6. FIRST DATE

17.2K 2.3K 92
                                    

Dalam hidup gue, ada banyak sekali takdir buruk yang selalu membuat gue menggerutu. Namun di antara seluruh takdir buruk itu, ada satu hal yang membuat gue nggak cuma menggerutu, tapi misuh-misuh. Tak lain dan tak bukan adalah takdir bahwa gue punya adik yang bentuknya kayak Alit. Gue curiga jangan-jangan Alit itu bukan manusia. Tapi dia adalah bangsa iblis yang menyamar jadi manusia. Habisnya, kelakuan dia mirip banget kayak iblis.

Gara-gara Alit yang ngasih liat chat gue sama Alan ke Bunda, akhirnya gue diintrogasi. Sebelum ini, gue nggak pernah kasih tau Bunda atau siapa pun di rumah ini soal pacar. Bagi gue pacaran semasa sekolah nggak perlu diceritakan ke keluarga, daripada nanti jadi panjang urusannya. Masalahnya kan nggak ada yang tahu hubungan itu akan berlanjut sampai kapan.

Dan sekarang, si iblis itu kasih tau Bunda soal Alan dengan bahasanya yang selalu berlebihan. Mau nggak mau gue harus cerita semuanya, daripada Bunda mengira gue homo beneran.

Tentu saja Bunda nggak langsung percaya pas gue bilang kalau Alan itu cewek. Dalam hal semacam ini, perlu bukti konkrit untuk menyumpal rasa penasaran Bunda. Namun ketika gue menyuruh Bunda untuk telepon Alan aja, biar bisa ngomong sendiri ke orangnya, Bunda malah bilang, "Ini udah malam. Nggak enak kalau telepon malam-malam gini. Ya udah besok aja."

Gue langsung kegirangan pas melihat reaksi Bunda yang santai aja, nggak ada tanda-tanda ingin menolak atau menceramahi gue. Namun sebelum Bunda mengembalikan ponsel gue, Bunda mengatakan, "Besok sore ajak dia ke sini. Bunda perlu ketemu langsung sama orangnya. Biar semuanya jelas."

Kalimat itu terdengar mutlak dan nggak menerima penolakan. Daripada harus debat lebih panjang, tapi ujungnya gue tetap kalah, mending energinya gue pakai untuk memikirkan gimana caranya gue bilang ke Alan kalau Bunda mau ketemu dia.

Namun tanpa gue sangka, Alan langsung mengatakan, "Ya udah nggak papa. Kamu jemput ke apartemenku ya?" pas gue chat soal permintaan Bunda itu. Berkali-kali gue menggeleng nggak percaya. Kenapa menghadapi Alan bisa semudah ini?!

Sebelumnya gue cuma punya dua mantan, yang keduanya gue pacari pas SMA. Masing-masing pacaran selama kurang lebih satu tahun. Kedua mantan gue itu mirip, alias sama-sama ribet. Ya tipe kebanyakan cewek di Twitter yang sukanya nge-tweet, "Kalo aku bilang ngantuk, itu artinya aku mau ditelepon. Jadi kamu harus peka." Alias cewek-cewek tukang kode nggak jelas gitu deh. Sampai gue migrain setiap kali chat sama dia. Berasa lagi olimpiade, karena setiap kalimatnya mengandung banyak makna yang terlalu sulit dipahami maksudnya apa. Bahkan gue sendiri heran, kenapa gue sempat tahan pacaran dengan cewek model begitu selama berbulan-bulan.

Sepertinya sekarang Tuhan sedang berbaik hati kepada gue dengan memberikan cewek sebaik Alan, setelah gue susah payah menghadapi dua cewek super ribet itu. Mungkin ini yang namanya susah-susah dahulu bersenang-senang kemudian.

Gue ingat Brian pernah bilang, kalau cewek yang terlalu mudah itu nggak seru karena nggak ada tantangannya. Namun Alan itu berbeda. Dengan sikap Alan yang semudah ini, gue malah jadi semakin penasaran. Gue jadi ingin tahu lebih banyak soal dia, dan bisa lebih banyak menghemat waktu karena kami jadi bisa menghindari banyak masalah yang biasanya timbul hanya karena komunikasi yang kurang jelas.

"Gimana, kamu berubah pikiran?" Tanya gue sambil menoleh ke belakang, untuk menatap wajahnya.

Saat ini gue tengah berhenti di lampu merah dekat rumah gue, dengan Alan berada di boncengan. Dia menggeleng, "Coba mampir ke toko kue dulu dong! Masa ke rumahmu nggak bawa apa-apa sih?"

"Nggak usah. Nanti malah pada tuman. Udah santai aja!" Melihat keyakinan di mata Alan saat menjawab pertanyaan gue tadi membuat gue bersemangat. Begitu lampu lalu lintas berubah hijau, gue langsung melajukan motor sampai ke rumah.

Take Me Back to The Start (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang