9. Bermain (1)

431 49 2
                                    

Aidan POV.

Hari mulai gelap, lembar demi lembar halaman mulai di balik, aku duduk di ruanganku, di sinari cahaya bulan, aku membaca sebuah buku tua, yang sangat kusuka.

Dalam halaman terakhir di buku itu, sebuah bagian yang paling kusuka, selalu kubaca berulang kali, hingga kukira aku sudah menghafal halaman terakhir itu.

'pada pagi hari setelah melempar kantung koin, Aretha dan suaminya ditembak oleh Viscount Zahab dan istrinya, kemudian kedua Duke itu meninggalkan kedua anak kembarnya. Lalu sepasang Viscount itu pun meninggal karena bunuh diri.

Di tempat lain, sebuah Mansion terbakar dengan hebatnya, hanya meninggalkan sisa-sisa tumpukan buku yang terbakar dan sisa puing-puing dari Mansion itu. Kedua anak itu serasa diingatkan sebuah pepatah,"sudah jatuh tertimpa tangga".

Dan itulah kisah akhir dari buku kehidupan seorang Aretha, istri dari Duke Arden dan ibu dari Aidan dan Ariella.

Ditulis oleh : Aidan'

Hingga suara ketukan pintu mengagetkan ku dari lamunanku, aku menyuruh orang itu masuk, kemudian pintu ruang kerjaku pun terbuka, menampilkan sesosok pelayan pria membawa troli makanan dan mendekatiku, aku hanya menatapnya dalam diam, pelayan itu tersenyum kecil.

"Bukankah lebih baik saya menyalakan lampunya?"

"Tidak perlu." Jawabku cepat, pelayanku itu–Andrew segera menaruh kue ringan di meja kerjaku, dan sebuah cangkir putih, kemudian menuangkan teh kedalam cangkir itu beserta gula.

"Silahkan tuan muda, anda tidak istirahat saja?" Tanya Andrew dengan senyuman tanpa dosanya itu setelah mengangguku membaca, aku menggeleng, lalu menggeser kursi ku agar menghadap ke arah jendela besar yang berada di belakangku.

Aku menatap langit malam, bulan sabit tampak sangat indah, namun sayangnya, hanya ada beberapa bintang yang menemani bulan dengan langit malam itu.

Mataku tidak berhenti menatap ke arah bulan itu, lalu aku bangkit dan mengambil jas kecil milikku, segera setelah meminum teh tentunya.

"Andrew, siapkan keberangkatanku dan Ariella selama 1 hari dalam 20 menit, mulai dari sekarang." Ucapku, Andrew hanya tersenyum dan langsung pergi, aku kembali duduk menghadap jendela besarku, aku membuka jendela itu, angin malam menerpa ruangan gelapku, tirai hitam transparan terbang tertiup angin.

Sementara itu, aku duduk dengan tangan kanan memegang buku yang diletakkan di pahaku dan tangan kiriku untuk menopang dagu.

Aku membaca buku tua lainnya, dengan kisah berbeda, namun tetap kusuka bagian akhirnya, kisah hidup seseorang, yang di tuliskan dalam sebuah buku.

Hingga pintu kembali diketuk, aku membiarkan orang itu masuk.

"Kapan kita bermain?" Tanya Ariella setelah melompat dan memelukku erat, kini Ariella duduk menyamping menatapku dengan wajah polosnya itu.

"Aku sedang menyuruh Andrew mempersiapkan segala keperluan." Aku menatap ke arah Ariella yang menatapku dengan mata berbinar nya, ia senang, itu yang kupikirkan.

"Bagus! Aku akan bersiap-siap juga!"

"Ya." Ariella segera pergi, kini tinggal aku sendirian, lagi.

Dalam kesendirianku ini, aku pernah, atau mungkin selalu berpikir, 'bagaimana jika aku ditinggal lagi? Namun hanya aku sendirian yang tersisa, bisa apa aku?' pikiranku selalu menjadi-jadi ketika sedang sendirian, jika dipikirkan lebih mendasar, aku ini hanya bocah 12 tahun yang harusnya masih mendapat kasih sayang orang tua.

Namun takdir bicara lain, aku yang masih 12 tahun ini, harus menjadi seorang kepala keluarga, menjadi seorang yang penting bagi kerajaan, seorang Duke, seorang panutan bagi rakyat, dan seorang kakak yang baik untuk adiknya, tiap yang kuputuskan demi kepentingan bersama, ingin kulepas semua beban ini, setidaknya sehari saja.

Dan aku melepasnya dengan bermain, sebuah permainan biasa, yang dimainkan orang yang luar biasa... Liciknya. Memainkan perasaan orang, kemudian menghancurkan masa depan orang itu, sungguh permainan yang menyenangkan bukan?

"Tuan muda, semua sudah diatur."

Aku segera berdiri, dan berjalan mendahului Andrew yang mengikutiku dari belakang.

"Bagaimana dengan Ariella?" Tanyaku selalu mendahulukan adik kecilku itu,  Andrew menunduk dan menjawab.

"Hanya anda yang belum naik, tuan muda."

"Baiklah, mari kita bersenang-senang." Aku tersenyum menatap langit malam, lalu masuk ke dalam kereta kuda.

Selama perjalanan, aku mengisi waktu luang itu dengan tertidur, sebuah tidur yang sangat lelap.

"Selamat malam Aidan." Ujar Ariella dengan sebuah senyumn manis.

"Malam." Jawabku cepat.

.
.
.
.

Vote komen ga?!

Author - 2020

TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang