47. Setelah Kesedihan, datanglah Kebahagiaan

148 26 8
                                    

"Dear, Aidan...

Sudah satu tahun ternyata, aku tersiksa di neraka yang di namakan kehidupan ini, namun ketika aku melihat wajahmu yang terbaring dengan damai itu, aku jadi merasa lebih dan lebih baik, kuharap aku bisa bertahan lebih lama tanpamu.

Melihat kue ulang tahun dan meniupnya sendirian tanpamu, aku merasa sesak. Ketika melihatmu yang baru selesai di operasi dengan banyak perban, aku merasa sesak. Ketika melihat perban di tubuhmu kembali merah di tambah wajah kesakitanmu itu, aku merasa sesak.

Aku terus menunggumu, selama satu tahun ini aku terus menunggumu, tapi kenapa... Kau tidak pernah membuka mata dan memanggil namaku lagi? Aku takut, takut kita terpisah lagi, seperti yang lalu. Aku harap Tuhan melihat kesungguhan kita untuk terus hidup, tapi kenapa Ia selalu memunggungi kita?

Aku tidak bisa tenang, hidupku menggelap, lagi. Kenapa Tuhan membenci kita? Kenapa kau tak pernah bangun dan tersenyum menenangkanku yang menangis? Aku lagi-lagi takut, takut akan kemungkinan terburuk dari segala kemungkinan, yaitu kau meninggalkanku, lagi.

Aku selalu melakukan hal yang selalu kau katakan, tapi akhir-akhir ini, mantra itu sudah tidak manjur lagi, jadi yang kulakukan hanya menatap fotomu yang terbaring dalam damai di ponsel, sementara aku bersekolah di tempat yang kau katakan, Inggris.

Padahal katanya kau akan segera sadar, dari satu tahun lalu dokter mengatakannya. Penipu memang, penipu tetaplah penipu, ia hanya ingin uang dan kekayaan, sementara ia padahal menanggung dosa yang tak terhitung banyaknya.

Semakin lama, aku semakin pintar dan mengenal Inggris loh, aku ingin memamerkannya padamu, tapi sayang kau tidak bisa menjawab. Meski dokter bilang kau bisa mendengarkanku, tapi aku tetap saja menulis, aku memang bodoh ya?

... Kuharap kamu segera bangun, bangun dari tidur lelapmu yang tidak mempedulikan kehidupanku ini, apa kamu suka melihatku tersiksa? Karena itu, cepat bangun dan kita minum teh lagi, ya?

Aidan... Aku menyayangimu sepenuh hatiku, dari adik manismu, Ariella."

--

Jder!

Suara dari kilatan petir tidak lagi menganggu, hanya ada ketenangan dalam ruangan bernuansa putih dengan tanda di pintu VVIP itu. Lagi, suara Elektrokardiogram meramaikan ruangan yang sepi itu, namun orang disana tampak tidak menghiraukan suara atau wangi apapun yang dikeluarkan dari pewangi ruangan.

Matanya menatap kosong langit-langit ruangan itu setelah membaca surat itu dan kini hanya menatap langit-langit ruangan itu dengan pandangan kosong yang memiliki sebuah makna, 'kerinduan akan seseorang'.

Hingga seorang dokter masuk ke rungan itu, tanpa menyadari hadirnya dirinya karena tertutup gorden putih yang menjuntai menutupi pasien yang sedang terbaring–ia sendiri dengan dokter yang tanpa tahu malu menyumpah-serapahi pasien dan tugasnya itu yang diminta untuk mengunjungi pasien tersebut, untuk melihat apakah pasien sudah sadar atau belum.

"Pasien hina ini menggangguku menghitung uang saja! Mati saja sana cih! Br*ngs*k, untung anak konglomerat!" Ucap dokter itu dan tanpa kata permisi, membuka gorden yang mengelilingi pasien dan terkejut hingga terjatuh ke lantai, mendapati sang pasien yang menatapnya kosong, mendengarkan semua cacian yang memang ditujukan kepadanya oleh dokter itu.

Dengan takut-takut, dokter itu menunduk, tidak-tidak... Lebih cocok dibilang bersujud dan meminta maaf dengan badan bergetar, dalam tangan penuh alat-alat kesehatan itu, sang pasien hanya memegang surat tanpa berkata-kata, tidak memiliki energi yang cukup karena selama satu tahun itu ia hanya terbaring lemah dan belum makan apapun.

TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang