28. Bintang Tolol Umbara

11K 1.8K 181
                                    

Ini belum pada tidur kan? Gue lagi nungguin episode 3 Nevertheless nih hahaha pada nonton Nevertheless juga gak sih?

Oh iya, gue butuh volunteer dong!

Di bab ini ada beberapa percakapan pake bahasa Jawa gitu. Gue mager banget buat translate wkwkw. Boleh minta bantuan relawan yang baik hati buat bantu translate di inline komen? Nanti yang mau berbaik hati, bakal dapet ucapan makasih banyak dari Uca wkwkwk

 Boleh minta bantuan relawan yang baik hati buat bantu translate di inline komen? Nanti yang mau berbaik hati, bakal dapet ucapan makasih banyak dari Uca wkwkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ben bangsat!"

Gue sudah bangun dari tadi, tapi nggak bisa membuka mata dengan sempurna. Rasanya kulit wajah gue menjadi lebih tebal. Saat gue misuh-misuh pun, ujung bibir gue langsung terasa nyeri. Bikin gue tambah pingin misuh aja.

Sekujur tubuh gue terasa remuk. Bahkan untuk bergerak menuju kamar mandi aja terasa sangat menyiksa. Meski begitu, tetap gue paksakan ketimbang ngompol di kasur. Selesai dari kamar mandi dengan mata yang cuma bisa membuka segaris, gue kembali berbaring di kasur. Kesialan ini semakin bertambah saat perut gue terasa mual.

Saking sakitnya seluruh tubuh gue, gue nggak bisa mendeskripsikan bagian mana yang paling sakit. Bahkan sekadar untuk menggaruk hidung gue yang gatal aja tangan gue lemas banget.

"Ben!" gue mengerahkan seluruh tenaga untuk memanggil si bangsat itu.

Sialnya gue nggak terlalu ingat bagaimana detail percakapan kami semalam. Gue juga lupa kenapa Ben bisa seemosi itu sampai memukuli gue begini. Tetapi gue ingat jelas kalau semalam Ben sempat kebingungan karena darah dari hidung gue nggak juga berhenti. Ya, meski setelahnya gue nggak ingat lagi apa yang terjadi. Rasanya ingatan gue itu bertumpuk-tumpuk sehingga gue kesulitan mencernanya.

"Udah bangun, Mas?" Gue mendengar suara lembut cewek setelah pintu kamar terbuka.

Ah, pasti itu Daryn. Kayaknya si bangsat itu sudah pulang, sehingga menyuruh Daryn mengurus gue. Meski masih kesal dengan Ben, gue bersyukur mengenal Daryn cukup baik. Setidaknya gue nggak benar-benar sendirian di sini dengan seluruh tubuh kesakitan seperti sekarang.

"Ben mana, Rin?" gue membuka mata sedikit. Dengan pandangan kabur gue melihat Daryn berdiri di ambang pintu kamar.

"Mas Ben udah berangkat kerja. Mau minum, Mas?" Kini Daryn melangkah mendekat. "Ini aku bawain susu jahe sama teh anget. Mas mau minum yang mana? Atau mau air putih?"

"Teh anget boleh deh,"

Daryn membantu mengangkat separuh tubuh gue untuk bersandar pada tumpukan bantal. Kemudian membantu gue minum.

"Kok bisa berantem gini sih, Mas?" tanya Daryn pelan.

"Lo liat Ben babak belur nggak?" tanya gue sambil mendesis karena ujung bibir gue terasa perih ketika terkena pinggiran cangkir.

"Enggak."

"Ya udah. Berarti gue nggak berantem. Tapi korban aniaya," sahut gue ketus. "Ini kalau gue divisum, bisa lho buat nuntut Ben sebagai pelaku kekerasan."

Take Me Back to The Start (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang