Bab 44

412 48 3
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Setelah sedikit berbincang dengan sang mertua yaitu Fatimah, Nathan segera memasuki kamar Araya di lantai dua. Sebuah kamar berukuran lebih kecil dari kamarnya di Jakarta, dengan kasur seprai biru muda yang hanya muat oleh satu orang saja.

Nathan segera duduk di atas kasur tersebut, melepas kameranya lalu melihat-lihat hasil fotonya. Dari belakang pesantren, lapangan besar untuk latihan memanah, juga untuk menunggangi kuda. Selain itu juga Nathan memotret kegiatan para santri di sekitar pesatren.

Laki-laki itu tiba-tiba saja tertawa renyah, saat mendengar cerita Adnan perihal Araya yang sering membuat onar karena tidak betah tinggal di pesantren. Terbayang sudah bagaimana raut wajah gadis itu.

Nathan sampai mengusap wajah, senyumnya tak lantas lepas dari bibirnya. Sepertinya Nathan sudah benar-benar jatuh cinta pada Araya.

Derit pintu kamar tiba-tiba saja terdengar saat seseorang masuk, Nathan mengangkat kepala, senyum yang semula ada perlahan luntur saat melihat Araya. Laki-laki itu kembali fokus pada kameranya. Bahkan cuek saja meski Araya merundukkan tubuhnya di depan Nathan.

"Kakak lagi nggak enak hati, ya?" Tahu Nathan tidak akan merespons, seketika Araya mengangkat dagu laki-laki itu. Sehingga keduanya saling melempar pandang. Lihat, betapa manis perbuatan Araya, wajahnya begitu dekat, membuat Nathan meneguk ludah berkali-kali.

"Sudah ketemu Ashila?" Nathan jadi tidak bisa berlama-lama mendiamkan Araya.

"Nggak, Ashilanya lagi sibuk ngajar, jadi aku balik lagi ke sini. Kakak kenapa? Marah sama Aya, hm?"

"Kenapa Kakak harus marah? Sini duduk." Laki-laki itu menepuk-nepuk sisi ranjang di sampingnya. Meminta Araya duduk di sebelahnya. Dan Araya langsung menurut tentu saja.

"Dari tadi Kakak cari kamu, tapi kamu lama banget ilangnya." Nathan menyimpan kamera di atas nakas, lalu memeluk perempuan itu dari samping. Menyimpan dagunya di bahu Araya, seperti anak kecil yang sedang merajuk karena tidak dibelikan mainan.

Duh, kenapa Kakak jadi kayak begini, ya? Bikin spot jantung aku meningkat aja.

"Terus pas tadi mau bicara sama Bang Adnan, ternyata kamu malah berduaan sama dia."

Araya tertawa kecil. "Kakak cemburu, ya?" Araya menebak, dan itu tepat sasaran. "Ih, masa cemburu, sih?" cetus Araya karena Nathan tidak lantas menjawabnya.

"Enggak, lah, masa iya aku cemburu sama kakak kamu sendiri," kilah Nathan tidak mau salah. Tapi sudah terlanjur ketahuan, karena sekarang Araya sudah sangat kenal dengan sikap Nathan.

Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang