38. Makam

179 25 4
                                    

Gaun hitam itu tampak selaras dengan warna sekitarnya, lingkungan yang terasa seperti mati itu terlihat begitu gelap karena langit mendung, sebuket mawar hitam ia bawa, bersamaan dengan payung yang bercorak bunga mawar hitam pula.

Hanya suara langkah kaki mereka yang menghiasi lingkungan itu, memberikan nyanyian tanda berkunjung, langkah yang begitu pelan, seolah jika terus berjalan, ia akan bertambah berat, padahal, ia hanya tidak mampu bertemu seseorang yang kini tinggal nisan.

Suara langkah kaki terhenti, namun bukan pada tempatnya yang seharusnya, ia hanya ingin beristirahat dari bebannya ketika berjalan, perasaan berat yang masih tak terlupakan, sementara sisa rombongannya yang juga membawa buket bunga mawar hitam, hanya menatapnya dengan ekspresi wajah yang tidak bisa dibaca.

Mereka mengerti, perasaan kehilangan yang masih menyelimutinya, membuat nya tidak bisa tetap berjalan. Kembali, ia berdiri dan menatap patung dewi keadilan yang berbalut kain, dengan tangan memegang pedang dan tangan lainnya memegang timbangan yang beratnya sama persis.

 Kembali, ia berdiri dan menatap patung dewi keadilan yang berbalut kain, dengan tangan memegang pedang dan tangan lainnya memegang timbangan yang beratnya sama persis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Patung dewi Themis]

Melihat patung itu, sang gadis mengerutkan alisnya, lalu kembali berjalan dengan pedang yang selalu ia bawa, milik orang yang kini tinggal nama itu.

Sampai di makam orang tercinta, ia membulatkan mata, melihat ada seorang pria yang duduk menatap nisan itu, rambut yang terkuncir kuda dan berwarna biru keputihan itu terhempas, tetapi masih setia pada pemiliknya, baju hitam tanda berkabung menghiasi seluruh tubuhnya, pedang yang bertengger di antara pinggangnya membuatnya terlihat perkasa. Namun pekerjaannya adalah seorang informan.

Gadis itu mengetahui siapa pria yang duduk di depan makam orang tercintanya, teman yang sudah lama tidak ia temui, karena suasana hati yang masih tidak rela.

Gadis itu membuka suara, bertanya benarkah pria yang ada di depan makam orang tercintanya adalah sang teman lama.

"Ere?"

Pria itu hanya menengok kebelakang sebentar, tersenyum lemah, berusaha untuk saling menguatkan satu sama lainnya, mungkin.

Kembali, pria itu menatap nisan itu setelah menggeser tubuhnya sedikit untuk sang gadis, lalu menatap langit, kemudin menatap pedang yang bertengger di pinggang sang gadis, ia mengenali pedang itu, pedang kesayangan orang yang kini tinggal nama itu.

"Kau bisa ber-pedang, Ariella?"

Hanya sebuah anggukan kecil sebagai jawaban atas pertanyaan itu, lalu si gadis–Ariella menaruh buket bunga mawar itu di samping mawar putih yang dibawa sang teman lama. Tak lama, ia menjawab dengan suara pelan dan goyah itu.

"Aidan selalu mengajari ku pedang."

Setelah itu, tidak ada yang berbicara sama sekali. Hanya suara angin dan gemerisik pepohonan saja yang membuat suasana setidaknya tidak mati.

TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang