27. Piknik

224 22 2
                                    

Aidan POV.

Nyaman.

Hangat.

Tenang.

Perasaan yang sudah lama ku lupakan. Rasa saat angin sepoi-sepoi menyapu rumput dan membuat rambutku berantakan, perasaan saat telingaku seolah bisa mendengar suara gemericik rerumputan liar yang tergerak karena angin.

Hidungku ketika mencium aroma yang sangat enak, aroma kue yang masih hangat, serta teh yang mulai mendingin. Perasaan saat ketika aku membuka mata, hal yang kulihat adalah langit biru dengan awan yang memberiku senyuman. Jika aku melirik ke kanan, ada bunga-bunga dan rerumputan liar yang menari bersama.

Saat melihat ke kiri, aku melihat Ariella yang tidur beralas rerumputan, jika kulihat lebih jelas, ada pohon yang menghalangi sinar mentari agar tidak menyilaukan mataku.

Perasaan lembut yang memegang tanganku kuat, begitu pun aku yang melakukan hal yang sama, seolah jika di lepas maka akan pergi dan lupa kembali.

Kini, aku tidak perlu lagi menutup mata kananku, tidak perlu menyembunyikan luka yang berada di mataku. Aku bisa mendengarnya, suara air dari sungai yang sudah siap pergi ke lautan. Suara kincir air yang bersentuhan dengan air sungai yang dingin, membuat suasana hari ini begitu menyenangkan.

'Tak! Tak!' Suara bambu yang digunakan di samping kincir air, menunggu isi dalam bambu penuh dan mengeluarkan air, lalu mengisi kembali, dan di keluarkan kembali.

'Srak!' Suara ranting-ranting pohon yang menyatu dan membuat daun-daun terbang mengejar angin. Suara rumput yang tersapu angin, serta bunga-bunga liar yang membiarkan kelopaknya mengikuti angin lalu.

Aku kembali menutup mata, membiarkan perasaan ini mengalir dengan tenang, perasaan hangat yang ku rindukan, serta senyuman yang membuat semua nya terasa lengkap.

Rambut panjang itu hampir saja mengikuti angin lalu, namun teringat pemiliknya yang belum memperbolehkan rambut-rambut itu pergi meninggalkannya.

Sebuah buket bunga mawar putih masih menunggu di bawah pohon, membiarkan kami tertidur dalam kenyamanan ini.

Suara beberapa langkah kaki orang-orang membuatku sedikit sedih, karena tidak membiarkan indra pendengaran ku segar kembali. Suara itu semakin dekat, tetapi aku tetap enggan membuka mata, hingga suara yang familiar membuatku harus membukanya.

"Kenapa kau tidak memberi tahu kami kalau Ariella sudah bangun?" Ucap seorang pria paruh baya yang sangat ingin kuhindari hari ini.

"Tidak semua yang kulakukan atau ku lihat harus kuberi tahu padamu kan, Raja?" Tatap ku masih dalam posisi tiduran, namun Ariella memelukku dari kiri dan masih tetap terlelap.

"Ini kan Ariella, dia Duchess di kerajaan ini, tidakkah kau paham, Aidan?" Ucap Raja membuatku kesal takut Ariella terbangun karena bising, jadi aku menempelkan jari telunjukku pada bibir membuat gerakkan isyarat agar Raja diam.

'Srak!' Tikar piknik terhempaskan, lalu menyentuh rerumputan, aku melirik dan melihat Ratu serta kedua anaknya itu bercanda ria. Dua anak? Ya, Ratu memiliki 2 anak. Anak pertama yang kini menjadi putra mahkota dan anak kedua yaitu Adelio.


Aku melirik ke arah Ariella, ia masih tidur dengan pulas dan nyaman, tampak tidak terganggu dengan suara-suara yang diciptakan keluarga kerajaan itu dan tetap bersenang-senang di alam mimpi nya.

"Aidan!" Suara putra mahkota membuatku kesal, lalu menatapnya tajam seolah mengatakan "diam agar Ariella tetap tidur atau ku bunuh kau!"

Lalu kemudian aku mengangkat sebelah alis memandakan bertanya 'ada apa?', lalu putra mahkota–Edgar hanya tersenyum dan mengangkat sepiring panekuk. Aku menyodorkan tanganku padanya yang memang berada tepat di sampingku. Ya, keluarga kerajaan itu berpiknik tepat di samping ku dan Ariella yang juga sedang berpiknik.

"Bangun kan Ariella dong, aku ingin melihat dan mendengar suara merdu nya." Ucap Edgar, aku segera mencubit pinggangnya tanpa ampun hingga ia memekik sakit.

"Mesum. Kau sudah 22 tahun kenapa belum menikah? Gila kerja." Ejek ku malas. Siapa sangka kata-kata barusan membuatnya kesal.

"Heleh, kau yang masih 17 tahun juga kenapa gila kerja heh?"

Aku tersenyum sinis, lalu menjawabnya dan membuat Edgar semakin kesal.

"Setidaknya aku bukan dirimu yang pergi ke tempat hiburan dan menggoda para gadis, lihat berapa banyak benih yang sudah lahir dan kenapa tidak sekalian kau jadikan selir saja?"

"Nanti reputasiku buruk tuan muda, tolong rahasiakan." Ucapnya halus, mungkin takut kalau aku memberi tahu publik.

"Kalau begitu puta mahkota, bisa kau jangan ganggu? Aku sedang dalam masa senggol bunuh soalnya, hahaha." Ucapku tertawa yang sangat jelas di buat-buat.

"Baik tuan, hahaha." Jawab Edgar juga menggunakan tawa palsu, lalu kami tertawa dan itu membuat Ariella terbangun.

"Eh, ada keluarga kerajaan? Aidan kenapa tidak bangunkan?" Tanya Ariella mengucek matanya dan menguap, lalu aku bilang datar.

"Mereka di sini bukan sebagai keluarga kerajaan, tetapi sebagai keluarga paman dan bibi kita."

"Oke.... Eh itu puding kan? Mau dong!"

Yah... Meski berisik tapi setidaknya ada senyuman Ariella dan kehangatan di sana, aku senang adikku sekarang bisa tersenyum dan tertawa lagi.

Bahkan jika aku terlalu over protektif pada Ariella, tidak apa-apa asalkan aku bisa melihat senyuman Ariella.

Karena aku adalah keluarganya.

TBC

.
.
.
.

Etto... Vote dan komen.

Author - 2021

TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang