21. Masalah Sang Putri <1>

241 29 6
                                    

Aidan terbangun, sejenak, ia diam untuk mengumpulkan kesadarannya, ia lalu berdecak sebal dan mengoceh sendiri mengenai dirinya yang lagi-lagi tertidur di ruang kerjanya, di meja kerjanya, dengan banyak dokumen yang harus ia urus.

Ia berbalik menghadap jendela, matanya membulat hebat kala melihat salju turun di saat itu, ia baru sadar, ia kini sudah berada di akhir tahun, sudah mau tahun baru.

Ia menatap ke arah sekitar, memperhatikan seisi ruang kerjanya, banyak sekali foto keluarga kecil Aidan, foto Aidan bersama Ariella juga banyak, bingkai untuk prestasi menjadi duke nya, jangan ditanya, sangat banyak.

Ia lalu menatap ke arah pintu, selalu berharap mengenai seorang gadis yang berlari membuka pintu itu dan memeluk Aidan erat, lalu Aidan akan memarahinya tentang berlarian di Mansion.

"Ariella, sudah 4 tahun kau belum mau bangun? Kau sudah lama tertidur."

Ia berkata sendiri, di depannya ada sebuah hiasan seukuran telapak tangannya, berbentuk gadis kecil yang memeluk sebuah boneka kelinci yang lebih besar dari si gadis. Itu adalah hiasan pemberian Ariella kala ulang tahun mereka yang ke 10.

Pintu di ketuk pelan, Aidan menyuruh masuk dan terlihatlah Andreana yang membawa kue ringan dan teh hangat.

"Anda hari ini tidak memiliki jadwal, tuan." Ucap Andreana, Aidan mengangguk dan meminum teh nya, lalu menatap salju yang turun dari langit.

"Aku ingin ke Istana, memberi pelajaran berharga pada Adelio dan istrinya itu."

"Akan saya siapkan kereta kuda."

"Tidak, aku mau jalan kaki saja, minta Andrew bersiap-siap."

"Baik."

Andreana menunduk hormat dan pergi menemui saudara nya itu untuk bersiap.

Aidan sudah selesai mandi dan juga sarapan, lalu seperti biasa, menatap Ariella yang terlelap dan mengusap kepala nya pelan.

"Aku pergi." Ucapnya pada Andreana, lalu berjalan dengan Andrew yang berada di belakangnya.

Udara di kota sangat dingin, tidak banyak orang yang keluar rumah karena cuaca dan banyak pula yang pergi ke kampung halaman.

Aidan menatap ke arah pria tua yang terlihat kedinginan, terlihat bekas luka di tubuhnya, mungkin saja itu adalah luka karena dilukai orang lain.

"Andrew, beri pak tua itu uang, makanan, dan selimut."

Andrew mengangguk dan pergi ke toko-toko yang menjual apa yang dikatakan oleh Aidan, lalu memberikannya pada pria tua itu setelah diobati.

"Terima kasih nak, semoga kau selalu bahagia seumur hidupmu." Ucap pria tua itu, Aidan hanya tersenyum dan mengangguk, lalu kembali berjalan ke arah Istana.

"Bahagia? Kuharap itu bisa terjadi." Gumam Aidan di sela-sela jalannya.

--

Sampai di sebuah Mansion yang berada tidak jauh dari Istana, yaitu tempat tinggal Adelio dan istrinya, Andrew mengetuk pintu keras.

Terdengar suara omelan seorang pria yang kesal hanya untuk membuka pintu, suara yang asing, mungkin pelayan, pikir Aidan dan Andrew.

Cklek!

Pintu terbuka, menampilkan seorang pria yang memakai pakaian yang mewah, lalu menaikkan sebelah alisnya menunjukkan pertanyaan 'siapa kalian?'

"Siapa kau?" Aidan menatap pria itu bingung, ia sedang tidak mau ambil pusing dan awalnya berpikir pelayan, tapi tidak mungkin karena pakaiannya yang terkesan mewah, namun agak berantakan, seperti habis melakukan sesuatu yang berat.

"Aku adalah Count Alvian. Dan kalian?"

Aidan menatap Andrew, lalu Andrew menunduk kecil memberi hormat, membuat Count itu marah.

"Beraninya kau menunduk seperti itu! Lebih rendah menunduk nya kau dasar rakyat jelata!"

Mata Aidan membulat kesal, ia paling benci mendengar kata-kata rakyat jelata meskipun ia adalah seorang bangsawan, ia selalu tidak suka di bedakan karena posisinya yang bukan rakyat biasa.

"Hormat lah pada ku! Kau kira kau pelayan Duke jadi menunduk tidak hormat begitu! Kau–”

Mulutnya segera ditutup dengan tangan Aidan, jelas saja Aidan marah, tapi kemudian menghela napas menahan marah karena Andrew menyebut nama adiknya.

"Nona Ariella tidak akan suka ini."

"Hei pak tua, kau tahu tidak siapa aku hah?" Ujar Aidan masih menutup mulut Count itu, setidaknya ia memakai sarung tangan.

"Aku adalah Duke, kau tahu?" Tanya Aidan memperlihatkan lambang duke yang berada di penutup matanya yang tertutup rambutnya dengan sisa tangan lainnya yang pastinya tidak sedang memegang wajah Count itu agar diam.

Count itu langsung menciut takut, Aidan melepaskan tangannya dari mulut si Count itu dan melempar sepasang sarung tangannya yang sudah terkena mulut Count kepada pria tua itu.

"Rakyat jelata ya? Kau mau tidak merasakan hidup sebagai rakyat jelata?" Tanya Aidan yang terjongkok karena Count itu sangking takutnya sudah setengah tiduran, jika saja tangannya tidak menahan tubuhnya pasti dikira terkapar.

"Aku mengingat namamu loh, dan juga aku mengingat semua yang kau ucapkan, jadi bersiaplah menerima balasannya, tunggu saja." Bisik Aidan pada pria itu membuat Count Alvian benar-benar takut setengah mati.

"Andrew, jaga dia. Aku akan menemui Adelia, firasat ku mengatakan dia yang berbuat begini, sialan."

"Baik, tuan."

Andrew menatap pria yang terduduk di depannya jijik, bagai ia harus menjaga kotoran yang sangat bau.

"Perlu kau tahu, aku dan tuanku bukan rakyat jelata tapi membantu rakyat jelata, tidak sepertimu yang sampai menjilati sepatu orang yang lebih berkuasa agar kau bisa menjadi Count saat ini."

Sementara itu, Aidan menatap ke arah para pelayan yang terlihat takut-takut, Aidan mendekati mereka sambil memakai sarung tangan yang baru yang sudah di siapkan oleh Andrew.

"Ada apa ya?" Tanya Aidan menatap mengikuti arah para pelayan yang menatap putri sedang memilih-milih gaun, ia mengangkat sebelah alisnya bingung dengan kelakuan sang putri, salah seorang pelayan menjawab tanpa menatap ke arah Aidan.

"Putri selalu membawa seorang pria ke Mansion ini, Duke. Pangeran memang selalu pergi pagi dan pulang sore, dan saat pangeran pergi, putri pasti membawa seorang pria yang punya kedudukan tinggi dan melakukan em... Itu..."

Aidan mengangguk, lalu menatap ke arah Adelia yang sibuk memakai gaun putrinya, karena mendengar Aidan akan ke Mansion itu.

"Eh?! Du--!" Para pelayan terkejut melihat duke yang tersenyum ke arah mereka.

Belum selesai bicara, Aidan sudah menutup mulut mereka, lalu pergi ke arah dapur.

"Katakan dengan jelas, bagaimana Adelia melakukan hal itu?" Tanya Aidan penasaran, sejujurnya ia malas dengan masalah percintaan seperti ini, namun karena Adelio adalah sepupu nya, mau bagaimana lagi.

"Ini sudah ada sejak sebulan setelah mereka menikah..."

.
.
.
.

Up!

Author - 2020

TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang