5. Jadian

19K 2.4K 65
                                    

Gue tersenyum lebar ketika menatap ponsel dan mendapati sebuah pesan baru dari Alan. Belakangan ini intensitas chat gue dengan Alan semakin sering. Tanpa sadar, sudah terbentuk kebiasaan baru gue untuk mengirimi Alan pesan setiap harinya. Memang bukan pesan penting sih. Paling cuma bercandaan aja, atau cerita soal rutinitas gue yang sejujurnya sangat membosankan.

Yang jelas, gue selalu antusias setiap kali menunggu pesannya, meski dia lebih sering membalas dengan aneka ragam stiker ketimbang ketikan. Meski keliatannya kurang efford, gue tetap senang. Bagi gue, dengan banyaknya stiker yang Alan kirimkan, justru membuatnya tampak lebih menggemaskan.

Alan

Baru kelar nonton netflix.

Bintang

udah ngantuk?

Alan

Belum. Tapi pengin tidur.

Tanpa membalas pesannya, gue langsung menelepon Alan. Tidak lama kemudian, telepon gue langsung diangkat.

"Kan aku bilang mau tidur, ngapain malah telepon?!" Gerutu Alan dengan nada malasnya.

"Kan tadi bilang belum ngantuk." Jawab gue santai. "Jadi nggak papa dong, kalo tidurnya diundur satu atau dua jam lagi?"

Alan hanya mendengung, seolah ingin mengiakan tapi agak gengsi.

"Hari ini ngapain aja, Lan?"

"Ngerjain skripsi. Capek banget ngejar-ngejar dosen mau bimbingan."

"Pak Mansyur?"

"Bukan. Dosen bimbinganku itu ada dua. Pak Mansyur mah, gampang. Walaupun suka ngajak bimbingan mendadak, tapi yang penting cepet di ACC. Daripada Pak Hilman. Huhhh, beliau tuh udah sepuh gitu, jadi jarang di kampus dan suka lupa sama mahasiswanya. Repot deh kalo minta di ACC."

Gue terkekeh. Kemudian obrolan berlanjut membahas skripsinya. Setiap kali dia membahas soal skripsi, gue selalu antusias. Sebagai maba yang masih ingusan, gue gampang banget kemakan hoax soal dunia kampus, terutama skripsi. Ada yang bilang susah banget, sampai banyak yang depresi karena skripsinya nggak kelar-kelar. Dan yang suka bikin gue merinding, setiap tahun selalu ada berita soal mahasiswa yang bunuh diri di kos karena terlalu stres sama skripsinya.

Makanya gue suka parno, dan khawatir kalau suatu saat gue ada di titik itu, apa yang harus gue lakukan? Dan sekarang setelah beberapa kali mendengarkan keluh kesah Alan, kurang lebih gue jadi paham gimana penatnya mengerjakan sesuatu yang sulit dan nggak selesai-selesai. Apalagi dalam hal skripsi ini yang menyulitkan nggak hanya karena diri sendiri. Tapi bisa juga faktor dosen pembimbing, pencarian data yang nggak mudah, juga banyak kendala lainnya. Oleh karena itu gue selalu berusaha sebisa mungkin untuk jadi pendengar yang baik, berharap itu bisa meringankan sedikit bebannya.

Tiba-tiba di tengah cerita Alan, gue mendengar suara berisik seperti panci dan gelas yang jatuh. "Lagi ngapain sih, Mbak? Kok Berisik banget? Katanya tadi udah mau tidur?"

"Sekali lagi panggil Mbak, gue matiin ya teleponnya!" Omelnya beserta suara berisik yang sayup-sayup masih terdengar.

Gue terkekeh. Kadang gue suka refleks panggil dia Mbak gitu, setiap kali lagi pengin denger omelannya yang menggemaskan. Awalnya pas gue keceplosan manggil dia Mbak, gue deg-degan banget, apalagi setelah dengar dia ngomel-ngomel. Gue beneran takut dia semarah itu, lalu nggak mau ngobrol sama gue lagi. Nyatanya, setalah itu gue malah menemukan sesuatu yang membuat gue gemas sendiri.

"Makanya jadian aja yuk, Mbak! Kalau mau jadian, janji deh, aku nggak bakal panggil Mbak lagi. Nanti aku panggil Sayang."

Demi Tuhan, itu gue juga asal ceplos. Gue tuh kebiasaan kalau lagi ngomong sama Alan, otak gue mendadak blank gitu. Makanya apa-apa yang keluar dari mulut gue nggak dipikirin dulu baik-baik. Bodohnya kenapa gue justru mengeluarkan gombalan receh begitu sih?! Mana berani banget ngajak jadian, padahal baru sebulan pedekate lagi! Udah jelas bakal ditolak sih ini. Bego emang!

Take Me Back to The Start (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang