39. Akhir dari Seorang Ariella

249 24 2
                                    

Ah... Ternyata sudah satu tahun aku tersiksa atas kematian mu, dan sudah satu tahun pula, aku tidak pernah lagi tersenyum, maaf.

Hei, aku ingin sekali ikut denganmu, dan meraih mu yang sudah jauh di sana, aku takut sendirian.

Hei, kau pasti bertanya, kenapa aku melakukan ini?
Yah, aku juga tidak tahu, kenapa aku terus menulis dalam buku kosong yang kau berikan ini. Aku bingung, kenapa aku selalu menulis jika aku merindukanmu, seolah buku ini adalah teman yang selalu mendengarkan keluh kesah ku.

Aku sudah terlanjur nyaman bersama mu hingga aku tidak memikirkan jika aku ditinggal dirimu. Berat rasanya hingga kupikir lebih baik mati.

Selesai ia menulis, Ariella menutup bukunya dan menatap lukisan lama Aidan, sebuah senyuman hangat ia layangkan untuk lukisan besar itu. Lukisan dimana Aidan tersenyum hangat, melupakan bebannya sebagai seorang Duke. Lukisan yang besarnya hampir sama dengan dinding. Satu lukisan adalah Aidan, satu lagi lukisan di samping lukisan Aidan adalah Ariella.

Ariella memegang bingkai lukisan besar itu, yang meski sudah lama tetap terlihat bersih karena selalu dibersihkan oleh Ariella.

Senyuman hangat itu kini tinggal kenangan saja, tidak tahu kapan ia akan melihatnya lagi. Kini ia sendiri, tidak bisa memegang tangan sosok dari lukisan itu lagi.

Ditamparnya kedua pipinya untuk melupakan sejenak masa lalunya, ia lalu membuka jendela ruangan itu, membiarkan angin sepoi-sepoi datang kearahnya untuk menghibur dari masa lalunya.

"Aidan, aku menyayangimu juga."

--

Malam begitu larut, suara piano menggema dari kamar yang bernuansa hitam gelap, dengan hanya diterangi cahaya bulan, ia memainkan (menekan) tuts-tuts piano yang ada di hadapannya itu sesuai instingnya, hingga terdengarlah sebuah lagu yang begitu menyedihkan, menyayat hati, meski tidak ada suara nyanyian seseorang, namun bisa dirasakan kesedihan itu meski hanya dengan mendengar piano itu.

Namun, saat tinggal beberapa tuts terakhir, lagu tiba-tiba berhenti, tidak ada suara selain napasnya yang tampak menahan tangis, ia mencengkram roknya dengan tangan lain menutup mulutnya sendiri, berusaha menyembunyikan suara tangisnya, cukup ia saja yang masih bersedih, tidak dengan orang lain di Mansion itu yang sudah mulai tersenyum.

Kenapa ia menangis?

Pikirannya kacau, ia sendiri bingung, hingga akhirnya ia membuka jendela yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempatnya memainkan piano, menatap langit malam sebelum indra penciumannya menangkap bau yang familiar, sesuatu yang terbakar dari arah depan Mansion.

Ia menatap ke arah halaman depan Mansion, lalu melompat melewati jendela yang tingginya tidak seberapa itu, untung ia ada di lantai satu, jadi ia bisa segera menemui pelakunya.

Ketika ia sampai di halaman depan Mansion, tiba-tiba suara tembakan revolver dari arah belakangnya membuatnya terkejut, lengan kirinya tertembak, ia meringis, tapi ditahan, berusaha melawan dan dor! Revolver dari tangan si pelaku diambil, lalu ia menembak rekan si pelaku, dan membunuh orang yang menembakinya itu.

Semua pelayan segera keluar melewati pintu belakang Mansion, lalu berlari ke arahnya, namun tidak ada yang melihat kedua pelayan pribadi sang tuan. Ia meminta pelayan pergi, mencari majikan baru, berkata sambil tersenyum hangat.

"Karena aku yakin, aku tidak akan selamat."

Ia berlari memasuki Mansion dan mencari keberadaan pelayan bersaudara itu, lalu menemukan mereka di kamar itu, kamar bernuansa gelap milik orang tersayangnya.

"Kenapa kalian tidak keluar?" Ucapnya tenang seraya memegangi lengan kirinya yang berdarah.

"Karena kami sudah memiliki terlalu banyak dosa, urusan kami di dunia juga sudah selesai." Andrew dan Andreana tersenyum ramah seperti biasa, tidak memperdulikan panasnya malam itu karena kebakaran.

"Betul juga. Lagipun, semakin lama aku hidup semakin aku tersiksa atas kematian Aidan."

Ia membalas senyuman kedua pelayan itu dengan senyuman yang menenangkan, lalu kemudian matanya tertutup karena menghirup asap, dan kini, berakhirlah sebuah kisah dari seorang Ariella. Wafat karena terbakar dan pendarahan di lengan kirinya, pada jam 10.30 malam, sama seperti Aidan.

Ariella ingat, hari itu adalah hari kemarian Aidan yang juga wafat apada jam 10.30 malam, dengan alasan terlalu banyak menghirup asap bekas ledakan.

Ariella tersenyum dalam kematiannya, meninggalkan masa lalu yang tidak akan pernah diingat siapapun, dan tidak akan ada yang akan menemui makamnya, sama seperti Aidan, kini, ia yakin tidak ada yang mau menemui makam sang kakak.

Ah... Mari lupakan urusan itu, biarkan itu diurus oleh keluarga kerajaan dan Ere. Mari menikmati rasa panas yang membakar ini.

Biodata singkat :

Nama  : Ariella
Lahir   : 17 Februari xx (anak ke-2)
Wafat : 17 Februari xx pada usia 18 tahun Penyebab kematian :  menghirup asap kebakaran dan luka tembakan di lengan kir

Nama  : Aidan
Lahir   : 17 Februari xx (anak ke-1)
Wafat : 17 Februari xx pada usia 17 tahun
Penyebab kematian : menghirup asap kebakaran, ledakan.
















































.
.
.
.

Vote  dan komen pls.

Author - 2021

TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang