10. Perbedaan

13.5K 2.1K 66
                                    

Saat pertama kali memasuki apartemen Alan, gue sudah bisa membayangkan dari mana keluarga Alan berasal. Tentu saja sangat berbeda dibanding keluarga gue yang sederhana. Bodohnya, waktu tahu kalau gue dan Alan beda kasta, gue nggak memedulikan itu dan terus membiarkan hati gue tergila-gila padanya. Gue pikir, uang bisa dicari. Nanti gue pasti akan bekerja keras supaya bisa memberikan hidup yang layak untuk Alan. Yang jelas, selama perbedaan gue dan Alan itu bukan soal keyakinan, gue bakal terus berjuang sebaik mungkin.

Nyatanya pemikiran itu nggak lantas menyatukan perbedaan antara gue dan Alan. Kemarin Mamanya Alan dari Jakarta datang. Katanya, beliau ada urusan pekerjaan di Jogja besok Senin, tapi sengaja datang ke Jogja hari Jum'at untuk menginap di apartemen Alan dulu.

Gue pikir, waktu Alan mengabarkan soal itu, dia hanya ingin mengatakan kalau nggak bisa pergi sama gue mengingat biasanya hampir tiap weekend kami bertemu. Namun selanjutnya Alan malah bilang, "Mau makan siang sama Mama nggak?"

Seketika sosok Ibu-ibu sosialita tajir melintir, yang hobi gonta-ganti tas mewah seharga lima kali lipat dari motor gue langsung terbayang di otak gue. Bahkan gue bisa langsung membayangkan bagaimana tatapan beliau begitu pertama kali melihat gue. Pasti bakal sinis banget dan penuh menghakimi. Tapi gue nggak mungkin mundur gitu aja. Secupu apa pun gue, hal seperti ini tetap harus dihadapi, kalau gue sungguhan ingin menjadikan Alan sebagai masa depan gue.

"Santai aja lah, nggak usah tegang begitu! Kalau nantinya dikata-katain, lo nggak usah lebay gitu nanggepinnya. Kan lo udah biasa dikatain dan dinistakan sama temen-temen lo." Ucap hati gue untuk menyemangati langkah gue yang sudah hampir sampai di depan restoran tempat kami janjian makan siang bersama.

"Selamat siang, Tante! Saya Bintang." Gue menyapa dengan senyum semanis mungkin, sambil mengulurkan tangan untuk menyalaminya.

Untungnya Mamanya Alan langsung menyambut tangan gue, meski wajahnya tetap datar, sambil diam-diam meneliti penampilan gue.

"Dari kampus langsung ke sini?" Tanya Alan yang kini duduk di sebelah gue.

"Iya."

Alan langsung memanggil pelayan dan menyuruh gue untuk memesan sesuatu. Berhubung perut gue terasa melilit karena saking gugupnya, gue nggak mungkin bisa makan dengan tenang. Lagian melihat interior restoran ini yang begitu mewah, kayaknya gue juga nggak akan bisa bayar makanannya meski itu yang paling murah. Jadi untuk jalan amannya, gue cuma pesan jus jambu. Kalau di tempat penjual jus deket rumah gue sih, jus jambu merah ini yang paling murah. Semoga aja, di tempat ini juga begitu.

"Beneran nggak mau makan?" tanya Alan sekali lagi.

"Tadi udah makan banyak di kampus." Jawab gue pelan. Memang benar kok, gue udah makan cukup banyak karena mendapat snack dari kuliah umum tadi. Berhubung Brian dan Ben nggak suka arem-arem dan lumpia isi rebung, mereka memberikan semuanya pada gue. Makan snack aja emang nggak bikin gue langsung kenyang banget sih, tapi setidaknya itu bisa menahan lapar sampai dua atau tiga jam lagi.

"Kamu hari Sabtu begini kuliah?" tanya Mamanya Alan dengan nada tidak suka, setelah pelayan meninggalkan meja kami.

"Hari ini cuma kuliah umum aja, Tante. Biasanya setiap Sabtu libur kok." Jawab gue tenang.

"Kenapa kamu nggak kuliah umum juga, Lan?"

"Kan kita beda fakultas, Ma."

"Kemarin Jum'at sore kamu ada acara apa, Bintang?"

Jantung gue serasa diremas oleh sesuatu yang nggak kasat mata saat mendengar Mamanya Alan menyebut nama gue. "Nggak ada acara sih, Tante. Cuma kuliah sampai jam 11." Sebenarnya Jum'at sore kemarin gue main futsal kayak biasanya. Namun sepertinya gue nggak perlu menyebut futsal itu sebagai suatu acara yang penting.

Take Me Back to The Start (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang