Bab 25

597 76 8
                                    

Pemandangan apa tadi? Kenapa lebih indah dari terbitnya matahari?

****

Apartemen lantai 10, di sinilah Araya sekarang. Berdiri di sebuah balkon yang menghadap pada gedung-gedung yang menjulang tinggi, di bawahnya jalanan masih belum padat kendaraan karena waktu baru menunjukkan pukul enam pagi. Langit masih berwarna jingga tetapi perlahan warna itu berubah terang, menandakan bahwa matahari sudah naik ke permukaan.

Pemandangan yang baru kali ini Araya lihat. Pesantren memang tempat yang terbaik, di sana, ia selalu menikmati matahari terbit tanpa perlu menerka-nerka apakah matahari sudah naik atau belum. Sungguh, Araya merindukan tempat muktabar itu. Lingkungan yang dulu tidak pernah Araya inginkan menjadi tempatnya tumbuh besar, kini bagaikan keluarga yang bersemayam di hatinya.

Araya ingin pulang ....

"Jadi, bagaimana, Ya?" tanya seseorang di seberang panggilan membuyarkan lamunan Araya.

"Bagaimana apanya, Shil?" Alih-alih menjawab ia justru kembali bertanya seakan tidak mendengarkan apa yang Ashila bicarakan sedari tadi.

"Ulah pikasebeleun atuh, Ya, anti nggak denger apa yang ana bicarain dari tadi?" Terdengar helaan napas kesal di seberang sana membuat Araya terkekeh pelan.

"Afwan, Shil, ana lagi liatin pemandangan di depan, matahari terbit nggak kelihatan di sini tahu, Shila. Padahal aku ada di apartemen lantai 10," ujar Araya, terdengar nada suaranya merengek pelan.

"Ya Allah, Araya,  anti ada di apartemen siapa? Kenapa bisa ada di sana, anti 'kan juga punya rumah di Jakarta, kenapa tinggal di apartemen?!" Araya tebak, wajah Ashila pasti sudah merah kelimpungan sendiri. Banyak macam-macam pertanyaan bergumul di kepala perempuan itu.

"Ikut sama—" Ucapan Araya terhenti seiring terdengarnya suara gesekan pintu yang terbuka bersama aroma mint yang memanjakan indra penciumannya. Sontak saja ia menoleh ke belakang, kedua matanya melebar sementara satu tangannya masih memegang ponsel di telinga.

"Nanti aku telepon lagi, ya, Shila. Asalamualaikum." Ia tekan tombol merah lalu memegang ponsel itu dengan erat. Entah sejak kapan, tetapi jantung Araya semakin berdegup kencang di dalam sana.

"Ada yang mau kamu bicarakan?" tanya lelaki itu tenang seraya menenggelamkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Kening Araya berkerut, bingung, tetapi sejurus kemudian Araya mengangguk. Tentu saja, banyak pertanyaan yang sejak tadi ingin Araya ungkapkan. "Kenapa tinggal di apartemen? Memangnya Kak Nathan nggak punya rumah?" tanyanya to the point. Araya, ia tidak suka basa-basi.

Nathan terkekeh pelan. "Kamu polos atau emang pura-pura nggak tahu?"

"Pura-pura nggak tahu." Araya memutar tubuh membelakangi Nathan. Gugup luar biasa saat menatap mata itu membuat Araya tidak sanggup untuk terus berhadapan dengannya.

Lagi-lagi aroma mint memanjakan indera penciumannya saat Nathan berdiri di samping. Lelaki itu wangi, Araya menyukainya.

"Pernikahan kita hanya Papa yang tahu, Nenek belum tahu. Saya takut beliau shock berat kalau tiba-tiba saya bawa kamu ke rumah dan memperkenalkan kamu sebagai istri saya," jawab Nathan jujur, pandangannya lurus ke depan, menyimpan banyak arti.

"Dan ... Ibu?" Araya bertanya ragu, kepalanya menoleh ke samping memperhatikan wajah lelaki tampan itu yang mengeluarkan tetesan keringat. Padahal waktu masih pagi. Wajahnya pun tampak gelisah. Dia kenapa?

"Sudah meninggal, waktu saya duduk di bangku SMA."

Araya meringis pelan, kedua tangannya saling bertaut. "Maaf, nggak tahu," cicitnya merasa tidak enak hati.

Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang