16. Lagi, Orang yang Kucintai Pergi

281 31 4
                                    

Tangisan itu sangat nyaring, tangisan yang tidak bisa dihentikan siapapun, hujan yang sangat deras bahkan tidak bisa menyembunyikan suara itu, tangisan dan teriakannya bagai nyanyian di siang dengan hujan itu, meski sangat tidak merdu.

Tangisan itu pun reda ketika hujan ikut reda, berganti dengan kemarahan yang makin dan semakin besar, sebuah kalimat yang biasa, namun memiliki arti yang sangat mendalam, terlebih ketika ia mengucapkannya dengan angkuh.

"Aku akan balas dendam demi Ariella pada mu, Sage dan Daisy, silakan menunggu balas dendamku dengan ketakutan."

.
.
.
.

Kembali, Aidan tersenyum menatap Ariella yang berlarian di taman yang luas itu, mengejar kupu-kupu yang berlalu-lalang tanpa izinnya.

Ariella pun berhenti berlari, lalu kemudian menutupi kedua wajahnya, jelas sekali terlihat kalau Ariella menangis, sebuah tangisan yang terlihat jelas oleh Aidan penyebabnya.

Ariella segra berlari dan memeluk Aidan yang berdiri tak jauh darinya, Aidan mengusap kepala adiknya pelan, lalu membiarkan Ariella menangis sepuasnya.

"Hari ini, hari kematian mama dan papa, aku tidak mau ke makam, aku tidak mau mengingat semua nya."

"Kalau tidak mau tidak usah, tidak apa-apa, jangan menangis ya?"

"Hu-um!"

Aidan mengusap bekas air mata yang belum membasahi pipi, air mata itu masih setia bertengger di pelupuk mata, takut meninggalkan tetesan lainnya.

Aidan menatap ke langit siang, lalu menutup matanya untuk beberapa detik, membiarkan angin mengusap wajahnya itu.

Aidan kembali membuka mata dengan Ariella yang masih di peluknya, hingga ia sadari, Ariella kini tertidur dalam pelukannya, sambil berdiri... BERDIRI?!

Aidan langsung mengangkat adiknya dan menggendongnya ala pengantin(bridal style) dan segera masuk ke Mansion besar itu. Lalu menidurkan Ariella di kamarnya(Ariella).

Akhir-akhir ini memang Aidan dan adiknya sering mengunjungi banyak tempat, lalu dokumen-dokumen tentang kerajaan yang mesti di urus Aidan dan adiknya juga tak bisa dibilangs sedikit, melelahkan sekali, dalam sekejap, Aidan juga tertidur dalam duduknya, kepala yang di sembunyikan di kedua tangan yang terlipat di pinggiran kasur sang adik, Aidan tertidur lelap.

Hanya membutuhkan 30 menit hingga mata Aidan kembali terbuka, ia mengusap matanya pelan dan menarik selimut Ariella hingga dada sang adik dan mengusap kepala nya pelan.

"Jangan tinggalkan aku, karena kau sangat penting bagiku."

Aidan keluar dari kamar adiknya untuk melanjutkan tidur di ruang kerja nya. Maksudku kembali bekerja.

Jam di ruang kerja Aidan menunjukkan pukul 12 siang, Aidan segera berjalan ke kamar adiknya untuk memastikan Ariella baik-baik saja.

Pintu terbuka, Aidan masuk ke kamar adiknya setelah mengetuk pintu tiga kali dan masuk ke dalam.

Ariella sedang duduk sambil mengusap matanya pelan, memberi tahu bahwa ia baru saja terbangun dari tidurnya.

Ariella tersenyum kecil pada kakaknya dan menguap. Aidan berjalan mendekati adiknya dan mengusap kembali kepala Ariella.

"Sudah bangun ternyata, ayo makan siang dulu."

"Aidan..." Ariella berucap dengan suara serak khas baru bangun tidur itu. Aidan menatap dengan sabar menunggu perkataan selanjutnya dari sang adik.

"Makan di luar yuk... Aku mau makan panekuk buatan restoran."

Aidan hanya mengangguk tidak terkejut sama sekali, Ariella akan selalu mengejutkannya, itu hal yang lumrah bagi duke muda itu.

"Baiklah, biarkan pelayan menyisir rambutmu dulu dan cucilah muka mu itu, aku akan menunggu di ruang kerjaku, oke?"

"Oke! Makasih Aidan!"

"Iya iya."

Setelah bersiap, dengan kereta kuda, keduanya dengan perjalanan nya ke kota untuk makan di restoran, mencari yang menjual panekuk.

Ariella menatap sekitarnya dengan perasaan senang, hingga suara petir mengejutkannya, seketika, Ariella langsung memeluk lengan Aidan, seolah mengatakan bahwa ia ketakutan dengan suara itu, dalam hati, Aidan sudah melakukan sumpah serapah karena ia benci hujan.

Aidan menutup matanya pelan, lalu menatap langit yang memang mendung, namun kali ini, firasatnya tidak enak mengenai perjalanan ini, hingga suara kuda mengejutkannya dan Ariella, juga Andreana yang berada di hadapan kedua bersaudara itu, terlebih Andrew yang juga sedikit bingung padahal tidak ada kuda di depannya, ketika Andrew menghadap ke belakang kereta kuda, mata nya membulat seketika.

Kuda itu liar, dengan kereta kuda yang melaju mengikuti kuda kereta itu, Andrew segera berteriak pada adiknya.

"Jaga kedua bersaudara!!!"

Tabrakan tidak terelakkan, beberapa orang disana menjadi korban hancurnya dua kereta kuda. Andreana terluka parah, Andrew mengalami patah tulang di kaki kiri nya dan luka memar serta goresan yang berada di seluruh tubuhnya.

Aidan yang dengan cekatan memeluk Ariella, namun kemudian kuda itu berdiri terhuyung dan dengan ketakutan menginjak-injak semua yang berada di dekatnya, termasuk Aidan, Ariella dan Andreana.

"Sayang!" Suara itu mengejutkan Aidan, ia tahu persis siapa kedua orang lainnya yang juga tertabrak, ia adalah bangsawan bernama Sage dan istrinya Daisy, hanya bangsawan biasa tanpa tingkatan posisi dalam kerajaan.

Kedua orang itu melarikan diri, beberapa warga bahkan ada yang juga terluka parah akibat tabrakan itu, kuda yang liar itu segera jatuh dengan banyak darah yang keluar dari perut nya tanpa alasan yang jelas, samar-samar, Aidan melihat Ariella yang penuh dengan darah dan Andreana yang sudah terkulai lemas dengan sebelah tangan memeluk Ariella dan sisanya tak terlihat karena ia menghadap Ariella.

Aidan juga terluka agak parah, namun masih bisa bergerak walau tahu itu sakit.

Air hujan mengguyur daerah itu, membuat beberapa luka semakin terasa sakit terkena tetesan hujan, beberapa warga memanggil petugas dan dokter yang ada, Aidan dengan pelan bergerak karena kaki kirinya tak bisa ia gerakkan, patah.

Ia dengan pelan menuju ke arah adiknya sambil menangis sedih, lalu memeluk tubuh lemas sang adik, dengan berkali-kali mengucap nama orang yang dalam pelukannya itu.

"Ariella! Tolong Ariella... Tolong selamatkan... Aku mohon jangan pergi Ariella... Bagaimana aku hidup tanpamu!"

Tangisan yang sangat familiar, ia ingat, tangisan itu juga ia layangkan ketika melihat tubuh kedua orang tuanya yang tidak bernyawa di Mansion itu.

Kenapa tuhan tidak adil padanya, kedua orang tuanya, bahkan kini adik kembarnya pun ia lihat lemas dalam dekapannya yang penuh darah.

Tangisan itu sangat nyaring, tangisan yang tidak bisa dihentikan siapapun, hujan yang sangat deras bahkan tidak bisa menyembunyikan suara itu, tangisan dan teriakannya bagai nyanyian di siang dengan hujan itu, meski sangat tidak merdu.

Tangisan itu pun reda ketika hujan ikut reda, berganti dengan kemarahan yang makin dan semakin besar, sebuah kalimat yang biasa, namun memiliki arti yang sangat mendalam, terlebih ketika ia mengucapkannya dengan angkuh.

"Aku akan balas dendam demi Ariella pada mu, Sage dan Daisy, silakan menunggu balas dendamku dengan ketakutan."

Andrew pun melakukan hal yang sama pada adiknya juga, segera, Aidan tidak sadarkan diri karena darah yang di keluarkannya sangat banyak, Andrew yang menyaksikan hanya bisa memukul tanah berkali-kali karena menyesal, hingga petugas kerajaan tiba.

.
.
.
.

Vote.
Komentar.

Author - 2020

TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang