46. Bandara

142 23 6
                                    

Aidan dan Ariella duduk di kursi yang disediakan untuk menunggu pesawat, Ariella memakan roti yang dibeli untuk mengisi perutnya, Ariella duduk sambil bersender pada sang kakak, saling berbagi earphone mendengarkan lagu selagi menghabiskan waktu luang.


Hingga Aidan membuka suara, kata-kata yang membuat Ariella semakin tidak ingin ditinggal oleh sang kakak.

"Jika kamu takut, kesepian, atau sedih, panggil saja namaku, telpon saja aku. Maka perasaan itu akan hilang."

Kata-kata yang membuat Ariella ingin pergi membawa sang kakak ke dunia yang hanya ada mereka berdua saja, namun tahu hal itu mustahil.

Dengan perasaan was-was, ia menggenggam tangan sang kakak erat, membiarkan lagu mengalun dalam pikirannya, menahan air mata, mereka hanya akan bisa bertemu satu tahun sekali, hanya pada tahun baru saja.

Lalu suara operator membangunkan si kembar dari lamunannya masing-masing, lalu kembali tenang ketika operator selesai berbicara, ia memberitahu penumpang ke Singapura, bukan Amerika, dan bukan pula Inggris yang menjadi tujuan si kembar.

Sudah hampir satu jam mereka menunggu, sementara orang tua mereka tidak bisa datang karena pekerjaan, bolehkah orang tua disebut kurang ajar pada anak-anak mereka sendiri, karena tidak datang ketika anak-anaknya harus ke luar negeri?

Namun si kembar merasa bahagia malah, menghabiskan waktu berdua selagi menunggu pesawat masing-masing terbang.

Jam menunjukkan pukul 12.45 siang, akhirnya operator berbicara, seolah untuk memisahkan si kembar yang ingin bersama lebih lama.

["Pesawat menuju Inggris di pintu A2 akan berangkat pukul 1.00 siang, diharapkan para penumpang menuju Inggris bersiap, sekali lagi–"]

Suara itu membuat si kembar murung, lalu Aidan berjalan sambil menyeret Ariella menuju ke arah pintu A2 dan langsung melepas genggaman tangan mereka, Aidan segera berbalik dan menatap sang adik dengan senyuman hangat yang tulus.

Ariella memang sedikit sedih, tapi kemudian Aidan mengulangi kata-kata nya tadi, dan membuat Ariella lebih semangat.

"Ella, aku ada sebuah mantra untuk membuat mood mu kembali baik." Ucap Aidan menggantungkan kata-kata nya, menunggu ekspresi yang akan dikeluarkan Ariella sebagai balasannya.

"Hm? Apa itu?" Ariella tampak penasaran, melihatnya begitu, tampak sangat polos nan cantik dimata semua orang yang menatap si kembar.

"Mantranya adalah, "Aidan". Itu akan membuatmu merasa lebih baik." Ucap Aidan tersenyum lima jari, membuat Ariella tersenyum bahagia dan langsung mengecup kedua pipi sang kakak bahagia, Aidan tidak terkejut lagi, bahkan di kehidupan lalu, Ariella sering melakukannya.

"Baiklah! Aidan!" Ucap Ariella semangat, Aidan mengusap kepala sang adik, lalu mengecup puncak kepala Ariella menyalurkan rasa sayang.

Ariella segera masuk ke dalam pesawat setelah memberikan tiketnya, sebelum masuk, Aidan menatapnya dengan sebuah senyuman kecil, Ariella yang melihat itu langsung berkaca-kaca dan memeluk Aidan, meski sedikit terkejut, namun Aidan segera membalas dengan sebuah pelukan yang menenangkan Ariella.

Setelah itu, Ariella langsung berlari di lorong pesawat, lalu segera mengambil tempat duduk dan melihat ke jendela, matanya seketika membulat, ia terkejut dan menyenderkan kepalanya di bawah jendela.

Aidannya yang terlihat kuat, menunduk menangis, lalu berjongkok melanjutkan tangisnya, dengan koper merah di sampingnya sebagai saksi bisu atas tangisan itu.

"Aidan..."

Pesawat pun berangkat, Ariella menggenggam gantungan kunci boneka berbentuk Aidan erat, Aidan sendiri yang membuatnya bersama Ariella untuk mengenang satu sama lain selagi mereka berjauhan.

"Aidan... Jaga diri..." Ucap suara hati Ariella yang meraung-raung sedih, harus meninggalkan satu sama lain.

Sementara itu,

"Ariella... Jaga diri..." Ucapan yang sama namun dari orang yang berbeda, ia memegang kaca yang memisahkan dirinya dari dunia luar, menatap kepergian pesawat yang ditumpangi Ariella sambil melamun, hingga operator mengagetkannya.

Operator mengatakan sesuatu tentang Amerika dan pintu A1 dengan penerbangan jam 1.45 siang.

Aidan dengan sedikit terburu-buru segera berjalan menuju pintu seperti yang dikatakan operator.

Ia segera menaruh kopernya dan membawa tas punggung yang ia pakai hanya sebelah kanan. Setelah memberikan tiket, ia segera masuk ke dalam pesawat, dan memilih bangku yang dekat dengan pintu keluar dan dekat jendela.

Dalam jarak pandangnya, ia melihat Bandara yang digunakannya untuk ke Amerika, Bandara yang sangat besar.

Aidan tersenyum miris, harus berpisah dengan Ariella selama 3 tahun bukanlah hal yang mudah. Namun ia berjanji pada dirinya sendiri, mereka akan bertemu lagi saat SMA, dan memilih pilihan Universitas yang berbeda, Aidan Harvard dan Ariella Oxford.

Bukan tidak mungkin mereka masuk ke sana, mereka adalah salah satu pemimpin Kerajaan di kehidupan lalu, jelas saja mereka pintar.

Namun tiba-tiba,

Pesawat yang ditumpangi Aidan bergetar dan entah karena apa, sebuah suara yang sangat besar membuat Aidan terkejut, lalu melihat keluar jendela.

Tabrakan pada pesawatnya, keluar dari Negaranya saja belum, sudah ada tabrakan pesawat, jantung Aidan terpompa cepat, bahkan ia tidak akan sanggup jika loncat dari pesawat yang sudah di langit, sama saja bunuh diri.

Ia hanya berdoa pada tuhan yang tidak pernah mempedulikannya, berharap tuhan mau memberikan setidaknya satu perhatian kecil saja pada dirinya.

BBBBBBBRRRRRRRAAAAAAKKKKK!!!

••••

["berita singkat, baru saja terjadi tabrakan pesawat pada pesawat menuju Amerika dan pesawat yang baru kembali dari Malaysia. Untuk saat ini, jumlah korban masih belum diketahui, tabrakan diketahui terjadi pada pukul 1.55 siang. Sekian informasi dari Bandara xxx kami laporkan."]

Mata Ariella membulat, seluruh penumpang menuju Inggris tampak terkejut, pesawat menuju Inggris dibatalkan dan dipulangkan kembali ke Negeri asal.

"Jangan lagi, Aidan!" Teriak Ariella setelah mengambil kopernya dan berlari diantara kerumunan orang-orang yang menatap keluar bandara, banyaknya ambulan dari berbagai rumah sakit terdekat tidak bisa dihitung lagi, Ariella menangis, dan menubruk beberapa orang, namun ia tetap berlari menuju keluar bandara, hingga terjatuh karena tersandung sebuah tas kecil, ia menatap tas itu lalu membulatkan mata.

Itu adalah tas milik Aidan, ia mengetahuinya dari gantungan yang bertengger di tas itu, boneka yang tertutup darah, hingga tidak tersisa warna dari boneka itu.

Ariella memeluk tas itu erat, duduk dan menangis sekencang-kencangnya, memanggil-manggil nama Aidan meski tahu orangnya tidak akan datang.

"Aidan pembohong... Katanya jika aku panggil nama Aidan... Aku akan merasa tenang... Tapi kenapa... Ini terasa sangat sakit?" Tanya Ariella di sela-sela tangisnya.

"Ariella!" Ucap Ere yang langsung datang dan memeluk gadis 12 tahun itu.

"Ere... Aidan... Aku mau ketemu Aidan..." Tangisnya dalam pelukan 'teman lama' nya itu, Ere hanya menganggukkan kepalanya mengerti, ia juga menangis, lagi, Aidan meninggalkan sang adik lagi.

"Jika aku bertemu Aidan, aku pasti akan memukul kepalanya itu, karena telah meninggalkan adiknya lagi." Ucap Ere, entah menghibur Ariella atau menghibur dirinya sendiri, ia tidak tahu, tidak ada yang tahu.

"Ayo ke rumah sakit, aku tahu Aidan berada di rumah sakit mana." Ere mengusap air matanya sendiri, Ariella mengangguk.

"Aidan... Harus hidup!"




Vote komen,  jaa ne.

Author - 2021

TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang