Bab 43

403 46 9
                                    

"Fahri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Fahri."

Yang dipanggil seketika menoleh ke sumber suara. Tersenyum, laki-laki itu lantas mengambil sebuah paper bag dan menyimpannya di atas meja pantry.

"Makan, ya, itu buatanku," ujar perempuan dengan netra cokelat itu, lantas duduk di hadapannya—hanya terhalang oleh meja pantry.

"Udah bisa masak ceritanya." Fahri menyahut, diiringi tersenyum miring.

"Dih, iyalah, aku 'kan perempuan, jadi harus bisa masak, dong."

"Bagus, bagus." Fahri hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Lelaki itu sedang sibuk menjalani profesi keduanya yaitu barista. Membuat white coffee, yang diolah kembali dengan tambahan bahan lainnya supaya tidak terlalu pahit.

"Fahri."

"Hm?" Fahri menuangkan white coffee ke dalam gelas, lalu menyimpannya di depan perempuan itu.

"Makasih, ya." Araya menarik gelas tersebut ke dekatnya, lantas meminumnya sedikit. Aroma coffee yang untuk pertama kali Araya merasakannya. Suka, sebab racikan itu tercipta dari tangan Fahri.

"Buat?"

"Karena mau memaafkan semuanya dan aku."

Fahri terdiam, sesaat setelahnya mengedikkan bahu. "Aku lakuin itu bukan buat kamu." Bahkan tanpa senyum lelaki itu mengatakannya, hanya menatap datar seakan ingin mengungkapkan segala rasa tetapi ia memilih memendamnya. "Aku melakukannya buat diriku sendiri, bukannya nggak adil ya kalau aku terpuruk sendirian," lanjut Fahri, seraya melepas celemek hitam yang dipakai.

Araya mencelos, bahunya merosot, ada sesuatu menebas dadanya berulang kali. Menelan ludahpun terasa sulit, sehingga refleks tangannya meminum coffee. Ya, setidaknya hal itu bisa meminimalisir tenggorokan yang terasa kering. Sebab perkataan Fahri sangat menohok ke ulu hatinya, tersapu penyesalan membuat Araya kembali berpikir, apakah Araya benar-benar sejahat itu?

Apalagi saat Fahri memperlihatkan senyum, bukan senyum paksa, bukan juga senyum bahagia, melainkan senyum getir hanya untuknya. "Yang penting aku tahu, kamu udah bahagia bersama laki-laki yang ternyata selama ini kamu tunggu. Aku senang, karena dia menepati janjinya menemui kamu lagi. Ya, setidaknya aku yakin, dia akan jaga kamu lebih baik."

"Fahri—" Araya ingin menangis, sekali saja di hadapan Fahri, setidaknya memperlihatkan betapa Araya pun merasa sangat bersalah padanya, betapa Araya patah hati saat ia tahu Fahri tidak akan datang ke pernikahan, lalu posisinya terganti oleh orang lain. Takut andai Fahri tidak akan pernah bangun dan hanya menyisakan sesal di dada atas pengkhianatan,  betapa Araya juga menyayangi Fahri dan tidak ingin Fahri pergi darinya. Namun, semua itu tidak mungkin terjadi, karena telah terbangun batasan di antara keduanya.

Tidak akan ada lagi langkah Araya di belakang Fahri pun sebaliknya seperti di masa putih-abu, atau Fahri yang selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan Araya. Selalu memihak gadis SMA pendiam itu, mengatakan betapa Araya begitu cantik saat pertama kali Araya memutuskan memakai jilbab. Dan tidak akan ada sapaan pagi ketika Fahri baru pulang dari masjid selesai melaksanakan salat subuh, sedangkan saat itu Araya sedang menyiram bunga.

Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang