Sepulang kuliah tadi, gue lagi asyik-asyiknya makan nasi padang bareng sohib-sohib gue sambil membahas cara makan nasi padang yang benar itu pakai sendok atau pakai tangan. Lalu tiba-tiba aja Bunda telepon dan suruh gue pulang secepatnya nggak pakai alasan. Memang sih, hari ini gue nggak ada janji mau ketemu Alan. Katanya dia mau ketemu temennya entah di mana, gue lupa. Lagian kemarin kami juga baru aja jalan sampai malam. Nggak baik kalau tiap hari pacaran. Gue juga butuh nongkrong bareng sohib-sohib gue yang meski akhlaknya nggak ada tetap aja bacotannya bikin gue kangen.
Padahal baru kali ini gue nongkrong sama temen-temen gue, karena dua minggu belakangan pada sibuk sendiri-sendiri. Ada yang mau ngapel ke rumah gebetan baru lah, ada yang adik bayinya rewel dan suka telepon minta makan disuapin atau minta dimandiin lah, ada juga yang nggak sabar pengin cepet pulang karena mau video call-an sama pacarnya yang kuliah di beda pulau. Pokoknya entah kenapa teman-teman gue mendadak sok sibuk banget. Dan tentu saja gue juga sibuk pacaran sama Alan. Gue udah mulai menganggap apartemen Alan seperti rumah sendiri. Sudah nggak terhitung berapa kali gue main ke sana sekadar bantuin dia cuci piring atau nyapu.
Walaupun nasi padang gue belum habis, gue nggak bisa membantah perintah baginda ratu. Apalagi nada suaranya serius banget dan terdengar mutlak. Alhasil dengan berat hati gue meninggalkan setengah porsi nasi padang lauk rendang traktiran Ben, dan juga teman-teman gue yang misuh-misuh karena cerita Ben soal adiknya terpotong oleh kepergian gue. Asli, mereka nggak ada sedih-sedihnya dan malah bilang, "Iya, iya, Re, udah sana cabut!"
Di perjalanan gue sudah bertekad, kalau alasan Bunda menyuruh gue pulang mendadak ini karena hal sepele, gue nggak akan mau bantuin angkat jemuran selama seminggu dan nggak mau matiin keran air kalau bak kamar mandi sudah luber.
Sialnya pas gue lagi sibuk misuh-misuh dalam hati, seseorang mengagetkan gue dari belakang. Membuat gue langsung keceplosan buat misuh. "ANJING!"
"Surprise!" Pekik seseorang yang mengagetkan gue.
Begitu menoleh, gue malah menemukan dia tengah tersenyum lebar dan memeluk gue dari belakang.
Ya siapa yang nggak kaget, di saat gue lagi fokus misuh-misuh pas lagi lampu merah, tiba-tiba aja ada seseorang yang naik ke boncengan motor gue dan langsung memeluk gue erat. Sementara di depan sana lagi ada sekelompok banci yang lagi ngamen. Tentu saja gue panik karena takut kalau sosok yang memeluk gue secara tiba-tiba itu adalah banci yang naksir gue karena muka gue yang kelewat ganteng. Untungnya kekhawatiran gue nggak terbukti. Alih-alih banci, gue malah dipeluk sama cewek cantik yang kini tersenyum sangat lebar ke arah kaca spion.
"Ngagetin aja sih?" gerutu gue sambil melajukan motor saat lampu lalu lintas berubah hijau.
"Aku lagi naik gojek, baru pulang dari kos temenku. Eh, malah liat cowok ganteng naik motor sendirian. Ya jelas aku pilih dibonceng cowok ganteng lah, dibanding sama Om-om yang perutnya buncit." Ungkapnya santai sambil mengeratkan pelukannya di pinggang gue.
"Tapi kamu nggak pakai helm, Lan."
"Ya udah beli helm dulu yuk!" ajaknya santai.
"Kan kamu udah punya 2 helm di apartemen."
"Ya nggak papa, daripada nanti ditilang?"
"Lan, kamu ngajak beli helm kayak mau beli tahu walik." Gerutuku.
"Eh, jadi pengen tahu walik deh!" serunya.
"Oke google, di mana tahu walik yang enak?" Sejak Alan suka memberitahu gue di mana tempat makan yang enak, gue selalu tanya dia kalau mau makan sesuatu. Entah mau makan bareng keluarga atau sama temen. Makanya kontak whatsapp dia gue ganti namanya jadi 'Oke, Google.' Sampai sekarang sih dia belum tahu. Gue nggak tau gimana responnya kalau tahu kontak whatsapp-nya gue namain begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me Back to The Start (COMPLETED)
RomansaBintang nggak pernah menyangka akan tergila-gila dengan perempuan berusia 4 tahun lebih tua darinya. Dan semakin nggak menyangka ketika perempuan itu langsung mau diajak jadian pada bulan pertama perkenalan mereka. Baginya, Alanda merupakan wujud ny...