43. Akademi(2)

199 24 6
                                    

Remang-remang, aku merasakannya, meski merasa bersalah membuatnya harus merasa berat karena aku, tapi demi menyelamatkannya, aku harus menjadi perisainya...

Luka-luka di punggungku terasa sakit, terlebih hujan mulai turun, meski tertutup mobil, tapi karena kaca yang pecah, tetesannya seolah membakar kulitku yang sakit...

Belum lagi, jika aku bergerak sekarang, luka-luka ini seolah akan berteriak kesakitan, membuatku tidak berdaya, setidaknya aku sedikit lega, karena bisa melindunginya...

Nafasku terasa berat, sangat sulit bernapas karena tertimpa sebuah mobil, aku menutup mataku, membiarkan bulir-bulir bening membasahi pipi ku. Aku harap, orang yang berada di bawahku ini tidak merasakan sakit yang teramat, biar aku saja, kumohon...

Aku berusaha sekuat tenaga, menggenggam tangannya yang tidak jauh dari tanganku, kupingku mendengar suara detak jantungnya yang tidak beraturan, aku tahu kalau ia ketakutan.

----

Suara bel tanda istirahat kedua berbunyi, seluruh siswa Akademi segera berlarian menuju 3 tempat yang sakral, kantin, perpustakaan dan taman Akademi.

Namun berbeda dengan si kembar yang sedang minum teh di Cafe yang ada di samping kantor kepala sekolah, mereka berdua minum teh dengan anggun, kembali ke mode bangsawan, dengan Ere yang juga melakukan hal yang sama.

Ere menatap kedua bersaudara itu, membicarakan hal-hal ringan mengenai masa lalu mereka, dan si kembar hanya menjawab dengan seadanya tanpa basa-basi.

Teh kembali mengalir dari mulut Aidan, sementara Ariella sedang memakan kue ringan rasa vanila, tak bisa dipungkiri, vanila memang kesukaan si kembar.

Ariella dan Ere tampak bersenang-senang, pertanyaan dan jawaban, lalu basa-basi keluar dari mulut masing-masing, Aidan sibuk dengan buku dari perpustakaan yang ia bawa.

"Kalau kalian mau mencari buku leluhur kalian, itu ada di Mansion kalian kok." Ere memberikan senyuman hangat, sementara Aidan dan Ariella terkejut, hampir saja memuncratkan tehnya jika wajah dan emosinya tidak terkontrol.

"Aku akan ambil sekalian mengunjungi kalian, kapan-kapan." Aidan meneguk tehnya.

Semua yang berada di Cafe itu tidak terkejut dengan sikap dan tindakan Aidan yang tenang dan anggun bak bangsawan yang datang dari peradaban lalu, kenapa?

Karena di Akademi yang didirikan oleh Ere itu menjunjung sifat yang tenang dan anggun, jadi semua yang ada di sekolah itu seperti menjadi bangsawan kelas atas, dan karena itulah Akademi Ere itu menjadi Akademi paling populer meski ketat peraturannya.

Setelah selesai, mereka mengusap mulutnya dengan sapu tangan yang selalu mereka bawa, lalu berjalan beriringan keluar dari Cafe, berjalan menuju taman sekalian melihat-lihat sekitar Akademi.

Namun, entah beruntung atau terkena sial, mereka bertemu dengan dua kakak kelas yang tadi tidak sengaja ditabrak Ariella, Aidan segera berlari pelan sambil menarik Ariella, menjauhi dua orang yang dikabarkan Ere adalah reinkarnasi dari dua pelayannya itu.

"Mari kita anggap ini sebagai pertanda sial." Ucap Ariella duduk di bangku panjang di taman, di depan mereka, berjarak sekitar 10 langkah, ada air mancur dengan patung dewi keadilan.

"Patung dewi keadilan bukankah harusnya ada di pemakaman itu ya?" Tanya Aidan, Ariella mengangguk setuju, namun kemudian mereka menghiraukannya dan menikmati semilir angin sambil menatap langit.

Langit biru itu sama seperti rambut dan mata Ere, seketika, wajah si kembar tampak kesal setengah mati memikirkan pria menyebalkan itu. Dengan tenang, mereka kembali memperbaiki emosi dan ekspresi mereka, sambil menunggu bel berbunyi.

Namun entah karena bosan atau apa, si kembar malah sudah kembali ke kelasnya dan duduk di bangku bagian paling belakang, ingat saja, tinggi si kembar di usianya yang kini 12 tahun itu sudah 160 cm, berbeda dengan anak lainnya yang kebanyakan 140-150 cm.

Setelah duduk dalam keterdiaman, Ariella menyenderkan kepalanya ke pundak sang kakak yang lebih tinggi 5 cm darinya, menutup mata dan membiarkan angin masuk dari jendela yang berada di sisi lain sang kakak.

Ariella menutup mata, namun tidak berusaha tidur, poni dan beberapa rambutnya yang terurai tampak menenangkan.

Aidan menatap langit, menatap keluar jendela, rambutnya tampak terombang-ambing karena angin yang seperti arus laut, tenang namun menghanyutkan.

Hingga tidak terasa, bel pulang sudah berbunyi, Ariella memegang lengan sang kakak seolah takut jika dilepas, sang kakak akan hilang, jujur saja, ia masih trauma atas kematian sang kakak.

"Aidan, kita pulang jalan kaki, naik angkutan umum, atau tunggu mama saja?" Tanya Ariella dengan tangan kiri yang menyentuh dagu, sementara tangan kanan memeluk lengan sang kakak.

"Kurasa jalan kaki, bagaimana? Kau kuat?" Aidan mengusap surai pirang itu sayang, Ariella mengangguk senang.

"Ya!"

Mereka berjalan, lalu sampai di penyebrangan jalan, mereka menunggu lampu merah untuk bisa berjalan ke seberang.

Sekitar lima menit menunggu, lampu sudah merah, lampu yang menunjukkan orang berjalan berubah hijau, semua segera berjalan dengan terburu-buru, berbeda dengan si kembar yang dengan tenang berjalan.

Namun, mereka mendengar seseorang berteriak, menyuruh siapapun menyingkir, menyadari itu, Aidan membulatkan mata melihat mobil putih melaju dengan kecepatan penuh, dengan seseorang yang berteriak menyingkir dengan alasan rem yang blong.

Ariella berlari, mendorong beberapa anak kecil yang kemungkinan adalah orang yang akan tertabrak.

Mengetahui itu, setelah mendorong anak-anak itu hingga menjauh dan ditangkap oleh beberapa orang dewasa, Ariella membulatkan mata untuk yang kedua kalinya, Aidan dengan cepat memeluk Ariella agar benturan paling besar mengenai dirinya, bukan Ariella.

Dan suara tabrakan itu terdengar, beberapa orang berteriak histeris, langit yang sudah mendung menurunkan hujan, beberapa orang menatap horor, ketakutan, dan ada pula yang sibuk memanggil ambulan dan polisi.

Darah segar keluar dari kedua anak itu, Aidan berada di atas Ariella sambil memeluk sang adik, darah segar keluar dari tubuh keduanya, namun entah kenapa, darah Aidan lah yang paling banyak keluar, bisa saja...

Ia mati karena kehabisan darah.

Ariella dan Aidan sama-sama kesakitan, mereka banya terdiam, tidak ada yang bersuara, namun masing-masing dari mereka tahu, saudaranya sedang kesakitan, dengan tenaga yang tersisa, tangan kanan Aidan menyentuh tangan kiri Ariella, lalu menggenggamnya, seperti pasangan yang saling menautkan genggaman, berusaha menenangkan sang adik.

Ariella yang merasakan itu, segera menangis dalam diamnya, lagi, keduanya sama-sama meminta maaf dalam diam, Aidan, yang wajahnya berada di pertengahan leher Ariella, hanya bergumam, namun karena mulutnya dekat dengan leher Ariella, Ariella mendengarnya.

"Semua akan... Baik-baik saja..."

Suara sirine mobil polisi dan ambulan terdengar, suara itu adalah suara terakhir yang didengar oleh keduanya sebelum akhirnya, mereka menutup mata, kehilangan kesadaran karena banyak sekali darah yang keluar.

Lagi, biar diingatkan lagi, kebanyakan darah yang keluar adalah darah Aidan, jadi yang paling kritis diantara keduanya adalah Aidan.

Permohonan datang, berharap Aidan tidak meninggalkan Ariella lagi, permohonan yng sangat berharga bagi Ariella setelah di rumah sakit dan mendapatkan kesadarannya itu untuk sementara, setelah memohon pada tuhan, Ariella melirik Aidan yang dibawa dengan tempat tidur khusus pasien itu, dengan para perawat berlari, Ariella menatap, darah Aidan banyak sekali, bahkan dalam larinya para perawat, ada saja bercak darah Aidan di lantai, seolah memberitahu jalan ke ruang operasinya.

"Jika benar ada tuhan, tolong selamatkan Aidan, ini adalah permohonan pertama dan terakhirku di reinkarnasi ku ini."


.
.
.
.

Lelah memberitahu untuk voment...

Author - 2021

TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang