. "Dia pantas marah, juga pantas mengolokku." Menunduk Fahri mengusap setitik air matanya. "Karena bagaimanapun Fahri memang salah, dan mungkin memang ...." Fahri tercekat, ia bahkan tak bisa menyelesaikan katanya-katanya.

Sebelum akhirnya Rani mengurai pelukan, lalu berucap dengan sayang. "Kamu nggak salah, Jani nggak salah, Araya juga nggak salah, kakak nggak salah, bahkan Haris juga, apalagi takdir juga nggak salah." Rani menangkup kedua pipi Fahri, lalu mengusap jejak air mata adiknya. "Pada hakikatnya, kita membutuhkan yang baik tetapi yang kita mau belum tentu adalah yang terbaik buat kita. Sebab mungkin alasan dia bukan untuk kita, karena memang dia sudah mempunyai pemilik lain."

Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang